Lantas, bagaimana dengan masyarakat yang ada di daerah 3T ini? Apakah juga diperhatikan?
Peristiwa pemadaman di Saumlaki misalnya sebagai ibu kota kabupaten sering dilakukan, dengan alasan yang boleh dibilang cukup klasik yaitu perawatan jaringan sehingga pemadaman bisa berjalan sekitar 12 jam dari pagi sore.Â
Padahal jika ditelusuri, seluas apa to cakupan wilayah Saumlaki jika dibanding cakupan wilayah saat peristiwa pemadaman yang membuat presiden marah?
Di wilayah Kota Larat misalnya, beda lagi kisahnya, pemadaman di kota kecamatan Tanimbar Utara itu terjadi dari pukul 6 pagi sampai nanti sekitar pukul 5 atau 6 sore baru listriknya nyala, dan itu terjadi setiap hari, bukan sekali atau dua kali saja.
Di Pulau Seira dan Selaru-pun sama nasibnya dengan Pulau Larat, nyala ketika jam 6 sore dan padam ketika jam 6 pagi. Jadi selama 12 jam listrik tak jalan.
Sehingga aktivitas di pagi dan siang boleh dibilang tanpa listrik kalaupun ada, mungkin itu genset pribadi atau swadaya masyarakat.
Pertanyaannya untuk Bapak/Ibu Kementerian ESDM dan Pimpinan PLN di Pusat, apakah masyarakat terdampak ini mendapatkan kompensasi sama dengan sesama saudara bangsanya di kota-kota besar?
Token listrik rutin dibeli, sekalipun daya dan mungkin tegangan yang dipakai tak sampai sebesar 3000 VA. Protes-pun tak dilakukan ketika pemadaman itu berlangsung, dan dijalani setiap hari untuk kasus di beberapa wilayah kecamatan.
Masyarakat hanya diam ketika diberitahukan ada perawatan rutin jaringan, atau masyarakat sudah lumrah jika listrik hanya nyala saat sore sampai jam 6 pagi sebab selain terjadi setiap hari, pemadaman itu sudah bertahun-tahun berlangsung.
Tapi bukankah itu sebuah bentuk ketidak-adilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?
Saking lumrahnya, PLN dipelesetkan masyarakat menjadi Perusahaan Lilin bukan Listrik sebagaimana mestinya.