Mohon tunggu...
Marcko Ferdian
Marcko Ferdian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pencinta Monokrom dan Choir

Love what you have || Kompasianer pemula

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tantangan Abad Digital; Propaganda, Misinformasi, dan Hoax

16 April 2022   21:49 Diperbarui: 7 Juni 2022   10:06 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Informasi Digital/by cottonbro/ Sumber: Pexels.com 

Perubahan mulai terjadi dalam kehidupan manusia modern, jika dulu orang terkoneksi lewat sms dan telepon, saat ini wadah komunikasi tersedia dengan banyak pilihan.

Sosiologi komunikasi menjelaskan bahwa komunikasi merupakan proses memaknai yang dilakukan seseorang terhadap informasi, sikap dan perilaku orang lain sehingga ada reaksi yang dilakukan untuk menanggapi informasi, sikap dan perilaku tersebut.

Cilakanya, masyarakat Indonesia belum sepenuhnya beradaptasi dengan perubahan yang ada.

Membudayakan Saring Sebelum Sharing

Dalam berinformasi terjadi pergeseran budaya, dimana saat ini masyarakat lebih mudah dan cepat mengakses informasi dibandingkan beberapa dekade belakangan.

Dulu, informasi bersifat tunggal kebenarannya sehingga orang berusaha mendapatkan informasi tersebut sementara saat ini informasi sangat cepat dan mudah dikases.

Contohnya kasus "potong bebek angsa" oleh istri seorang aparat negara (link berita), ada juga ujaran kebencian seorang guru besar yang diduga adalah dosen kampus negeri ternama di Indonesia lewat postingan Facebook yang hangat dibicarakan netizen (link berita).

Dari kedua contoh kasus tadi kita melihat bahwa dalam berinformasi dibutuhkan kemampuan untuk menyaring (mencari kebenaran dengan melakukan pemeriksan), sebelum disebarkan (saring sebelum sharing).

Akan tetapi budaya saring sebelum sharing ini kelihatannya belum membumi selain itu dari contoh tadi, terlihat juga bahwa tingkat pendidikan seseorang tidak menjamin mampu mengelola informasi dengan bijak dan dewasa.

Ilustrasi Fake News, Hoax, Misinformasi dan Propaganda/ Photo by Markus Winkler/ Sumber: Pexels.com
Ilustrasi Fake News, Hoax, Misinformasi dan Propaganda/ Photo by Markus Winkler/ Sumber: Pexels.com

Keterbukaan Informasi dan Kesiapan Menerima Konsekuensinya

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini menjawab masalah akses akan tetapi menimbulkan masalah lain seperti ujaran kebencian, hoax, fake news, misinformasi dan propaganda.

Untuk menghadapinya kita memerlukan :

Pertama, sikap skeptis. Tapiheru (2022) menyebutkan bahwa di era baru berinformasi diperlukan sikap skeptik menanggapi beragam informasi.

Sikap ini diperlukan untuk melatih publik melakukan pengujian kembali terhadap informasi yang diterima, selain itu sikap ini juga dapat diterapkan terhadap produsen berita agar memastikan informasi yang mereka sampaikan dapat dipertanggungjawabkan.

Kedua, kurikulum pendidikan. Karena generasi Z dan Alfa tumbuh dan berkembang di tengah perkembangan dan kemajuan teknologi, mereka menjadi generasi yang rentan terhadap minsinformasi, hoax, fake news dan propaganda. Generasi ini lebih banyak menghabiskan waktunya di depan televisi, gawai, cakap mengakses kecangihan teknologi sehingga mereka sangat bergantung pada informasi yang beredar secara online untuk pengetahuan dan kemampuan mereka melihat realitas. Sementara, masih banyak orangtua yang sebaliknya tidak memiliki kemampuan yang sama dengan mereka dalam mengikuti perkembangan aktifitas online anak-anak.

Berangkat dari situ, maka dunia pendidikan berkewajiban membekali generasi ini dengan ketrampilan tentang bagaimana secara bijak mengakses dan menanggapi informasi yang beredar melalui kurikulum pendidikan yang menitikberatkan literasi media dan informasi.

Ketiga, pelatihan bagi guru dan pengajar di lembaga-lembaga pendidikan tentang literasi media dan informasi. Pelatihan ini setidaknya mengingatkan mereka pentingnya bidang ini terhadap perkembangan siswa. Mungkin terdengar dan terlihat sepele tetapi semakin penting tenaga pengajar melihat tentang masalah ini, semakin menumbuhkan kesadaran akan tanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik atau siswa mereka di lembaga-lembaga pendidikan.

Keempat, sikap awareness. Masih berkaitan dengan point kedua dan ketiga, kesadaran dibutuhkan oleh orangtua, guru dan pengajar tentang bagaimana perkembangan anak-anak di rumah, dan lembaga atau institusi pendidikan dalam hal menyerap dan menanggapi informasi yang beredar.

Bambu yang muda kalaupun bengkok, masih bisa diluruskan, susahnya jika bambu tersebut sudah tua. Anak-anak juga rentan terpapar propaganda, misinformasi, dan hoax yang diterima. Idealis dan "mencari jati diri" menyebabkan mereka berpeluang terjebak dalam kelompok-kelompok ektrimis yang dengan mudah bisa melukai orang lain lewat tindakan yang dilakukan

Maksudnya adalah, anak-anak punya kemampuan berinformasi tetapi kemampuan bersikap bijak terhadap informasi belum cukup stabil. Banyak contoh memperlihatkan bagaimana propaganda-propaganda ekstrim yang mudah mencuci otak sehingga bagi mereka, apa yang diperoleh adalah satu kebenaran mutlak. Kalau sudah di tahap ini, sudah sulit untuk menolong mereka.

Kelima, penegasan aturan dan larangan penyebaran hoax, ujaran kebencian dan sebagainya. Penyelesaian dengan meterai dan permintaan maaf tidak menjamin perbuatan ini tidak dilakukan kembali atau tidak diikuti orang lain. Sudah berapa banyak laporan yang masuk tetapi apa yang didapat dari laporan tersebut ?.

Ketegasan atas aturan yang dibuat harus dilakukan, tidak tebang pilih atau membiasakan berakhir pada pernyataan dan meterai belaka sehingga menjadi pelajaran kepada masyarakat bahwa hukum menanti untuk yang bersalah.

Perkembangan informasi dan komunikasi di abad digital ini memang memudahkan aktifitas masyarakat sementara itu akses informasi yang terbuka memudahkan penyebaran hoax, fake news, misinformasi, dan propaganda. Akibatnya terjadi perpecahan atau polarisasi opini di masyarakat yang mengancam keutuhan bangsa, dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.

Dengan demikian, Jaman baru ini menuntut manusia baru, karena dulu kita jugalah yang menuntut kebebasan informasi. Ketika informasi telah lebih terbuka, maka kita juga harus siap dan mempersiapkan diri menghadapi konsekuensinya. (Tapiheru, 2022)

Referensi :

[1], [2], [3], [4]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun