Mohon tunggu...
Marcko Ferdian
Marcko Ferdian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pencinta Monokrom dan Choir

Love what you have || Kompasianer pemula

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hukuman Peti Mati yang Viral itu Antara Jera dan Lucu

5 September 2020   12:54 Diperbarui: 5 September 2020   12:51 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesadaran masyarakat menghadapi bahaya pandemi ini bukan semata-mata salah masyarakat, ada peran pemerintah juga untuk menyadarkan bahaya ini, sehingga jika upaya yang dilakukan hanya sebatas sosialisasi dan jenis hukuman yang tidak menimbulkan efek jera, ya percuma saja, mending uang untuk pengadaan peti itu dialihkan ke hal yang lain. 

Coba perhatikan foto tersebut, kira-kira yang terbesit pertama kali di pikiran kita apa melihat situasi yang crowded seperti itu ? kalau tidak salah protokolnya minimal satu meter sekalipun bermasker, terus yang terlihat apa benar satu meter jarak antar orang di kerumunan itu ? 

Maunya menghukum masyarakat karena tidak bermasker, di sisi lain seolah-olah protokol jaga jarak tidak diperhatikan. Maksud saya kalau mau dihukum perhatikan juga protokol yang lain, kan protokol itu satu kesatuan utuh, bukan terpisah, dari sini bisa dilihat bahwa mau menerapkan hukuman tapi melanggar aturan. 

Selain itu muncul lagi pertanyaan peti, rompi dan ambulan serta keranda yang dipakai berapa banyak jumlahnya ? apakah setelah dipakai disterilkan dengan disinfektan ? seberapa sering dibersihkan peralatan hukuman tersebut ? saya jadi khawatir alih-alih terapkan sanksi malah menjadi cluster baru.

Melihat hal ini, saya menjadi ragu sekaligus takut terhadap keseriusan pemerintah untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya covid-19. Kalau mau beri hukuman, harus tegas, terukur dan tidak berdampak buruk. Hukuman tegas bertujuan untuk memberi efek jera, bukan malah menambah cluster baru. 

Saya pinjam usulan yang disampaikan Dr.dr. Tri Yunis Miko Wahyono, MSc, Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) yang intinya hukuman tersebut bukan sekedar masuk peti begitu saja, esensi hukuman tidak dimaknai sehingga efek jeranya tidak ada, lebih baik dihukum dengan tugas menyapu jalanan tapi luasan yang akan disapu harus sekilo atau dua kilo meter misalnya (dikutip dari health.detik.com edisi 04/09/2020).

Ubah Perilaku dan Metode Pendekatan

Munculnya kasus pengambilan paksa jenazah covid-19 oleh keluarga, penolakan jenazah untuk dimakamkan, dan kurangnya kesadaran dalam penerapan protokol kesehatan bisa jadi karena "kebiasaan" pola petugas dalam mendekati masyarakat. Misalnya, sikap pemerintah yang menetapkan aturan tapi langgar sendiri aturannya seperti kasus para pejabat dan anggota DPRD Propinsi Maluku (Promal) yang berjoget ria tanpa acuh dengan protokol kesehatan kemarin saat perayaan HUT Promal ke-75 (kompas.com edisi 19/08/2020). Atau munculnya informasi-informasi hoax di masyarakat sehingga dengan mudah tanpa dicek ulang menimbulkan kepanikan (diktip dari republika.co.id edisi 29/06/2020)

Dari gambaran kedua persoalan tersebut, ingin menggambarkan bahwa problematika covid-19 di masyarakat belum tersosialisasi dengan baik serta perilaku pejabat yang seharusnya menjadi pamong masyarakat bertindak semaunya saja tanpa berpedoman pada aturan yang mereka sendiri buat. 

Beberapa pendapat pakar komunikasi sepakat bahwa metode pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk menyadarkan masyarakat harus diubah agar edukasinya berjalan dengan baik. Misalnya Emrus Sihombing pengamat komunikasi politik UPH menjelaskaan bahwa kampanye untuk menyadarkan masyarakat tentang bahaya covid-19 belum menyentuh masyarakat secara menyeluruh sehingga pemerintah perlu bekerja sama dengan tokoh masyarakat, agama, akademisi agar pesan sosialisasinya menyentuh seluruh masyarakat. 

Sejalan dengan itu, Nur Hayat seorang sosiolog Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) berpendapat bahwa permasalahan edukasi dan sosialisasi bahaya covid-19 ini harus dilakukan dengan pendekatan yang memperhatikan kondisi sosial serta budaya masyarakat setempat menurutnya, penyuluh kesehatan ini harus juga memakai cara-cara lokal, jangan ujug-ujug ada orang berpakaian tenaga kesehatan datang. (republika.co.id edisi 29/06/2020). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun