Keunikan budaya yang dimiliki setiap daerah di Indonesia terbukti telah memperkaya bangsa ini dan menjadi ikon Indonesia dalam pergaulan dunia. Setiap kali diliput media luar, keberagaman Indonesia yang diikat kuat dalam Pancasila selalu dimunculkan dalam narasi-narasi beritanya.
Bicara tentang budaya, tak lepas dari tradisi yang telah diturunkan turun-temurun dari leluhur pendahulu. Masih dalam kondisi pasca Idul Fitri, hari kemenangan yang dirayakan umat Islam di Indonesia, ada tradisi lebaran yang mengikutinya.
Masing-masing daerah punya tradisi tersendiri, sebut saja tradisi Syawalan di Pekalongan yang dikenal dengan tradisi Lopis, juga Syawalan di Yogyakarta, Semarang, dan Syawalan di makan Sunan Gunug Jati di Kesultanan Cirebon.
Mungkin banyak yang belum tahu, bahwa pengaruh akulturasi budaya dan agama juga terjadi di wilayah Maluku, yakni di Mamala, Kabupaten Maluku Tengah, dimana setelah Idul Fitri, tepatnya tujuh syawal setelah lebaran ada tradisi pukul manyapu atau bakupukul manyapu yang dalam bahasa Mamala disebut Ukuwala Mahiate.
Sejarah Dimulainya Tradisi Bakupukul Manyapu
Menurut Direktorat Kebudayaan dalam laman website mereka (link), tradisi ini dimulai ketika datangnya Belanda lewat serikat dagang VOC.
Setelah perang Kapahaa (1637-1646), untuk memudahkan kontrol dan pengawasan Belanda, masyarakat Mamala ditugaskan membangun kampung dan Masjid. Sehingga masyarakat yang awalnya tinggal di gunung, diperintahkan turun ke wilayah pesisir.
Saat ingin membangun Masjid, mereka kebingungan dan kesulitan untuk menyambung tiang-tiang bangunan kerena ping atau paku saat itu tidak ada.
Pada abad ketujuh belas, paku menjadi barang yang langka sehingga oleh seorang pemuka agama yang bernama Imam Tuni, seorang tokoh agama terpandang saat itu melakukan puasa untuk memohon petunjuk, dan akhirnya dalam mimpi Imam Tuni, petunjuk itu datang.