" Mendengar ayahnya terbunuh dalam perkelahian, Sabai berlari menuju ke Padang Panahunan tempat perkelahian itu dengan membawa senapan ayahnya. Diperjalanan ketemu musuh ayahnya. Sabai dengan muka memerah menanyakan ayahnya. Musuh ayahnya menggodanya dengan mengatakan dia tambah cantik kalau lagi marah dan mengatakan bahwa ayahnya tertembak. Sabai bertambah marah sambil mengarahkan senapannya ke dada Rajo nan Panjang, musuh ayahnya itu yang tertawa terbahak-bahak mengejek Sabai nan Aluih dengan mengatakan bahwa dia perempuan, senapan bukan mainan anak perempuan dan perempuan tidak bisa pegang senapan. Sabai nan Aluih bertambah marah mendengar hinaan itu, lalu menarik pelatuk senapannya. Terdengarlah suara dentuman yang sangat keras. Seketika itu pula, Rajo nan Panjang terjatuh ke tanah, peluru menembus dadanya".
Keberanian Sabai Nan Haluih membalas kematian ayahnya, membuat namanya menjadi legenda. Keberanian seorang perempuan rupanya mengkagetkan orang banyak. Dalam pandangan masyarakat perempuan itu lemah, halus, manja dan tidak berani menyelesaikan persoalan apalagi membalas dendam.
Ketika himbauan Puan Maharani yang mengharap Sumatera Barat menjadi pendukung negara Pancasila, bagi saya itu sebuah himbauan yang berani. Puan Maharani bak Sabai Nan Haluih, Perempuan Pemberani. Tidak ada yang salah dengan himbauan itu.
Siapa yang berani bilang kalau itu bukan sebuah sikap yang berani ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H