Aku sangat mencintai nya, diapun demikian.  Dia  tidak pernah menyakitiku, akupun demikian. Kami hidup damai dan harmonis, penuh vitalitas kehidupan. Kami lebih banyak menggunakan waktu untuk mengolah kemampuan intelektual, terutama di bidang politik. Moralitas politik,  sering menjadi fokus diskusi kami.  Rencananya, setelah pensiun di panggung politik, kami akan mengolah pengalaman dan pengetahuan politiknya menjadi tulisan dan buku.  "Menulis adalah cara berbagi gagasan dengan orang lain" ucapnya waktu itu.
Kini dia telah pergi, sang maut datang menjemput. Aku kehilangan jiwa dan nafasku. Peristiwa kehilangan ini, sakitnya sampai  ke hulu hati. Tiap roma di tubuhku terasa tercerabut dari akarnya. Batinku terguncang, aku kehilangan pegangan dan air mata mengalir terus tidak bisa dicegah. Banyak pertanyaan menyesak dada. Mampukah hidupku berdenyut tanpa irama jantungnya?. Apakah aku kini hanya tinggal kerangka, sama sekali tidak hidup lagi ?  Â
Bayangan suami bertengger terus dalam kepala. Dia adalah pelangi di atas awan gelap yang pernah ber -- arak dalam hidupku. Suami bagiku adalah sebuah anugerah.
Tiba-tiba, putraku mengejutkan aku.  Dia tidak tahu kalau ibunya tidak berhenti menangis. Ketika dia melihat air mata meleleh di sudut bibirku, dia menyapa.  "Jangan bersedih ma, mama harus bangkit dan bersemangat lagi, kan ada anak-anak mama selalu menyayangi mama. Papa akan selalu ada di hati kita. Walau  papa telah pergi, tapi kemuliaan yang diajarkannya selalu tertanam di hati. Papa membanggakan kita, Papa tak pernah KORUPSI ". Â
Malam kian larut. Mata belum juga mau tidur. Kutarik nafas dalam-dalam, kupejamkan mata sesaat, kubuang nafas perlahan, lalu aku berusaha untuk tidur dan berbisik, Ya Allah  bangkitkanlah semangatku ".
Sekian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H