Mohon tunggu...
Mardety Mardinsyah
Mardety Mardinsyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pendidik yang tak pernah berhenti menunaikan tugas untuk mendidik bangsa

Antara Kursi dan Kapital, antara Modal dan Moral ? haruskah memilih (Tenaga Ahli Anggota DPR RI)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Malinkundang Pelupa, Bukan Anak Durhaka

9 November 2020   23:01 Diperbarui: 9 November 2020   23:20 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kisah Malin Kundang  menjadi legenda yang hidup di Minangkabau, Sumatera Barat. Tidak jelas siapa   mengarang cerita  ini. Kisah ini dituturkan dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi.  Kisah ini dimaknai sebagai  nilai-nilai  hidup yang harus dihayati dalam masyarakat. Kisah Malin Kundang mengandung nilai  agama dan nilai tradisi. Anak yang menyakiti hati ibunya dipandang durhaka dan anak laki-laki di Minangkabau akan  merantau mencari kehidupan yang lebih baik.

Anak  yang diceritakan dalam legenda  ini adalah anak laki-laki bernama   Malin Kundang, dipanggil;  Malin.   lahir  di di pantai Air manis, sebuah desa dipinggir pantai Kota Padang, dari keluarga nelayan miskin. Bapak ibu Malin pasangan yang tidak serasi. Mereka selalu bertengkar. Malin masih ingat sumpah serapah ibunya bila bapaknya pulang melaut tidak membawa hasil tangkapannya. Ibu Malin perempuan pemarah dan penyumpah Kalau marah sumpah serapahnya menegakkan bulu roma. Toxic naration. Kata-kata beracun.

Suatu hari bapak Malin lambat pulang dari laut. Ibu Malin marah dan menyumpah,  biar bapaknya ditelan laut. Setelah beberapa hari, bapak Malin memang tidak pulang -- pulang ke rumah.  Bapaknya di telan laut.

 Setelah bapak mati, si Malin dibesarkan ibunya. Dia  membantu ibunya mencari nafkah. Tiap hari, dia menangkap udang, kepiting dan ikan-ikan kecil di pinggir laut, lalu dijual dibelikan beras  untuk makan mereka  berdua. 

Tekad untuk merubah nasib, meraih kehidupan yang lebih baik, membangun niatnya  untuk pergi  merantau. Suatu hari di  pantai Air Manis kota Padang, berlabuh  sebuah kapal asing .  Malin Kundang  ikut berlayar  bersama kapal tersebut.

Berkat tekad, semangat, keuletan, ketekunan dan ketangguhan dalam  bekerja,  Malin  di perantauan  meraih sukses besar. Malin  kaya raya.  Kemudian  pulang kampung  bersama istri dengan   kapalnya yang indah.

Kapal Malin Kundang   berlabuh di pantai air manis tak jauh dari rumahnya. Ketika kapal yang indah itu merapat ke dermaga, penduduk berduyun-duyun datang untuk melihat, termasuk  ibu Malin Kundang. Ketika melihat seorang perempuan yang  tua  renta, dan sangat kumuh, di tengah kerumunan orang dan mengaku ibunya, Malin tidak percaya itu ibunya dan berprasangka perempuan tua itu mengaku-ngaku sebagai ibunya. Lalu Malin berlalu dan mengatakan bahwa perempuan itu bukan  ibunya.

Ketika menyadari anaknya sudah tidak mengakuinya sebagai ibu, Ibu Malin Kundang terguncang hebat dan marah besar. Marahnya membara dan sumpah serapah mengalir dari mulutnya. Ibu Malin menyumpahi si Malin  menjadi batu. Ketika kapal Malin keluar dari dermaga, badai topan datang. Kapal Malin Kundang dihempas badai dan  Malin Kundang menjadi batu.

Sebagai cerita  rakyat,  legenda ini  disampaikan secara lisan yang tentu banyak mengalami berbagai reduksi. Dan sebagai legenda belum tentu ada kebenarannya. Namun masyarakat kisah ini  benar-benar terjadi.  Batu  yang terletak di pantai Air Manis, kota Padang, dilihat sebagai bekas kapal Malin Kundang yang  di dalamnya  terdapat sosok Malin Kundang yang telah menjadi batu. Batu itu disebut sebagai batu Malin Kundang. Kini menjadi objek wisatadi Sumatera Barat.  

Legenda Malin Kundang pernah  di tulis dalam bentuk Drama oleh Wisran Hadi, Cerita pendek oleh A.A. Navis  dan  berbagai bentuk  tulisan di media massa, termasuk dalam  situs-situs internet. Dari berbagai tulisan tersebut tidak ada makna lain bagi Malin Kundang  selain  Malin Kundang anak durhaka.  Tafsir karakter Malin Kundang sebagai anak durhaka melekat dalam pikiran masyarakat dan menjadi fenomena budaya. Kebenaran tunggal yang telah diberikan pengarang  kepada Malin kundang tidak pernah berubah sampai kini.  

Membaca ulang legenda Malin  Kundang, terlihat bahwa makna dibalik legenda ini merupakan media  pendidikan masa lalu yaitu menanamkan nilai-nilai moral  pada anak.  Pada masa lalu dalam strukturalisme  pendidikan anak harus mengikuti struktur yang ada. Anak  dibentuk  dan dibimbing memasuki pengetahuan dan pengalaman  hidup tapi  harus meletakkan keyakinannya diantara keyakinan yang telah dikukuhkan masyarakat. Bila anak memiliki keyakinan berbeda, itu dianggap durhaka. Anak harus menghadapi garis lurus yang tunggal dalam hidupnya dan  diharuskan mengikuti garis lurus itu tanpa membantah. Bila membantah, Tuhan  didatangkan dalam hidup anak dengan kaki yang menginjak (dikutuk). Anak menjadi takut dan tidak bahagia.  Keyakinan lebih utama dari pengetahuan.

Pola asuh yang harus mengikuti garis lurus  yang tunggal menjadikan  anak laksana arus  hulu yang tercurah tidak bisa menentukan hilirnya sendiri. Dunia orang dewasa dipenuhi oleh berbagai kekhawatiran, karena arus hulu yang tercurah itu dapat  menjadi sungai yang  deras  atau  tersangkut di waduk-waduk, yang akhirnya bermuara dalam  kehidupan yang sia-sia.  

Kehidupan manusia berubah ubah. Hal--hal yang menyangkut nilai-nilai kehidupan seharusnya tidak boleh diterima begitu saja, tapi harus dikritisi.  Di zaman ini, pendidikan harus ditujukan untuk mempersiapkan anak menjadi manusia dan warga yang bebas.  Dengan membawa satu kebenaran yang tidak boleh berubah, membuat anak terperangkap dalam dogma beku dan fanatisme yang berlebihan. Anak sulit membangun argumentasi dan tidak mampu melakukan artikulasi.  Hasil yang akan dituai adalah kualitas SDM yang tidak pernah membanggakan.

Cara berpikir masyarakat dewasa ini memang telah berubah, tapi ada yang sensitive terhadap perubahan, ada yang tidak peduli dan ada yang tidak mau berubah sama sekali. Dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan  sekarang ini, ada yang  melihat masalah  kehidupan masa kini dengan cara berpikir lama dan ada yang melihat dengan cara berpikir baru.

Salah satu cara berpikir baru adalah tidak lagi menerima makna  tunggal, baik dalam berbagai pengetahuan dan tradisi. Muncul semangat membongkar makna-makna lama dan membangun  makna-makna baru yang bermanfaat untuk kehidupan kekinian. Pembongkaran makna atau dekonstruksi perlu dilakukan untuk membuat teks atau konteks kehidupan bersikap terbuka bagi berbagai kemungkinan perubahan, disamping menghindarkan sikap otoritarian. Tata kehidupan yang selama ini dipandang ideal, otentik, perlu dipertanyakan  apakah masih relevan dengan kemajuan zaman. 

Atas dasar hal di atas, gambaran makna selama ini bahwa  Malin Kundang anak durhaka, bisa dibongkar atau didekonstruksi. Dengan membaca  hal-hal tersembunyi, dapat  ditemukan  makna versi lain. Malin Kundang  mengenal ibuya sebagai  perempuan pemarah dengan mulut penuh sumpah serapah. Ketika seorang perempuan tua datang dalam kerumunan, Malin Kundang lupa kalau itu ibunya.  Kebenaran tunggal yang telah diberikan pengarang  kepada Malin kundang sebagai anak durhaka dapat berubah bahwa si Malin bukan durhaka tapi pelupa.   

