Mohon tunggu...
Marcko Ferdian
Marcko Ferdian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pencinta Monokrom dan Choir

Love what you have || Kompasianer pemula

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Batamang Bae, Seng Sadarah Bukang Berarti Seng Sodara

30 September 2020   22:57 Diperbarui: 30 September 2020   23:00 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi persahabatan/Sumber : belajarbahasainggris.com

Ora salaman bukan berarti ra seduluran 

Potongan kalimat berbahasa jawa tadi terpampang jelas di salah satu baliho, dekat perempatan lampu merah terminal condongcatur Yogyakarta kala itu, entah sekarang masih ada atau tidak saya kurang tahu.

Kalau diterjemahkan bebas maknanya menjadi kalau enggak salaman, bukan berarti enggak temanan atau sahabatan. Persahabatan merupakan sebuah bentuk penerimaan yang tidak lekang oleh waktu, selama apapun itu sahabat ya tetap ada, sekalipun ada konflik dalam hubungan tersebut tetapi sahabat tetaplah sahabat.

Ada teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga seorang sahabat yang lebih karib daripada seorang saudara. Karakter, gender, sifat, fisik, bahkan Tuhan yang disembah boleh berbeda. 

Perbedaan ini tidak menjadi penghalang untuk hidup berdampingan, menghargai satu dengan yang lain, bahkan perbedaan yang ada memberi kekuatan untuk bersama membangun kehidupan yang harmonis, serta mengajarkan nilai-nilai toleransi.

Mengenai sahabat, saya ingin membagikan kisah saya pribadi dengan seorang sahabat baik waktu ada di bangku SD. Rentang tahun 1998-1999 dan awal 200an ada peristiwa penting dan berdarah di Indonesia, waktu itu kami berdua (saya dan sahabat saya) kira-kira ada diantara kelas tiga, empat, atau lima SD, terjadi serangkaian peristiwa, dimulai dari  reformasi dengan ditandai lengsernya Pak Harto dan disusul kerusuhan berbau agama di Maluku. 

Beruntungnya di tempat saya yang waktu itu baru mekar menjadi Kabupaten Maluku Tenggara Barat efek konflik seperti di Ambon dan wilayah-wilayah lain tidak terjadi, tetapi memang cukup mencekam. Kami berdua memang beda keyakinan, saya Kristen dan teman saya ini seorang Muslim yang taat. 

Ilustrasi perbedaan yang menyatukan/Sumber :tabloidcempaka.com
Ilustrasi perbedaan yang menyatukan/Sumber :tabloidcempaka.com

Persahabatan kami terjalin ketika dia bersama keluarganya (ayah, ibu, mbaknya dan dia) mengikuti tugas sang ayah bekerja di kantor KPKN (waktu itu sekarang sepertinya sudah berubah namanya). Sahabat ini bernama Tezar Aldy Yuniarko, sering saya panggil Tezar, atau Zar. 

Dalam kelas dia adalah anak yang pandai, enggak berlebihan sih, tapi memang kami berdua saing-saingan rangking di kelas, tersaingi juga waktu itu, (haha), sering dapat rangking satu, pas ada murid baru ehh posisinya berubah ganti-gantian rangking satu dan dua.

Saat dia puasa, yah namanya juga masih anak-anak, saya sering lupa dan di depan dia tanpa sengaja makan atau minum es gitu, tapi lama-kelamaan kebiasaan itu pelan-pelan dihilangkan untuk menghargai dia ketika dia puasa, jadi makan sama jajan es sering sembunyi-sembunyi biar enggak ganggu puasanya.

Ada kisah yang betul saya ingat, ketika mata pelajaran muatan lokal (Mulok) waktu itu, kami disuruh membawa buku gambar untuk nantinya menggambar, hanya saja pas masuk, Tezar lupa bawa buku gambarnya. Tidak seperti sekarang dimana UU Perlindungan anak berlaku, jaman kami dulu guru itu sangat ditakuti, jadi mana berani kalau buat salah.

Akhirnya karena takut kena hukuman, kami berdua nekat ke rumahnya ambil buku gambar. Sebagai gambaran saja, jarak rumahnya dan sekolah kami ada sekitar 8 atau 9 kilometer, cukup jauh buat ukuran anak-anak, kebetulan hari Jumat, habis olahraga biasanya ada kerja bakti gitu, jadi kami berdua jalan kaki. Nekat jalan kaki sejauh kilometer itu. (kalau ingat konyololan itu jadi tertawa sendiri)

Anyway, waktu berjalan begitu cepat, dan kami harus berpisah karena dia dan keluarganya harus ikut pindah tugas sang ayah, mungkin kembali ke Jawa, karena mereka orang Jawa, jadi Tezar ini kalau bicara di kelas cukup lucu, medok Jawanya kental sekali, dan karena terpengaruh logat kami, jadinya lucu kalau dengar dia ngomong. 

Semenjak itu, kami lost contact sampai beranjak SMA dan kuliah. Hubungan silaturahmi antar kedua sahabat yang beda suku, agama dan bahasa dan budaya inipun mulai terjalin ketika saya kembali ke Jogja untuk melanjutkan studi. 

Iseng-iseng saya mencari namanya yang memang saya ingat satu-satunya teman dari Jawa waktu itu di kelas, ya hanya Tezar jadi namanya memang sangat diingat. 

Beberapa media sosial saya buka dan mencoba mencari ada tidak namanya. F**ook saya buka cuma ketika diketik buaannyaakk banget yang nama Tezar. Sempat terlupa untuk lanjutkan cari, dan akhirnya lupa beneran niat awal tadi untuk mencari.

Baru sekitar Agustus kalau tidak salah, saya kembali coba untuk cari dimana sahabat saya ini, cuma kali ini saya mencarinya di i**ram, hasilnya sama juga, dan ada beberapa yang diprivate akun, jadi akhirnya dicari di g**le search engine dan muncul foto-foto, selidiki dan akhirnya ada wajah yang familiar.

Tangkapan layar chat aplikasi/Sumber : dok. pribadi
Tangkapan layar chat aplikasi/Sumber : dok. pribadi

Kontak pertama via email, saya mencoba tanyakan apa betul ini Tezar yang dulu pernah sekolah di Saumlaki, dan mungkin balasannya cukup lama, sehingga bulan September tanggal 20-an, karena kebutuhan kuliah, saya periksa email dan Puji Tuhan, Tezar membalas emailnya. Hari ini, 30 September 2020, pukul 08.59 WIB, setelah hampir 20 tahun terpisah kami berkontak lewat chatting aplikasi.

Sekalipun belum bisa bertemu langsung, setidaknya kontak via chat aplikasi bisa meredakan kerinduan yang lama ini. Sahabat yang terpisah 20 tahun bertemu dengan tetap saling sapa nama kecil (hehe). Memang betul beberapa tayangan video yang menunjukkan persahabatan yang lama terpisah ketika bertemu suasana menjadi haru biru.

Awalnya saya berpikir nih anak mungkin di Surabaya, Jakarta, atau Bandung ternyata cuma tetanggaan. Saya di Yogyakarta, dia di Semarang. Semisal tahu dari dulu mungkin saat saya ke Semarang pasti ketemu dan bertegur sapa saling bercanda.

Saya kutip tulisan dari idntimes.com (27/07/2015) bahwa di dalam hati kamu, perbedaan yang ada hanyalah soal nama dan cara ibadah dari agama yang dipeluk satu dengan yang lainnya, serta cara masing-masing memanggil Tuhan. Lebih dari itu, tidak ada yang berbeda. 

Tulisan ini sebagai ungkapan syukur karena atas anugerah dan ridho-Nya saja, persahabatan yang telah lama "hilang" ini kembali terjalin. Sekaligus sebagai hadiah pernikahan untuk Tezar dan istri yang baru saja Sabtu kemarin melangsungkan akad pernikahan, semoga bahtera rumah tanggamu langgeng dan SAMAWA dab.  

Tamang bae, seng sedarah bukang berarti seng saudara (sahabat baik, tidak sedarah bukan berarti tidak saudara). Jika ada hal yang kurang berkenaan dari tulisan ini, saya memohon maaf.

Salam Hangat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun