Zaid bin Tsabit berkata, “Demi Allah, ini adalah pekerjaan yang berat. Seandainya kalian memerintahkan aku untuk memindahkan sebuah gunung, rasanya itu lebih ringan daripada tugas menghimpun al Qur’an yang engkau perintahkan tersebut!!”
Seperti halnya Abu Bakar, akhirnya Zaid bisa diyakinkan akan pentingnya pekerjaan tersebut demi kelangsungan Islam di masa mendatang.
Zaid bin Tsabit sendiri sebenarnya hafal al Qur’an dari awal sampai akhirnya, bahkan Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam sendiri sering mengecek hafalannya. Namun demikian, ia tidak mau menggunakan hafalannya saja.
Kemudian, ia berjalan menemui para sahabat yang mempunyai catatan dan hafalan, mengumpulkan catatan yang terserak pada kulit, tulang, pelepah kurma, daun dan sebagainya dan juga membandingkannya dengan hafalan para sahabat tersebut.
Setelah semua terkumpul dan dicek ulang dengan hafalannya dan juga hafalan para sahabat, Zaid menuliskannya lagi dalam lembaran-lembaran dan menyatukannya dalam satu ikatan. Semuanya disusun menurut urutan surat dan urutan ayat-ayat seperti yang pernah di-imla’-kan (didiktekan) Nabi Sallallahu A’laihi Wasallam kepadanya. Inilah mushhaf pertama yang dibuat dalam Islam, dan peran Zaid bin Tsabit sangat besar dalam penyusunannya. Ia menghabiskan waktu hampir satu tahun untuk menyelesaikannya.
Al Qur’an diturunkan dengan tujuh macam bacaan (qiraat sab’ah). Hal ini memang diminta Nabi SAW sendiri untuk kemudahan umat beliau yang karakter lafal dan ucapannya berbeda-beda, sehingga jika telah cocok dengan salah satu bacaan (qiraat) tersebut sudah dianggap benar. Di masa Nabi SAW hidup dan Islam masih di sekitar jazirah Arab, hal itu tidak jadi masalah. Tetapi ketika wilayah Islam makin meluas ke Romawi, Persia dan tempat-tempat lainnya, sementara pemeluk Islam juga makin beragam dari berbagai bangsa, bukan hanya Arab, hal itu bisa menimbulkan perpecahan.
Pada masa khalifah Utsman, di mana Islam sudah mulai menjamah wilayah Eropa, yakni Siprus dan sekitarnya, benih berbahaya ini ditangkap oleh Hudzaifah bin Yaman dan beberapa sahabat lainnya. Karena itu mereka menghadap khalifah Utsman menyampaikan usulan untuk menyatukan mush’af dalam satu bacaan/qiraat saja, dan menyebar-luaskannya sebagai pedoman bagi masyarakat Islam yang makin meluas saja. Untuk qiraat sab’ah (bacaan yang tujuh), biarlah hanya diketahui para ulama dan ahlinya saja.
Khalifah Utsman tidak serta-merta menerima usulan tersebut karena takut terjatuh dalam bid’ah, sebagaimana yang dikhawatirkan Abu Bakar. Tetapi setelah melakukan istikharah dan mempertimbangkan persatuan umat, serta madharat dan manfaat dari adanya Qiraat Sab’ah, akhirnya ia menyetujui usulan ini. Dan seperti halnya Abu Bakar, khalifah Utsman menugaskan Zaid bin Tsabit untuk memimpin proyek besar ini, sehingga tersusun kodifikasi Mush’af Utsmani, yang menjadi cikal bakal dari hampir seluruh Mush’af Al Qur’an yang sekarang beredar di antara kita. Sungguh kita semua berhutang jasa kepada Zaid bin Tsabit RA.
Sebagai informasi, Zaid bin Tsabit RA merupakan sahabat Anshar, yang memeluk Islam bersama keluarganya pada masa awal Nabi SAW hijrah ke Madinah. Saat itu ia berusia 11 tahun. Ia beruntung karena sebagai anak-anak, ia secara khusus di do’akan Rasulullah Sallallahu A’laihi Wasallam.
Pada waktu terjadinya perang Badar tahun 2 hijriah, datanglah seorang pemuda kecil berusia 13 tahun. Dia tampak cerdas, penuh semangat, dan fanatik. Di tangannya tergenggam pedang yang hampir sama tinggi dengan tubuhnya. Langsung saja dia menghampiri Rasulullah seraya berkata, “Aku siap berkorban untuk diri Anda, ya Rasulullah. Izinkan aku ikut berjihad di bawah komando Anda.”
Bocah itu pulang sambil menyeret pedangnya. Wajahnya murung karena tak mendapat kehormatan menyertai Rasulullah dalam perangnya yang pertama.