Pesan lama yang tersirat dari legenda ini, anak harus menghadapi garis lurus yang tunggal dalam hidupnya dan harus mengikuti garis lurus itu tanpa membantah. Bila membantah, Tuhan  didatangkan dalam hidup anak dengan kaki yang menginjak.  Akibatnya, anak tidak kreatif dan terbelenggu dalam dogma.

Pesan baru dapat disampaikan bahwa ibu pemarah dan penyumpah merupakan hal yang tidak baik. Marah dan menyumpah bukanlah bagian dari pola asuh.  Marah berlebihan apalagi menyumpahi anak merupakan racun yang menyakiti psikologis anak dan bisa terbawa sampai anak dewasa.   

Disisi lain, kebenaran yang tak pernah diungkap, bahwa  si Malin tidak hanya dilihat sebagai anak, tetapi dapat dilihat sebagai pemuda perantau Minang yang sukses yang bisa  sebagai sosok teladan dalam  menghapus kemiskinan dan membangun identitas diri.

Malin Kundang  sebagai seorang pemuda pergi  merantau.  Hal ini tidak terlepas dari pengaruh sistem matriarchat di Minangkabau. Anak laki-laki di Minangkabau tidak berhak memiliki harta pusaka dari ibunya, karena harta itu diwariskan untuk anak perempuan. Tradisi " merantau" merupakan nilai   yang  masih relevan untuk masa kini. Anak muda perlu mandiri, perlu berani dan perlu mencari tahu apa yang membuat orang  sukses. Meraih kesuksesan cukup dengan  ide sederhana,  yang dijalankan dengan eksekusi yang baik, fokus dan konsisten plus perbaikan terus menerus tanpa henti. Walau punya ide  revolusioner tapi tidak dieksekusi dengan baik sering membawa kegagalan.

  Melihat Malin Kundang dari sisi ini,  akan sangat inspiratif bagi anak muda. Sikap yang ditunjukkannya  memberi pencerahan bagi perjuangan anak muda dalam mengharungi samudera kehidupan yang  sangat kompleks dan penuh ketidakpastian seperti sekarang ini.

Pulang kampung setelah sukses  merupakan keniscayaan bagi laki-laki Minangkabau. Bila  memiliki kapital ekonomi yang kuat, maka  kapital sosial akan datang dengan sendirinya dan selanjutnya akan menjadi  kapital simbolik buat kaumnya.

 Indonesia dalam era reformasi, terutama dalam sistem otonomi daerah,    lahir  motto "Putra Daerah".   Bila ada  perantau Minang yang   sukses (Malin Kundang abad 21),  dia  akan diminta pulang kampung , didaulat untuk   menjadi kepala daerah atau anggota legislative.

Membongkar gambaran  makna dalam legenda Malin Kundang dan menghadirkan hal-hal yang tidak hadir seperti diuraikan di atas, maka dapat ditampilkan  tafsir   baru karakter Malin kundang. Malin Kundang  bukan lagi sebagai anak durhaka tetapi hadir sebagai perantau Minang yang sukses. Dia dapat dijadikan teladan, karena  berhasil membangun identitas diri  dan menghapus kemiskinan.

Masyarakat kita tidak kritis, terbiasa menelan mentah-mentah  apa yang disodorkan. Oleh karena itu,  kita jarang mendengar  tafsir  yang berbeda dari sebuah legenda, seperti legenda Malin Kundang. Tafsir karakter Malin Kundang sebagai anak durhaka telah melekat dalam pikiran masyarakat. Kisah ini  dikontruksi oleh pengarang dengan tujuan menanamkan nilai-nilai moral kepada anak, tapi itu cara-cara kuno yang tidak sesuai zaman.

Meyakini makna terjalin dari penanda-penanda yang tersembunyi dari suatu teks, dalam legenda Malin Kundang seperti kesuksesannya di perantauan, pulang kampung membangun identitas baru, maka   gambaran makna tentang Malin Kundang sebagai anak durhaka dapat didekontruksi.  Makna baru dibalik legenda ini adalah  Malin Kundang perantau sukses.  Makna baru ini dapat dijadikan media pendidikan bahwa  anak perlu  hidup mandiri.  Anak dididik mampu membangun visi  sendiri dan menjalankan  visi itu dengan eksekusi yang baik, fokus dan konsisten plus perbaikan terus menerus tanpa henti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun