Populasi manusia diperkirakan akan meningkat dan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi dimana permintaan akan bahan bakar juga meningkat.
Sementara itu bahan bakar fosil merupakan sumberdaya yang terbatas sehingga ke depan, dikhawatirkan dapat menimbulkan banyak konflik kepentingan bahkan perang untuk mengamankan pasokan bahan bakar yang adalah sumberdaya terbatas tersebut.
Selain itu, dampak lingkungan dari penggunaan bahan bakar fosil ini tentu meningkatkan emisi gas rumah kaca dan berujung pemanasan global yang saat ini sedang menjadi isu penting saat pemimpin dunia menghadiri KTT.
Untuk mengatasi potensi konflik kepentingan dan menekan laju pemanasan global, beberapa negara mulai mengupayakan penggunaan Bahan Bakar Nabati atau biofuel, salah satunya sawit.
Namun, penggunaan sawit-pun tak lepas dari pro dan kontra seakan tak kelihatan ujungnya. Negara maju kadang terlihat suka merundung (bullying) negara penghasil sawit karena masalah lingkungan, sebab perkebunan sawit menyebabkan banyak deforestasi.
Lantas, adakah alternatif biofuel selain sawit dan sumber nabati lainnya? Jika ada, apa kelebihannya?
Biofuel Alga, Status Terkini dan Masa Depan
Algae merupakan salah satu alternatif biofuel yang jika dibandingkan dengan BBN lainnya, memiliki kemampuan untuk bereproduksi secara cepat.
Selain itu, sama halnya dengan tumbuhan, dia punya kemampuan untuk menyerap CO2 dan mengubahnya menjadi O2.
Dibanding tumbuhan darat, alga yang adalah spesies yang hidupnya di perairan memiliki kemampuan untuk tetap hidup pada kondisi lingkungan sangat ekstrim.
Karena punya kemampuan bereproduksi secara cepat, dan mampu hidup dalam keadaan ekstrim maka kehadirannya cocok sebagai kandidat energi terbarukan dan berkelanjutan, serta punya peran untuk mengendalikan pencemaran lingkungan (Suganya et al, 2016).
Bagaimana status terkini dan potensinya di masa depan?
Dari sisi lingkungan dan energi terbarukan, alga sebagai alternatif pengganti bahan bakar fosil sangat sesuai dikembangkan. Namun metode konversinya  harus melewati tahapan-tahapan yang dari sisi ekonomi, sangat mahal serta perlu investasi sangat besar.
Akan tetapi kemahalan itu dapat diatasi jika semua produk sampingannya dimanfaatkan secara optimal ( Adeniyi O. M., et al., 2018).
Sehubungan dengan pemanfaatan alga sebagai alternatif biofuel, Komisi Energi Eropa menetapkan bahwa industri penerbangan di wilayahnya diwajibkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GHG) sampai 30% dengan memanfaatkan bahan bakar ramah lingkungan sejak dua tahun lalu.
Dengan kata lain tahun 2020 lalu, keberlanjutan ekonomi dan ekologi khusus untuk bahan bakar industri penerbangan telah diarahkan untuk pengembangan dan penggunaan bahan bakar biojet berbasis alga yang telah direkayasa genetiknya.
Jauh sebelum 2020, di tahun 2008, sebuah perusahaan energi terbarukan di California berhasil memproduksi bahan bakar jet pertama di dunia dengan komposisi utama alga. Hal ini kemudian menjadi angin segar bagi pengembangan biofuel alga di masa depan.
Jika alga punya potensi dikembangkan di masa mendatang, apa keuntungannya dibanding biofuel basis nabati lain?
Keuntungan Penggunaan Alga sebagai Alternatif Biofuel
Alga adalah orgnisme bersel tunggal, dapat hidup di berbagai lingkungan perairan bahkan di kondisi dengan kadar garam tinggi, serta punya kemampuan mengikat karbon global sampai 40%.
Produksi biomassa alga sangat cepat bahkan ada yang hanya perlu waktu 6 jam saja sementara sawit dan sumber BBN lainnya, perlu waktu cukup lama untuk menghasilkan buah dan biji yang nantinya dijadikan minyak.
Selain itu alga punya kapasitas untuk menghasilkan minyak yang sudah tentu dapat dijadikan energi, apalagi jika dalam kondisi kering total, akumulasi minyaknya sangat banyak.
Dengan jumlah spesies alga yang sangat banyak di dunia, dan dapat dikembangbiakan dengan mudah, bisa dibayangkan potensi produksi biomassa untuk diambil dan dimanfaatkan minyaknya sebagai energi alternatif bukan?
Nah, karena bersel tunggal, alga bisa gandakan diri mereka lewat proses pembelahan sel untuk "melahirkan" individu baru, kalau minjam istilah kuliah genetika, mereka dapat diperbanyak dengan cara penggunaan teknologi untuk menciptakan serta mengembangkan galur dengan cepat.
Dari segi efisensi pengguaan lahan misalnya, alga cukup efisien karena dapat dikembangkan pada lahan bekas, serta efisien dalam penggunaan air dan kebutuhan nutrisi dibanding sumber BBN lain.
Jika direkayasa secara genetika-pun, alga dapat menghasilkan produk sampingan yang bernilai ekonomi untuk nantinya biofuel berbahan alga ini mampu bersaing dengan minyak bumi.
Dengan demikian alga menyimpan berpotensi sebagai biofuel dengan biaya yang kompetitif.
Referensi :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H