Mohon tunggu...
Mardiana
Mardiana Mohon Tunggu... Penulis - Menulislah, walau sebait kata

Menuangkan segala dibenak menjadi tulisan yang bermanfaat bagi orang lain.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kekasih Ayah adalah Guruku (Bagian 3)

5 November 2020   07:03 Diperbarui: 5 November 2020   07:06 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejak peperangan terjadi dirumah ini, Ayah tak nampak pulang kerumah. Sudah satu Minggu, namun tak ada kabar juga dari Ayah. Entah kemana laki-laki yang seharusnya menjaga wanita yang telah dipilih untuk menjadi pendamping hidupnya itu.

Siang itu di sekolah, saat jam Pelajaran terkahir, Aku berpura-pura izin keluar untuk ke kamar kecil, padahal Aku ingin jumpa Guru cantik yang telah menghiasi hatiku.

Aku intip setiap kelas apakah ada Ia disana, tetapi ternyata Aku tak menemukannya. Aku berpikir mungkin Ia sekarang di Kantor Guru. Dan benar saja Ku lihat Ia sedang sendirian, sambil memegang pena, sepertinya Ia sedang mengoreksi buku latihan Siswanya.

Ku beranikan diri menghampirinya, dan Ia menyapaku sembari tersenyum padaku.

"Ada apa Rio?" 

"maaf Ibu cantik, Aku mau berikan ini untuk Ibu" Aku mengeluarkan sebuah amplop berwarna putih polos tanpa nama dari saku celana, dan Aku katakan padanya, spesial buat dirinya.

Kemudian Aku permisi keluar, sambil berjalan mundur dan Ku lihat Ia tersenyum. Secara spontan Aku melompat girang, kemudian berlari menuju kelas.

***

Malam ini sangat indah, langit bertaburan bintang, seperti diriku sekarang yang sedang berbunga-bunga setelah memberikan surat cintaku untuknya.

Ku rebahkan tubuh diatas kasur dan ku pejamkan mata, tetapi wajah Guruku selalu hadir, yang membuat Aku tak bisa melupakannya adalah Senyumannya. 

Senyuman manisnya, mungkin madu saja kalah manisnya. Senyuman yang membuat Aku mabuk kepayang, jika Aku minum segelas whiskey mungkin itu tak akan membuat Aku mabuk, tapi senyuman manisnya lebih dari pada itu. 

Aku benar-benar tergoda, dan ingin sekali memilikinya. Diriku sangat yakin Guru cantik itu pasti menerima cintaku, Karena Aku tampan. 

Disekolah, banyak cewek-cewek  yang mengutarakan cintanya. Tetapi Aku tak pernah merespon, Apalagi saat Aku berada di lapangan basket, mereka mulai mencari perhatian padaku, sambil teriak-teriak sebut namaku dan Aku tetap cuek saja.

Sekarang, justru Aku tergila-gila dengan seorang wanita yang telah memberikan ilmunya untukku. Ia adalah pengganti orang tua kedua saat disekolah, tetapi Aku telah berani mencintainya.

Ketika Aku sedang asyik menghayalkan Guru cantik itu, tiba-tiba seperti suara peperangan telah terjadi, suara ledakan bom dimana-mana, kemudian suara jeritan dan suara jatuhnya perabotan isi rumah.

Aku mulai curiga, pasti Ayah sudah kembali dan perang ini terjadi lagi. Kenapa Aku tak mendengar suara mesin mobil Ayah? Apa karena terlenanya Aku dalam lamunan? Entahlah. 

kemudian Aku berlari ke lantai bawah, benar saja dengan apa yang Aku dengar tadi. Ini lebih parah dari biasanya. Semuanya berantakan, tetapi Aku tak melihat Ibuku. Dimana Dia? Aku berjalan sangat sangat hati-hati, karena dimana-mana pecahan kaca.

Ku lihat di kamarnya tidak ada, kamar ini pun sama berantakannya. Bahkan isi lemari telah muntah kemana-mana.

"Bik, bik..." Aku berteriak memanggil pembantu.

Pembantuku berlari tergopoh-gopoh

"Ya den Rio, mau cari Ibu?" Tanyanya. Sepertinya dia sudah tau Aku akan menanyakan itu padanya.

Aku menganggukkan kepala.

"Ibu, pergi menyusul Bapak" jelasnya

kemudian, Aku berlari ke Garasi dan Ku lihat mobil Ibu tidak ada disana. Buru-buru Ku nyalakan motor untuk mencari Ibu.

Malam semakin dingin, dan Aku sudah mutar-mutar mencari Ibu tapi tidak ku temukan juga. Aku telpon Ibu berkali-kali tapi tidak ada jawaban, Ku coba menghubungi Ayah tetapi Handphonenya tidak aktif.

Ibu, dimana engkau?

Tuhan, kenapa kehidupan orang tuaku seperti ini?

Aku mulai lelah dan berhenti di sebuah taman, di tempat ini Ibu sering membawaku bermain sewaktu kecil dulu. Ku rebahkan tubuh ini di sebuah bangku panjang, sambil menatap langit dan rembulan yang malu dan bersembunyi dibalik awan. Lalu mataku terpejam, dan entah apa yang terjadi di alam ini, entah bagaimana dengan Ibu? Dan kemana Ayah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun