Mohon tunggu...
Marcko Ferdian
Marcko Ferdian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pencinta Monokrom dan Choir

Love what you have || Kompasianer pemula

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Monopoli Digital

8 Januari 2023   00:36 Diperbarui: 8 Januari 2023   15:53 1057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Ekonomi Digital/Shutterstock/Sumber: asset.kompas.com

Pernah tidak terbesit dari mana koorporasi besar seperti Google, Amazon, Meta, Apple, Microsoft (GAMAM), Facebook, Instagram, dan TikTok memperoleh keuntungan?

Semenjak pandemi melanda dunia, banyak perusahaan mulai melirik teknologi digital untuk memasarkan produk-produknya. Dari sinilah pelaku usaha dan korporasi mulai memanfaatkan apa yang dikenal dengan istilah data untuk menyasar konsumen.

Dengan cepatnya perkembangan teknologi serta pesatnya pasar digital, isu-isu seperti kesenjangan serta kolonialisme digital bermunculan.

Hal tersebut tak lepas dari permasalahan seperti monopoli data dan tentunya masalah akses internet yang belum merata sehingga terkesan ada persaingan usaha yang tidak sehat.

UNCTAD dalam laporannya menyebutkan, perkembangan ekonomi digital tidak dapat ditanggapi dengan perlakuan yang sama dengan ekonomi konvensional sebab pelaku dan pasar kedua sistem ekonomi tersebut sangat berbeda karakternya.

GAMAM contohnya, merupakan korporasi raksasa yang menguasai hampir semua data digital dan jarigan internet dunia termasuk periklanan, search engine, sampai kekayaan intelektual sehingga posisi mereka yang dominan ini sering membuat banyak negara kesulitan menghadapi sengketa digital saat berhadapan dengan mereka.

Sehingga, diperlukan respon yang sesuai ketika dikemudian hari terjadi sengketa karena persaingan usaha di ranah digital yang tidak sehat.

Gambar sebagai ilustrasi/By Artem Podrez/Sumber : pexels.com
Gambar sebagai ilustrasi/By Artem Podrez/Sumber : pexels.com

Akses Terhadap Data dan Penguasaan Jaringan

Tahun 2021, pasar digital Indonesia menembus angka 168 juta konsumen dibarengi dengan lahirnya perusahaan-perusahaan rintisan digital yang mencakup berbagai sektor usaha sehingga pasar digital menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelaku usaha.

Pesatnya pasar digital tersebut membuat pelaku usaha berkompetisi menjangkau pasar. Bukan hanya pelaku usaha besar saja yang punya peluang berkompetisi, UMKM, perusahaan-perusahaan kecilpun punya peluang yang sama untuk menjangkau pasar seharusnya.

Akan tetapi gap yang muncul adalah akses data dan penguasaan jaringan. KPPU menyebutkan dalam pasar digital, ada lima faktor utama yang perlu dikuasai yaitu marketplace, mesin pencari, jejaring sosial, pembayaran, dan video sharing.

Hal tersebut jarang atau bahkan tidak dimiliki oleh UMKM maupun perusahaan-perusahaan kecil yang baru merintis usahanya, dibanding korporasi raksasa yang sudah disebut sebelumnya. Korporasi raksasa menguasai akses data dan jaringan yang sangat luas sehingga berpotensi mematikan bisnis usaha-usaha kecil dan perusahaan yang baru merintis usahanya.

Kekhawatiran yang muncul adalah terjadinya sebuah fenomena yang disebut killer takeover, dimana perusahaan-perusahaan digital besar melakukan merger dan mengakuisisi pesaing usaha yang dianggap "membahayakan" posisi mereka.

Untuk itulah peran negara harus besar untuk melindungi pelaku usaha dari fenomena tersebut. Karena peran negara inilah sering kali terjadi sengketa dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang menyalahgunakan posisi dominannya (Gembong Hanung, 2022).

Lantas, adakah usaha dari negara untuk melindungi pelaku-pelaku usaha yang ingin berkompetisi di pasar digital?

Ilustrasi data/By  Tima Miroshnichenko/Sumber : pexels.com
Ilustrasi data/By  Tima Miroshnichenko/Sumber : pexels.com

Pengawasan dalam Persaingan Usaha di Era Ekonomi Digital

Ekonomi pasar memiliki syarat mutlak, yakni persaingan usaha sehingga sangat penting dilakukan pengawasan agar nantinya persaingan usaha terjadi secara sehat.

Sesuai amanat Pasal 28 dan 29 UU No. 5 Tahun 1999, dibentuklah KPPU untuk mengawasi persaingan usaha guna mencegah terjadinya monopoli akibat penggabungan, peleburan unit usaha.

KPPU adalah lembaga independen yang juga menyerupai otoritas yudikatif, yang punya kuasa terkait kasus persaingan di perusahaan dan punya wewenang menegakkan UU Persaingan Usaha.

Permasalahannya, dalam UU No. 5 Tahun 1999, faktor penting tentang ekonomi digital belum terkover dengan detail yaitu data dan jaringan digital. Data dan jaringan ini membuat pasar digital memiliki keunikan karena dari sisi produk dan ukuran pasarnya sangat berbeda dengan pasar konvensional.

Permasalahan lain yang dapat timbul dari UU ini adalah bagaimana mencari dan menemukan perusahaan mana yang betul-betul melakukan pelanggaran sebab pelaku ekonomi digital, baik pelaku usaha maupun konsumen dapat berasal dari berbagai penjuru dunia karena sifat pasar digital yang tak terbatas ruang dan waktu, sehingga akan sulit untuk mengidentifikasi permasalahan yang terjadi.

Masalah-masalah tersebut menjadi ancaman bagi usaha-usaha kecil dan perusahaan kecil lainnya untuk bersaing dengan korporasi raksasa yang menguasai aspek data dan jaringan seperti yang ditemukan Wu dan Stuart (2021) dimana dalam laporannya, perusahaan besar seperti Google, Microsoft, Apple, Facebook dan Amazon telah melakukan sekitar 400 proses akuisisi di seluruh dunia.

Akuisisi dan merger yang dilakukan menjadikan sebuah perusahaan melakukan praktek monopoli sehingga persaingan usaha menjadi tidak sehat.

Menurut Sabirin dan Herfian (2021), di era ekonomi digital ini persaingan usaha tidak sehat muncul dengan regulasi yang belum adil. Sebagai lembaga pengawas, KPPU perlu memberi perhatian untuk karakteristik pasar digital, terutama ketika melibatkan perusahaan atau korporasi yang dominan.

Karena sejauh ini sengketa persaingan usaha hanya diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999, dimana dalam UU tersebut sangat berbeda ketika diperhadapkan dengan kondisi pasar digital.

Aturan tersebut belum mampu dengan jelas menjabarkan tentang parktik monopoli, pasar dan pelaku ekonomi digital dibanding ekonomi konvensional sehingga diperlukan penyesuaian regulasi terhadap permasalahan-permasalahan kegiatan ekonomi digital.

Sumber :

[1],[2],[3],

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun