Mohon tunggu...
Mardety Mardinsyah
Mardety Mardinsyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pendidik yang tak pernah berhenti menunaikan tugas untuk mendidik bangsa

Antara Kursi dan Kapital, antara Modal dan Moral ? haruskah memilih (Tenaga Ahli Anggota DPR RI)

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kehilangan, Apakah Se-sakit Ini?

15 Februari 2022   12:36 Diperbarui: 15 Februari 2022   12:47 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Awan mulai gelap, pertanda  malam akan menampakkan perangainya. Lampu-lampu jalan tak kalah seru  beradu cahaya dengan  bulan yang siap menggantikan  matahari sebagai aksen langit. Di sudut kota ini, di sebuah rumah sederhana aku merenungi nasib,  kehilangan suami. Senja yang semakin menua  menemaniku duduk sendiri dalam kesunyian. Menunggu suami tercinta yang tak mungkin lagi datang menampakkan senyum teduhnya.

Bagaimana aku bisa  hidup waras, bila kenangan itu tidak mau hilang. Aku telah menjadi budak kenangan.  Kenangan lama  selalu berputar-putar di kepala. Yang manis-manis dalam hidup tinggal sejarah. Tiap malam aku  bermandi kenangan dan  basah oleh sejarah.

Hari itu, ketika kaum kerabat, handai tolan, kenalan, dan tetangga satu per satu meninggalkan rumah duka, aku sadar bahwa aku akan sendiri. Aku akan berjalan dalam sunyi menjalani sisa hidup ini. Tentu saja, sesekali putra-putraku, menantu, dan cucu-cucuku  datang berkunjung, namun ketika mereka pulang, aku hanya bisa  tersenyum dalam kesedihan. Tangis yang tertahan di dada mendatangkan rasa nyeri. Kesedihan itu  terus  mengalir. Rona gelap seolah-olah  disulam dalam hari-hari senjaku.

Sehari setelah suamiku dikubur, aku masuk rumah sakit. Tangis yang tertahan di dada, mendatangkan rasa nyeri. Rasa nyeri itu menjalar ke lengan dan jari-jari tangan yang kusangka aku kena serangan jantung. Setelah diobservasi tiga hari di rumah sakit,  ternyata enzim jantungku negatif, tapi aku tetap dibekali obat yang harus diminum secara rutin untuk maintenance kesehatan jantung. 

Aku terus melamun, kenangan itu datang jua. Aku teringat detik-detik terakhir  ketika tiba tiba suamiku meninggal dunia. Ajal rahasia Allah. Dia meninggal  tanpa  ada tanda-tanda. Menghembuskan nafas terakhir saat tersentak tidur. Dia sempat berada sejenak dalam pelukanku, membuka mata beberapa detik, menatap wajahku, seperti mau  mengucapkan selamat tinggal dan memastikan aku ada dekatnya. Kemudian, matanya  meredup  seperti menyatakan bahwa dia menepati janjinya, mencintaiku  sampai akhir hayat,  dan hanya tangan maut yang memisahkan. Tidak ada pesan, tidak ada tanda-tanda bahwa dia akan pergi selama-lamanya.

" Kok ibu  melamun, suara  Atun pembantu rumah tangga  mengejutkan aku.

"Ibu jangan sedih terus, nanti ibu sakit, kena otoimun", kata  Atun menimpali.

Si Atun ini  sok tahu, kataku dalam hati.  Orang sedih kok  bisa kena otoimun. Tapi bisa juga Atun punya pengetahuan. Sekarang era digital, smartphone berkembang, penggunaan sosial media meluas dan pengetahuan bisa diperoleh dengan  mudah dan murah.  Atun rajin reading dan writing di gawainya. Hidup di zaman digital ini  adalah hidup yang penuh informasi.

Aku diam dan sunyi  itu terus mengalir.......................

Malam mulai  pekat. Ingatan ke masa lalu tidak bisa berhenti. Genangan kenangan mengaliri jalur-jalur syarafku.

3 Februari 1969. Itu hari pernikahan kami. 3 Desember 2015, suamiku wafat.   47 tahun kurang dua bulan kami hidup berumah tangga, tidak sempat merayakan perkawinan emas.

Suamiku seorang politisi.  Dia  berjuang di bidang politik praktis, menjadi anggota legislatif.  Sepuluh tahun pertama aku tidak bisa membantu pekerjaannya. Aku menunaikan kodrat ibu, mengandung, melahirkan dan membesarkan anak-anak. Setelah anak-anak masuk sekolah, mulai kubantu dia dalam kerja-kerja  politiknya.

Sebagai politisi di lembaga legislatif dia butuh konseptor. Aku menjadi konseptornya.  Di zaman Orde Baru anggota DPR tidak difasilitasi dengan Tenaga Ahli (TA) dan sekretaris pribadi (sespri) seperti di era Reformasi ini.  Masing-masing anggota DPR mencari sendiri bahan dan materi untuk dibawa ke meja-meja sidang. Dalam kerja-kerja politiknya,  aku menyiapkan diri  menjadi sespri dan Tenaga Ahli. 

Untuk itu, dia menyuruhku ke kampus, studi di perguruan tinggi. Kami membahas masalah-masalah politik aktual hampir tiap hari.  Kemudian mencari bahan dan materi untuk disusun sebagai konsep yang dibawa ke sidang-sidang legislatif  atau  dipublikasikan sebagai opini politik.

Karir politiknya telah menempatkan suamiku dalam jabatan penting di sebuah partai politik dan mendapat kesempatan untuk menjadi anggota legislatif beberapa periode.  Kegetolan berorganisasi ini telah dijalaninya  sejak di bangku kuliah. Awalnya  dia mengabdi di kampus sebagai tenaga pengajar (dosen). 

Reformasi  politik di Indonesia era Orde Baru, membuka peluang bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik untuk ikut dalam Pemilu 1971.  Suamiku masuk ke salah satu Partai politik peserta Pemilu 1971. Sejak itulah dia menjadi anggota legislatif hingga tahun 1992.

Aku dan suami membangun relasi keluarga yang berkeadilan gender.  Aku merasa isteri termujur di dunia karena terhindar dari  konsep keluarga konvensional. Suami kepala keluarga, melakoni peran publik, sedangkan isteri   mengurus urusan rumah tangga  melakoni peran domestik.  Karena pembagian peran sosial seperti itu, maka relasi suami dan isteri adalah relasi kuasa. Aku terhindar dari relasi kuasa dalam rumah tangga.

Memang masih ketat dalam pandangan masyarakat  bahwa secara sosial perempuan  adalah warga kelas dua, inferior, berada di bawah dominasi laki-laki.  Relasi Kuasa dan produksi kekuasaan suami pada level rumah tangga, tidak terlepas dari produksi kuasa laki-laki di level negara. Negara cenderung lebih menyukai peran perempuan sebagai istri dengan mengabaikan otonomi pribadinya. Hal ini terkait dengan konsep negara tentang keluarga inti.  (UU Nomor 1 tahun  1975 tentang Perkawinan).

Aku dan suami  sering diskusi tentang ide kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini merupakan hal yang terindah dalam diskusi kami. Sering dibahas, pandangan masyarakat yang berakar dari  pandangan agama (Islam)  bahwa perempuan tidak diizinkan punya kehendak, harus mengikuti keinginan suami. 

Suami dibolehkan memukul isteri dan berpoligami. Bila tidak taat pada suami dan melanggar apa yang dikatakannya, akan dianggap sebagai perempuan tidak berguna, bahkan menjadi calon penghuni neraka. Membahas hal ini,    protesku muncul  berapi-api.  Suamiku adalah penguatku. Dia laki-laki penyabar, maka diskusi kami berjalan lancar dan indah.

Sesungguhnya, aku dan suamiku  memiliki cara pandang yang berbeda pada tiap  masalah, tetapi kami  dapat berbagi makna dalam impak kedewasaan. Aku lebih condong  melihat persoalan secara teoritis, sedangkan dia  lebih banyak pada  penerapan. Aku  bergumul dengan doktrin (dassolen) dia lebih mengartikulasikan praktek (dassain) . Aku  mengemukakan berbagai pandangan dan pendapat, dia bergaul dengan berbagai pandangan dan pendapat tersebut.

Cara pandang yang berbeda inilah yang membuat kami sangat akrab sekali. Berkomunikasi  merupakan alat  utama  untuk memproduk berbagai ide dan pikiran. Sekalipun sikap dasar manusia cenderung  menekankan egoisme masing-masing, tetapi aktivitas  terkoordinasi akan menghasilkan sesuatu  yang istimewa, apalagi dibarengi  cinta. Kami saling mencintai. Cinta adalah kendaraan besar dalam keluarga  untuk membentuk hidup sukses dan  damai.

Aku sangat mencintai nya, diapun demikian.  Dia  tidak pernah menyakitiku, akupun demikian. Kami hidup damai dan harmonis, penuh vitalitas kehidupan. Kami lebih banyak menggunakan waktu untuk mengolah kemampuan intelektual, terutama di bidang politik. Moralitas politik,  sering menjadi fokus diskusi kami.  Rencananya, setelah pensiun di panggung politik, kami akan mengolah pengalaman dan pengetahuan politiknya menjadi tulisan dan buku.  "Menulis adalah cara berbagi gagasan dengan orang lain" ucapnya waktu itu.

Kini dia telah pergi, sang maut datang menjemput. Aku kehilangan jiwa dan nafasku. Peristiwa kehilangan ini, sakitnya sampai  ke hulu hati. Tiap roma di tubuhku terasa tercerabut dari akarnya. Batinku terguncang, aku kehilangan pegangan dan air mata mengalir terus tidak bisa dicegah. Banyak pertanyaan menyesak dada. Mampukah hidupku berdenyut tanpa irama jantungnya?. Apakah aku kini hanya tinggal kerangka, sama sekali tidak hidup lagi ?   

Bayangan suami bertengger terus dalam kepala. Dia adalah pelangi di atas awan gelap yang pernah ber -- arak dalam hidupku. Suami bagiku adalah sebuah anugerah.

Tiba-tiba, putraku mengejutkan aku.  Dia tidak tahu kalau ibunya tidak berhenti menangis. Ketika dia melihat air mata meleleh di sudut bibirku, dia menyapa.   "Jangan bersedih ma, mama harus bangkit dan bersemangat lagi, kan ada anak-anak mama selalu menyayangi mama. Papa akan selalu ada di hati kita. Walau   papa telah pergi, tapi kemuliaan yang diajarkannya selalu tertanam di hati. Papa membanggakan kita, Papa tak pernah KORUPSI ".  

Malam kian larut. Mata belum juga mau tidur. Kutarik nafas dalam-dalam, kupejamkan mata sesaat, kubuang nafas perlahan, lalu aku berusaha untuk tidur dan berbisik, Ya Allah  bangkitkanlah semangatku ".

Sekian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun