Setelah panjangnya antrian sidang perceraian beberapa waktu lalu, kali ini ada lagi hukuman baru bagi pelanggar aturan protokol kesehatan yang viral dan menjadi liputan para pencari berita yaitu peti mati. Kreatif juga para pemimpin daerah atau wilayah dalam mendisiplinkan rakyatnya.
Peti mati bagi beberapa kalangan adalah hal yang menyeramkan, sebab hubungannya dengan kematian. Harapannya dari hukuman ini, orang menjadi sadar betapa bahayanya ancaman kematian dari Pandemi Codvid-19 ini. Kira-kira begitu.
Tapi apakah hukuman ini berdampak mendisiplinkan masyarakat ? Solutifkah pilihan hukuman ini ? menurut saya, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menyikapi hal ini yuk, kita cek !
Belum Sadar Rasa Tanggungjawab
Coba adakan semacam survey tentang efektifkah hukuman tersebut. Kalau main perasaan nih, kira-kira menurut pembaca lebih banyak efektif atau tidak ? pilihan saya tidak, karena kesadaran masyarakat akan tanggungjawab belum ada. Kebanyakan kita termasuk saya juga sering berpikir begini "ah enggak apa-apa yang lain, yang penting saya.." atau "enggak ada petugas", bisa juga "lupa bawa masker pak", atau "paling masuk peti, enggak mati beneran jadi sabodo teuing-lah".Â
Kesadaran masyarakat akan tanggungjawabnya sebagai individu yang memiliki peran untuk mematuhi protokol kesehatan guna mencegah penularan penyakit ini masih rendah sehingga menjadi masalah karena selain membahayakan diri, juga membahayakan orang lain. Menurut ahli psikologi fenomena ini dapat dijelaskan melalui Health Belief Model (dikutip dari kompas.com edisi 03/06/2020).Â
Model tersebut menjelaskan tentang perilaku masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan dimana kesadaran akan kerentanan tertular covid-19, kemudian seberapa parah penyakit ini, manfaat pencegahan serta petunjuk untuk bertindak sangat rendah. Di lain sisi, akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan diperhadapkan dengan berbagai kendala.
Contoh sederhana misalnya mau rapid tes saja harus bayar, kecuali bagi orang yang positif. Untuk mencari makan sehari-hari saja beberapa kalangan sangat sulit, bagaimana mereka bisa ikut rapid tes ata tes lainnya ? bagaimana mereka akan sadar kalau misal status kesehatan mereka tidak mereka tahu ? minimal kalau kita tahu status kesehatan, muncul kesadaran untuk bertanggungjawab terhadap kesehatan diri sendiri dengan mematuhi semua saran yang diberikan dokter atau tenaga kesehatan lainnya.Â
Contoh lain misalnya demam, pas dicek, gejala tipus, dengan sendirinya orang akan memperhatikan lingkungannya agar bersih selain menjaga kesehatan dirinya sendiri. Begitupun dengan Covid-19, saat tes, orang akan deg-degan tunggu hasilnya apapun itu minimal perasaan tersebut yang dirasakan sehingga sadar bahwa ancaman penyakit ini berbahaya jadi dengan sendirinya mematuhi aturan protokol yang sudah ditetapkan.
Kekurangtegasan Pemerintah
Kesadaran masyarakat menghadapi bahaya pandemi ini bukan semata-mata salah masyarakat, ada peran pemerintah juga untuk menyadarkan bahaya ini, sehingga jika upaya yang dilakukan hanya sebatas sosialisasi dan jenis hukuman yang tidak menimbulkan efek jera, ya percuma saja, mending uang untuk pengadaan peti itu dialihkan ke hal yang lain.Â
Coba perhatikan foto tersebut, kira-kira yang terbesit pertama kali di pikiran kita apa melihat situasi yang crowded seperti itu ? kalau tidak salah protokolnya minimal satu meter sekalipun bermasker, terus yang terlihat apa benar satu meter jarak antar orang di kerumunan itu ?Â
Maunya menghukum masyarakat karena tidak bermasker, di sisi lain seolah-olah protokol jaga jarak tidak diperhatikan. Maksud saya kalau mau dihukum perhatikan juga protokol yang lain, kan protokol itu satu kesatuan utuh, bukan terpisah, dari sini bisa dilihat bahwa mau menerapkan hukuman tapi melanggar aturan.Â
Selain itu muncul lagi pertanyaan peti, rompi dan ambulan serta keranda yang dipakai berapa banyak jumlahnya ? apakah setelah dipakai disterilkan dengan disinfektan ? seberapa sering dibersihkan peralatan hukuman tersebut ? saya jadi khawatir alih-alih terapkan sanksi malah menjadi cluster baru.
Melihat hal ini, saya menjadi ragu sekaligus takut terhadap keseriusan pemerintah untuk menyadarkan masyarakat akan bahaya covid-19. Kalau mau beri hukuman, harus tegas, terukur dan tidak berdampak buruk. Hukuman tegas bertujuan untuk memberi efek jera, bukan malah menambah cluster baru.Â
Saya pinjam usulan yang disampaikan Dr.dr. Tri Yunis Miko Wahyono, MSc, Kepala Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) yang intinya hukuman tersebut bukan sekedar masuk peti begitu saja, esensi hukuman tidak dimaknai sehingga efek jeranya tidak ada, lebih baik dihukum dengan tugas menyapu jalanan tapi luasan yang akan disapu harus sekilo atau dua kilo meter misalnya (dikutip dari health.detik.com edisi 04/09/2020).
Ubah Perilaku dan Metode Pendekatan
Munculnya kasus pengambilan paksa jenazah covid-19 oleh keluarga, penolakan jenazah untuk dimakamkan, dan kurangnya kesadaran dalam penerapan protokol kesehatan bisa jadi karena "kebiasaan" pola petugas dalam mendekati masyarakat. Misalnya, sikap pemerintah yang menetapkan aturan tapi langgar sendiri aturannya seperti kasus para pejabat dan anggota DPRD Propinsi Maluku (Promal) yang berjoget ria tanpa acuh dengan protokol kesehatan kemarin saat perayaan HUT Promal ke-75 (kompas.com edisi 19/08/2020). Atau munculnya informasi-informasi hoax di masyarakat sehingga dengan mudah tanpa dicek ulang menimbulkan kepanikan (diktip dari republika.co.id edisi 29/06/2020)
Dari gambaran kedua persoalan tersebut, ingin menggambarkan bahwa problematika covid-19 di masyarakat belum tersosialisasi dengan baik serta perilaku pejabat yang seharusnya menjadi pamong masyarakat bertindak semaunya saja tanpa berpedoman pada aturan yang mereka sendiri buat.Â
Beberapa pendapat pakar komunikasi sepakat bahwa metode pendekatan yang dilakukan pemerintah untuk menyadarkan masyarakat harus diubah agar edukasinya berjalan dengan baik. Misalnya Emrus Sihombing pengamat komunikasi politik UPH menjelaskaan bahwa kampanye untuk menyadarkan masyarakat tentang bahaya covid-19 belum menyentuh masyarakat secara menyeluruh sehingga pemerintah perlu bekerja sama dengan tokoh masyarakat, agama, akademisi agar pesan sosialisasinya menyentuh seluruh masyarakat.Â
Sejalan dengan itu, Nur Hayat seorang sosiolog Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) berpendapat bahwa permasalahan edukasi dan sosialisasi bahaya covid-19 ini harus dilakukan dengan pendekatan yang memperhatikan kondisi sosial serta budaya masyarakat setempat menurutnya, penyuluh kesehatan ini harus juga memakai cara-cara lokal, jangan ujug-ujug ada orang berpakaian tenaga kesehatan datang. (republika.co.id edisi 29/06/2020).Â
Terlihat memang kampanye edukasi tentang bahaya virus ini sangat massive tetapi dalam penyampaiannya banyak istilah-istilah yang belum tentu dipahami masyarakat secara menyeluruh sebab harus dimaklumi bahwa tidak semua masyarakat mengenyam pendidikan dengan baik.Â
Dengan demikian pendekatan yang preventif dengan mempertimbangkan budaya lokal masyarakat juga perilaku pemerintah (para pejabat pembuat dan pengambil keputusan) harus menjadi perhatian agar dapat mengubah mindset masyarakat bukan hanya dengan penerapan hukuman peti mati saja.
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H