Mohon tunggu...
Mardety Mardinsyah
Mardety Mardinsyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pendidik yang tak pernah berhenti menunaikan tugas untuk mendidik bangsa

Antara Kursi dan Kapital, antara Modal dan Moral ? haruskah memilih (Tenaga Ahli Anggota DPR RI)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Puan Maharani bak Sabai Nan Haluih Perempuan Pemberani dalam Legenda Minangkabau

7 September 2020   17:57 Diperbarui: 7 September 2020   18:08 418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membaca ulang kaba " Sabai Nan Haluih" dengan cara berpikir di zaman ini, maka terlihat bahwa perempuan juga bisa berani dan tangkas menyelesaikan persoalan. 

Sekalipun Minangkabau terkenal memiliki hukum kekerabatan matrilinial, tapi pandangan bahwa derajat perempuan lebih rendah dari laki-laki tetap mewarnai kehidupan sosial. Pandangan ini dengan nyaman berlindung dibalik ajaran adat dan agama. sesuai dengan falsafah minang " adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah".

Bila "disigi" secara dalam, beberapa ajaran adat dan ajaran agama, memposisikan perempuan tidak sederajat dengan laki-laki. Perempuan dipandang lebih rendah dari laki-laki. Perempuan tidak pantas menjadi pemimpin, baik pemimpin adat maupun pemimpin agama. 

Perempuan boleh dipoligami dan bisa ditalaq sesuka hati, karena talaq adalah hak progregatif laki-laki. Pandangan ini tanpa disadari melahirkan berbagai diskriminasi dan ketidakadilan bagi perempuan dalam kehidupan sosial.

Kembali ke kaba Sabai Nan Haluih. Sabai dibesarkan dalam keluarganya secara adat Minangkabau dan agama Islam. Yang diutamakan dari pendidikan seorang anak perempuan adalah kecantikan dan perilaku. 

Tukang kaba menguraikan kecantikan Sabai secara detail dan juga menguraikan sifat dan perilaku Sabai Nan Haluih. Sabai rajin membantu pekerjaan ibunya, senantiasa mengisi waktunya dengan menenun dan merenda. Sesuai dengan namanya Sabai nan Aluih (Sabai yang lembut), dia berbudi pekerti luhur, santun dalam berbicara, hormat pada yang tua.

Dalam ajaran adat Minang, anak perempuan tidak pernah dipersiapkan menjadi pemimpin. Anak laki-laki yang dipersiapkan menjadi pemimpin: "Waktu kecil menjadi anak, sudah besar menjadi mamak". 

Sementara anak perempuan dipandang sebagai beban, tidak diperlakukan setara dengan saudara laki-lakinya. Suaranya tidak pernah didengar dan tidak diajak berunding membuat keputusan. Segala sesuatunya selalu di nomorduakan. 

Dalam kaba Sabai nan Haluih, tukang kaba menyampaikan dalam bentuk kiasan perbedaan perlakuan tidak setara antara anak laki-laki dan perempuan " kalau makan ikan, daging-dagingnya untuk saudara laki-laki Sabai dan tulang-tulangnya untuk si Sabai".

Jika ditilik dipandang-pandangi lalu dilihati, kononlah Raja Berbanding ayah Sabai Nan Aluih, sayangkan anak berat sebelah, kasih ke anak tidak sama, cintakan anak berbagi-bagi, Mangkutak selalu dilebihkan. Kalaulah ia pergi ke Balai, di medan menyabung ayam jika menang ayam nan kurik, daging-dagingnya untuk Mangkutak, tulang-tulangnya untuk si Sabai. Kalau ada lemang sekabung, Mangkutak jua dapat dahulu, derai-derainya bagian si Sabai, jika pergi ke tepian, Mangkutak di atas punggung kuda, si Sabai di tangan kiri..." ( Sati, 1997: 25)

Ketika Sabai nan Haluih menunjukkan keberaniannya, membalas kematian ayahnya yang kalah dalam perkelahian, Sabai menjadi legenda. Tukang kaba bercerita ;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun