"Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye." Adalah bunyi Pasal 299 ayat 1 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan bagi orang awam yang lugu akan berpikir, ya boleh saja presiden dan wakil presiden berkampanya karena itu hak yang dijamin Undang-Undang.
Awalnya saya berpikir begitu juga, namun ternyata setelah membaca sumber-sumber lain, pemaknaan pasal tersebut jangan sepotong-sepotong yang akhirnya mengurangi makna sebenarnya dari hadirnya UU tersebut. Kira-kira begitu.
Pemilu kali ini punya rasa yang berbeda. Parpol menyusun berbagai macam strategi guna mengamankan posisinya dalam lembaga pemerintahan, khususnya legislatif dan eksekutif.
Sebab kedua lembaga tersebut punya kuasa untuk mengawasi, membuat aturan dan mengeksekusi berbagai macam keputusan penting untuk bangsa dan negara setiap lima tahun.
Berangkat dari sini, kita lompat ke kondisi yang  ramai sekali diberitakan beberapa hari terakhir.Â
Semua berawal dari pernyataan Presiden Jokowi dan penyaluran Bansos yang berujung kepada kekompakan civitas akademika beberapa Perguruan Tinggi serempak dengan kemegahan toga dan pakaian necis memberi seruan mengingatkan agar Presiden Joko Widodo kembali ke jalan lurus demokrasi.
Dilema Seorang Presiden
Pasal 299 ayat 1 UU 7/2017 harus dibaca secara lengkap karena berkaitan dengan ketentuan lainnya. Esensinya, peraturan tersebut memberikan peluang kepada Presiden petahana yang mencalonkan diri dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) untuk periode kedua.
Selanjutnya, aturan yang harus dipatuhi mencakup Pasal 280, 281, dan 282 UU 7/2017. Dimana dalam ketentuan tersebut, diperbolehkan bagi Presiden untuk melakukan kampanye bagi pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden yang diusung oleh partai politiknya.
Sayangnya dalam Pilpres kali ini Presiden Jokowi seperti menghadapi dilema. Sebab beliau adalah pejabat negara dan juga anggota partai politik bersamaan itu pula beliau adalah seorang ayah dari Mas Gibran Cawapres dari Pak Prabowo yang merupakan Paslon nomor dua.
Aturan yang disinggung tadi memang memberi jaminan kepada presiden untuk berkampanye hanya jika berstatus petahana atau berkampanye untuk pasangan yang berasal dari PDI-Perjuangan yang mencalonkan Pak Ganjar dan Pak Mahfud MD sebagai Paslon nomor tiga.
Akan kacau jika betul-betul Presiden Joko Widodo berkampanye karena jika demikian untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Hampir dapat dipastikan terjadi demo besar-besaran, banjir kritikan dan negara menjadi chaos.
Masa-masa menjelang pencoblosan ini sangat tepat jika "Saya tidak berkampanye."Â
Tak Ada Asap Kalau Tak Ada Api : Kontroversi Bansos
Bak gayung bersambut, Jokowi dihujani kritikan setelah memberi pernyataan boleh kampanye. Umpan yang dilontarkan beliau langsung disambut banyak pihak yang khawatir jika jalan panjang demokrasi bangsa ini rusak.
Terasa betul bahwa pernyataan tadi mengundang ragam reaksi. Pak Ganjar sampai memakai perumpamaan sore kedele besok tempe yang mengumpamakan pernyataan presiden yang berubah-ubah.
Belum selesai dengan urusan boleh berkampanye, datang juga masalah Bansos yang gencar dibagikan oleh presiden langsung padahal mendekati pemilu.
Pembagian ini mesti meresahkan beberapa pihak karena takutnya dijadikan media kampanye pada calon tertentu, dimana anak beliau adalah salah satu kontestan dalam Pilpres kali ini.
Bansos itu milik rakyat, jadi sudah benar kalau kembali ke rakyat. Pada pembagian Bansos baru-baru ini Presiden Jokowi tidak didampingi Mensos sehingga menjadi kontroversi.Â
Bansos jika dibagikan Kemensos sudah sesuai, karena memang begitu seharusnya. Sekalipun biasanya dalam kunjungan presiden membagikan Bansos, namun dalam masa-masa Pemilu saat ini pembagian Bansos oleh presiden akan dipolitisasi.
Tapi perlu juga diingat bahwa program bantuan sosial merupakan salah satu program yang efektif membantu pemerintah mengatasi masalah kemiskinan.Â
Sebelum pandemi tahun 2020, terjadi kenaikan anggaran Bansos yang berdampak positif menurunkan tingkat kemiskinan. Selain itu, Bansos kali ini kenaikan anggarannya cukup tinggi.Â
Nilai anggaran Bansos yang tinggi perlu dipastikan tepat. Seperti yang biasa dilakukan, Presiden Jokowi selalu turun langsung dalam setiap program pemerintah. Sekali lagi hal itu dilakukan untuk memastikan penyaluran bantuan sosial dilakukan secara tepat sasaran.
Polda dan Rektor : Cooling System yang Salah Dalam Pemilihan Waktu ?
Polda Jawa Tengah dan Rektor Unika Soegijapranata Kota Semarang menjadi perbincangan publik, ditengarai pengakuan Polda Jateng bahwa merupakan bagian dari cooling system Polri menjelang Pemilu 2024.
Viral pengakuan Pak Rektor Unika Soegijapranata bahwa diminta membuat video tentang apresiasi kinerja Presiden Joko Widodo. Apakah sebuah kekeliruan permintaan yang sespesifik itu ?Â
Mungkin saja itu sebuah kekeliruan atau bisa jadi pernyataan Rektor Unika dipahami hanya di kata-kata "apresiasi kinerja Presiden Joko Widodo" semata sehingga memberi arti cara yang digunakan Polda keliru.
Padahal program cooling system Polri ini adalah terobosan yang sangat baik untuk mencegah atau bahasa kerennya sebagai langkah preventif menjelang pesta demokrasi.Â
Bukan saja Pilpres 2024, tapi sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum 2024 entah itu di Pilkada, Pileg, maupun untuk peristiwa-peristiwa besar yang dirasa Polri, perlu dilakukan.
Terlalu jauh sepertinya jika dipahami bahwa permintaan Polda itu merupakan instruksi langsung presiden, dan terlalu keliru serta salah juga beranggapan bahwa itu institusi Polri tidak netral dan berusaha membuat pernyataan tandingan melawan narasi beberapa Perguruan Tinggi yang lain.
Kampus punya kebebasan panggung akademik dan juga memiliki kewajiban menegur, mengarahkan dan memberi masukan terhadap arah perjalanan bangsa, dan kebebasan itu tidak boleh ditekan dan dikekang.Â
Dunia kampus adalah dunia akademik memegang prinsip-prinsip etika akademik, menyuarakan salah jika salah dan benar jika benar.
Institusi Polri juga adalah institusi yang punya wewenang sesuai UU untuk memberi rasa keamanan dan ketertiban, dengan berpedoman pada Tri Brata, untuk melindungi dan mengayomi masyarakat.
Program cooling system adalah terobosan yang perlu diapresiasi. Polri telah banyak melakukan perubahan-perubahan dalam tubuhnya sendiri dan konsisten dalam memberi rasa aman, nyaman, dan ketertiban.
Cooling system sekali lagi merupakan kegiatan preventif yang tepat menjelang pesta besar 5 tahunan, mencegah masalah-masalah kecil yang dikhawatirkan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk memperbesar masalah dan mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat.
Rentetan peristiwa penting yang terjadi beberapa hari belakangan, menggambarkan kondisi dinamis masyarakat. Hak berpendapat dan berekspresi yang ramai ini seolah-olah menunjukkan bahwa setiap pesta demokrasi selalu punya cerita tersendiri yang mewarnai proses demokrasi Indonesia.
Harapannya semakin hari, Indonesia semakin dewasa dalam keunikannya berdemokrasi. Masing-masing kita punya peran untuk menceritakan ke generasi selanjutnya bahwa sekalipun pilihannya berbeda, semua akan bersatu juga mengakui bahwa kedaulatan rakyat selalu menang dalam menentukan arah perjalanan bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI