Mohon tunggu...
Syah Dianisa
Syah Dianisa Mohon Tunggu... -

BELAJAR DAN BELAJAR UNTUK DAPAT MENULISKANNYA. email ;dianisacaem@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Trauma Konflik yang Terus Terngiang

18 April 2011   04:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:41 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Ia terus menjerit-jerit di dekat kami memasak. Raut mukanya tampak marah, kesel, sekaligus sedih
ketika melihat Tim PPPK dan Tim Evakuasi mengangkat pemuda dengan tandu.


“Aaaaaaawww.......... Aaaaaaaauuuuuuww......”
Tiba-tiba seorang ibu histeris. Ia itu berdiri tepat di depanku. Baju daster yang dipakainya sedikit
ditarik ke atas. Sambil menutup wajahnya dengan jilbab yang seharusnya terjuntai di dadanya,
dihapusnya airmata yang terus mengalir di pipinya. Ia terus berteriak. Dua tangan didekapkan ke
dadanya. Aku diam memandangnya, sangat bingung sekaligus kuatir jika pisau yang ia pegang
mengenai badannya.


Perempuan itu terus berteriak sambil menyumpah serapah, entah pada siapa. “Kuang haja! Nandak
bana luko lagutu. Tuhan datangkan lah bala untuk ugang di kampuang ko (Kurang ajar kalian.
Ternyata suka ya seperti itu -pura-pura luka dengan perban penuh darah di kepala. Tuhan, datangkan
lah bencana untuk orang-orang di desa ini),” teriaknya.


Spontan ibu-ibu lain yang berada di dekatnya berkata, “Jauhan lah Tuhan, awak kinin ko latihan
simulasi bia bisa siaga kalau datang bencana, iko malah didoa an pulo datang bencana. Manga pulo
lagutu Bu Keucik ro! (Jauhkan lah tuhan –kita dari bencana. Kita sekarang ini sedang simulasi supaya
kita bisa tahu dan siaga ketika ada bencana. Ini malah didoakan pula biar bencana datang. Kok bisa ibu
bicara seperti itu!)


Perempuan berkudung itu lalu pergi meninggalkan kumpulan ibu yang lain. Namun, teriakannya masih
membahana. Sampai ia menghilang dari sudut mataku, aku masih terheran-heran dengan polah ibu tadi.
Benakku bertanya-tanya, ”Mengapa ya dengan ibu itu? Kok sampai begitu histeris? Siapa dia?”
Maklum saja, selama bolak-balik ke gampong di atas gunung ini, aku jarang bertemu dengannya.
Kak Salmina yang juga istri Ketua Pemuda Gampong Panton Luas, Kecamatan Tapaktuan, Kabupaten
Aceh Selatan, menghampiriku. Mungkin ia tahu aku ketakutan. Ia meminta maaf atas peristiwa yang
menurutnya tidak mengenakkan tersebut.


”Dian, kami sebenarnya malu atas sikap tadi. Tu lah Bu Keuchik kami, dia masih trauma ketika melihat
pemuda yang ditandu tadi. Kepalanya diperban pula...,” kata Kak Sal. Entah trauma apa yang
dimaksud.


”O, jadi ibu tadi benar Bu Keuchik?” tanyaku sekaligus memastikan. Kak Sal mengiyakan.
Padahal, luka di kepala pemuda itu hanya bagian dari acara Simulasi Kesiapsiagaan Menghadapi
Bencana Banjir Bandang di Gampong Panton Luas. Luka itu hanya pura-pura. Orang-orang yang ada di
daerah rawan pun berpura-pura menyusun harta bendanya. Juga mempersiapkan barang berharga, surat
berharga untuk nantinya dibawa ke lokasi aman untuk pengungsian.


Simulasi Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana di Gampong Panton Luas (26/3) ini merupakan simulasi
kedua yang lakukan pada periode 2010-2011 ini. Beberapa hari sebelumnya (22/3), simulasi
serupa dilakukan di Gampong Lubuk Layu, Kecamatan Samadua, Kabupaten Aceh Selatan. Simulasi
ini merupakan tindak lanjut Pelatihan EPS (Emergency Preparedness System) atau sistem
kesiapsiagaan menghadapi situasi darurat, yang telah dilakukan pada bulan Januari 2011 lalu. Dari
pelatihan tersebut, peserta perwakilan masing-masing gampong menyusun Standar Operasional
Prosedur (SOP) dan Prosedur Tetap (Protap) kebencanaan yang disahkan oleh Keuchik. Simulasi ini
dilakukan agar seluruh masyarakat paham pada protap yang telah disusun.


Pada kedua simulasi yang dilakukan, aku bertugas mengobservasi atau mengamati kinerja Tim Dapur.
Baik di Lubuk Layu maupun Panton Luas, Tim Dapur juga didukung oleh ibu-ibu PKK. Mereka
dipercaya oleh warga untuk mengelola logistik, salah satunya mengelola makan untuk pengungsi dan
Tim EPS gampong. Dapur umum Panton Luas terletak Kantor Desa. Sedangkan titik (lokasi) aman
berada di lapangan bola kaki. Lokasinya di atas bukit, kira-kira 300 m dari Kantor Desa, tempat saya
dan Tim dapur memasak. Saat kami tengah memasak gulai kambing, dua orang dari Tim Peringatan Dini yang berboncengan sepeda motor sampai di Kantor Desa. Mereka memberitahu bahwa seluruh warga harus dievakuasi. Tepat dibarisan terakhir, Tim PPPk mengangkat seorang pemuda. Pemuda salah satu korban bencana itu ditandu.


Entah kapan datang, tiba-tiba kudengar “Aaaaaaaaaaaa...... Aaaaaaaaa.....” Rupanya perempuan yang
kutahu dari Kak Sal adalah Bu Keuchik itu kembali histeris. Ia terus menjerit-jerit di dekat kami
memasak. Raut mukanya tampak marah, kesal, sekaligus sedih ketika melihat Tim PPPK dan Tim
Evakuasi mengangkat pemuda dengan tandu.


Menurut cerita Kak Sal, trauma masa konflik GAM dan TNI lalu belum juga hilang dari ingatan Ibu
Keuchik. ”Inyo trauma Yan, tabayang e sanak e panah jadi korban dulu, Yan (Dia trauma, masih
terbayang saudaranya yang jadi korban konflik dulu).”


Ternyata kutahu kemudian, di lokasi aman pun seorang ibu juga histeris melihat pemuda yang ditandu
dan berperan sebagai korban luka-luka. Nurhijah (67) bahkan masih sesenggukan ketika beberapa ibu
dan Kak Yarni yang anggota Tim Pendataan, memapahnya ke tenda pengungsian. ”indak apo-apo doh.
Inyo kan hanya pura-pura sakiek. Idak ada luko ro doh. (Tidak apa-apa dia. Dia hanya berpura-pura
sakit. Tidak ada luka,” tukas Kak Yarni menenangkan. Airmata perempuan bermata rabun itu masih
terus mengalir. Sesekali sarung yang ia pakai digunakan untuk mengelap airmata di pipinya.


“Sakiek hati Ambo. Sakiek bana waktu konflik dulu ro. Jangan lah ado lai (sakit hati saya. Sangat sakit
waktu konflik dulu. Jangan sampai terjadi lagi),” seraya menepuk-nepuk dadanya.


Di hatiku, hati seorang Aceh pun berharap, jangan sampai konflik bersenjata singgah lagi di bumi
Serambi Mekkah ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun