Mohon tunggu...
Marcko Ferdian
Marcko Ferdian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pencinta Monokrom dan Choir

Love what you have || Kompasianer pemula

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ukuwala Mahiate: Tradisi Syawalan dari Mamala, Maluku Tengah

9 Mei 2022   15:09 Diperbarui: 2 Juni 2022   00:28 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pukul Manyapu/Sumber :sahabatpena.org

Keunikan budaya yang dimiliki setiap daerah di Indonesia terbukti telah memperkaya bangsa ini dan menjadi ikon Indonesia dalam pergaulan dunia. Setiap kali diliput media luar, keberagaman Indonesia yang diikat kuat dalam Pancasila selalu dimunculkan dalam narasi-narasi beritanya.

Bicara tentang budaya, tak lepas dari tradisi yang telah diturunkan turun-temurun dari leluhur pendahulu. Masih dalam kondisi pasca Idul Fitri, hari kemenangan yang dirayakan umat Islam di Indonesia, ada tradisi lebaran yang mengikutinya.

Masing-masing daerah punya tradisi tersendiri, sebut saja tradisi Syawalan di Pekalongan yang dikenal dengan tradisi Lopis, juga Syawalan di Yogyakarta, Semarang, dan Syawalan di makan Sunan Gunug Jati di Kesultanan Cirebon.

Mungkin banyak yang belum tahu, bahwa pengaruh akulturasi budaya dan agama juga terjadi di wilayah Maluku, yakni di Mamala, Kabupaten Maluku Tengah, dimana setelah Idul Fitri, tepatnya tujuh syawal setelah lebaran ada tradisi pukul manyapu atau bakupukul manyapu yang dalam bahasa Mamala disebut Ukuwala Mahiate.

Pemuda Menyiapkan Lidi/By Atika Fauziah/Sumber :asset-a.grid.id
Pemuda Menyiapkan Lidi/By Atika Fauziah/Sumber :asset-a.grid.id

Sejarah Dimulainya Tradisi Bakupukul Manyapu

Menurut Direktorat Kebudayaan dalam laman website mereka (link), tradisi ini dimulai ketika datangnya Belanda lewat serikat dagang VOC.

Setelah perang Kapahaa (1637-1646), untuk memudahkan kontrol dan pengawasan Belanda, masyarakat Mamala ditugaskan membangun kampung dan Masjid. Sehingga masyarakat yang awalnya tinggal di gunung, diperintahkan turun ke wilayah pesisir.

Saat ingin membangun Masjid, mereka kebingungan dan kesulitan untuk menyambung tiang-tiang bangunan kerena ping atau paku saat itu tidak ada.

Pada abad ketujuh belas, paku menjadi barang yang langka sehingga oleh seorang pemuka agama yang bernama Imam Tuni, seorang tokoh agama terpandang saat itu melakukan puasa untuk memohon petunjuk, dan akhirnya dalam mimpi Imam Tuni, petunjuk itu datang.

Dalam mimpi beliau, Imam Tuni diminta menyambung tiang-tiang tersebut dengan menggunakan minyak nyualaing matehu atau minya tasala yang dilaburkan ke kain putih untuk digunakan menyambung tiang-tiang tersebut.

Dari catatan web Direktorat Kebudayaan, bukti dari penggunaan kain putih sebagai ping untuk menyambung rangka Masjid ini dapat dilihat ketika pembogkaran Masjid Tua di Mamala, ditemukan potongan-potongan kain putih pada setiap sambungan tiang, kecuali untuk Tiang Alif, satu-satunya tiang yang menggunakan paku dari seluruh rangka bangunan Masjid tersebut.

Sehingga pada tanggal tujuh syawal abad ke tujuh belas, masyarakat Mamala di Maluku Tengah, berhasil mendirikan Masjid yang dibangun dengan menggunakan kayu yang dilaburi minyak tadi. Keberhasilan pembangunan Masjid Mamala ini kemudian dirayakan sampai sekarang lewat tradisi  Ukuwala Mahiate.

Seperti apa tradisi ini ?

Pelaksanaan Tradisi Ukuwala Mahiate/Sumber : www.goodnewsfromindonesia.id
Pelaksanaan Tradisi Ukuwala Mahiate/Sumber : www.goodnewsfromindonesia.id

Bakupukul Sampai Berdarah

Ukuwala mahiate dalam bahasa Mamala memiliki arti sapu lidi (ukuwala) dan saling memukul (mahiate). Ya, betul ! Pembaca tidak salah, kedua kata itu berarti bakupukul dengan menggunakan sapu lidi. (sumber: kompas.com)

Sebelum melakukan tradisi ini, ada ritual yang harus dijalani oleh para pemuda yang ikut ambil bagian.

Pelaksanaan tradisi ini diawali dengan shalat subuh bersama, diikuti hadrat, manuhua dan alifuru. Saat subuh tiba, Upu Latu Tua, Parenta Syara, tokoh adat serta masyarakat Mamala melaksanakan shalat subuh berjamaah di masjid. Setelah itu dilanjutkan dengan shalawat, zikir dan tahlilan.

Pembacaan shawalat, zikir dan tahlilan ini bermakna agar perhelatan tradisi berjalan dengan baik tanpa hambatan untuk membangun kebersamaan yang kokoh antar pelaku ritual dalam hal ini para pemuda yang nantinya akan bakupukul.

Setelah doa dan pembacaan shalawat, zikir dan tahlilan tadi, para pemuda dibagi menjadi dua kelompok nantinya akan mengenakan ikat kepala. Kelompok pertama menggunakan kaeng berang merah dan kelompok lainnya menggunakan kain putih.

Selain kaen berang, para pemuda tadi akan menggunakan celana pendek dan tanpa memakai baju. Alat yang nanti digunakan untuk bakupukul adalah sapu lidi yang terbuat dari lidi daun pohon aren atau enau.

Sebagai tanda memulai acara, suling akan dibunyikan dan obor Kapitan Telukabessy dinyalakan. Setelah tanda-tanda tersebut dibunyikan dan dinyalakan, maka setiap anggota kelompok bergantian akan berdiri di tengah lapangan.

Anggota dua kelompok ini akan berdiri berhadapan dan saling memukul dengan sapu lidi bergantian dengan catatan, batas pukulan hanya pada area dada sampai perut.

Kira-kira yang dipukul ini menghindari pukulan atau tidak ? Jadi, secara bergantian mereka akan tetap bakupukul tanpa berusaha menghindar. Pemukul akan memukul dengan sapu lidi, sementara yang dipukul akan berdiri dengan kedua tangan diangkat sejajar telinga.

Pemukul akan memukul dengan sungguh-sungguh, sementara yang dipukul akan tetap berdiri dengan posisi tersebut.

Bisa dibayangkan luka bekas sayatan lidi yang halus mengeluarkan titik-titik darah pada sekujur tubuh. Perih, dan sakit pastinya akan dirasakan oleh penonton dan orang awam, namun bagi pelaku tradisi, hal ini adalah hal yang biasa, dipicu oleh adrenalin yang timbul, kemungkinan rasa sakit yang dirasa tidaklah seberapa dan bagi palaku tradisi, tentu mereka akan merasa senang dan bahagia menjadi bagian dari tradisi leluhur yang sudah ada sejak abad ketujuh belas ini.

Ritual Pengolesan Minya Nyualaing Matehu/By Atika Fauziah/Sumber : asset-a.grid.id
Ritual Pengolesan Minya Nyualaing Matehu/By Atika Fauziah/Sumber : asset-a.grid.id

Ritual Pengobatan

Ritual pengobatan setelah badan penuh luka, dilakukan dengan mengoleskan minyak nyualaing matehu. Minyak ini memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Mamala, sehingga dalam tulisannya, Sulaeman (2019) menyebutkan minyak tersebut tidak diperjual belikan serta dalam membuatnya tidak boleh dilakukan pungutan biaya.

Minyak ini merupakan sarana pembersihan diri melalui doa yang dipanjatkan agar proses penyembuhan berjalan dengan cepat. Minyak ini juga merupakan amalan yang diperoleh dari garis keturunan Imam Tuni yang berjasa dalam pendirian Masjid pertama di desa Mamala, Leihitu, Maluku Tengah.

Pembasuhan luka pelaku tradisi ukuwala mahiate ini merupakan tahap akhir dalam prosesi pelaksanaan tradisi tersebut. Membasuh anggota yang terluka dipercaya mampu menyebuhkan luka sayatan, luka sobek, akibat pukulan sapu lidi.

Selain itu, dipercaya juga bahwa minyak ini ampuh untuk menyembuhkan patah tulang, luka bakar, gatal-gatal, dan penyakit kulit lainnya.

Selain merupakan tradisi lebaran, ukuwala mahiate ini juga merupakan simbol sejarah perlawanan Kapitan Telukabessy melawan penjajahan Belanda saat itu.

Obor Kapitan Telukabessy yang dibawa sebelum dimulai tradisi Bakupukul Manyapu/Sumber : cdn-2.tstatic.net
Obor Kapitan Telukabessy yang dibawa sebelum dimulai tradisi Bakupukul Manyapu/Sumber : cdn-2.tstatic.net

Simbol Perlawanan dan Pengorbanan dari Tradisi Ukuwala Mahiatae

Ketika Belanda mengalahkan Kapitan Telukabessy, pasukan Sang Kapitan mundur ke benteng Kapahaa di hutan Morela. Saat mempertahankan benteng tersebut Kapitan dan pasukannya kalah dari Belanda, sehingga bersama dengan pasukannya Kapitan mencambuk badan dengan menggunakan sapu lidi sampai berdarah.

Setelah saling memukul, mereka kemudian berpelukan dan mengikrarkan janji bahwa setiap tanggal 7 syawal mereka akan bertemu dan mengingat kembali perjuangan melawan Belanda melalui tradisi ukuwala mahiate.

Pelaku Tradisi yang Saling Berpelukan di akhir acara/Sumber : asset-a.grid.id
Pelaku Tradisi yang Saling Berpelukan di akhir acara/Sumber : asset-a.grid.id

Makna Singkat dari Ukuwala Mahiate

Makna tradisi ini bagi masyarakat Mamala adalah persembahan, permohonan, pengharapan dan ikatan yang kokoh dalam kehidupan sosial masyarakat.

Saling melukai dalam tradisi bukanlah bermakna buruk, namun dimaknai sebagai sebuah tantangan dalam kehidupan yang terkadang menyakitkan. Setelah saling melukai, kedua kelompok akan saling berpelukan yang menggambarkan ikatan yang kuat atau kokoh, tidak ada dendam yang tersimpan.

Ritual pengolesan minyak, juga memiliki makna tentang bagaimana sikap kepasrahan mutlak kepada Sang Khalik untuk memohon pertolongan-Nya ketika dalam kehidupan banyak masalah dan tekanan yang terjadi.

Melafaskan doa serta pengolesan minyak juga bermakna bahwa pengharapan tetap ada. Kesulitan hidup ini tak akan selamanya terjadi sebab dengan berserah dan memohon pertolongan-Nya hidup menjadi "sembuh" karena ada saatnya tahap pemulihan dari segala masalah yang dialami terjadi.

Pada akhirnya budaya yang beragam ini, menambah khazanah kekayaan bangsa. Menjaga, dan melestarikannya lewat cara kita sendiri adalah tanggungjawab dan pekerjaan yang mulia.

Referensi :

[1],[2],[3]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun