YOGYAKARTA — Apa yang terlintas ketika mendengar kata seni? Guratan kuas dalam sebuah kanvas? Gerakan tubuh dengan gaya bersolek nan mewah? Atau bahkan ukiran-ukiran cantik yang tergambar diatas bongkahan kayu?
Hiruk pikuk jalanan serta hembusan angin yang bertiup di Malioboro tak menggoyahkan semangat para pejuang rupiah yang tengah mengundi nasib. Teriakan lantang penuh gairah menyeruak di gendang telinga, siap memerangi hari baru. Matahari turut bersinar terik seolah menyanggupi kobaran semangat yang memenuhi rongga.
Dari sebrang jalan, tampak seorang lelaki dengan kaus hitam lusuh serta topi kebanggaan yang menghiasi kepala. Sembari bertumpu pada lututnya, kedua lengan sang lelaki menari indah diatas angin, jemarinya berlomba menghias sebuah stik kayu, menata lelehan gula dengan terampil.Â
Tidak sekalipun dirinya mengeluh, akan rasa panas yang merambat di jarinya. Hanya ada lengkingan tawa serta canda ria sembari mengisi kerinduan akan rumah, tempat ia pulang yang tertinggal 15 tahun lamanya.
Lelehan gula itu ia kepal, yang lantas sepersekian detik berubah menjadi lembaran kelopak mawar yang cantik. Sekelebat, namun mampu membuat kagum siapapun yang melihat.Â
"Saya belajar bikin gulali itu 9 bulan, mbak. 3 bulan pertama jari saya melepuh semua karna belum terbiasa sama panasnya gula," ungkap Iwan, penjual permen gulali jadoel di Malioboro sembari tersenyum lebar memancarkan sisi bahagia, merambatkan energi positif yang terasa nyata.
Jatuh bangun sudah berkali-kali dialami ketika berproses, ada kalanya ia merasa lelah dan ingin menyerah saat berusaha membuat gulali dengan tangan kosong. Pikirannya berkata bahwa semua terasa sia-sia sebab baik berjuang ataupun bertahan, sulit mencari pelanggan yang paham akan proses gulali dan kisah dibaliknya.
 Apalagi di masa ini, jarang sekali sorot matanya menangkap siluet ekspresif penuh makna kala orang-orang berjumpa dengan dirinya dan gulali di hadapannya. Namun lambat laun, Iwan menikmati setiap proses yang dijalani, ketika lelaki itu menyadari bahwa gulali ini merupakan sebuah warisan. Bukan soal cita rasa apalagi keindahan, tapi seberapa besar ilmu yang telah didapat serta seberapa banyak yang telah ia korbankan demi setangkai bunga manis penuh warna.
Eksistensi gulali di masa kini sudah terasa semakin menurun. Tidak sedikit pula orang-orang paham tentang gulali serta makna tersirat dari jajanan tersebut. Penamaan gulali justru lebih cocok digapai dengan kata "seni" sebab penuh makna dan berestetika.Â
Hasil karya bernilai besar yang menjadi jembatan menuju kenangan masa lalu sungguh penuh riuh tawa. "Yang saya buat ini (bentuk gulali) udah turun temurun jadi harganya sesuai pasaran. Tapi kalo mau request bentuk lain, harganya juga lain," imbuh Iwan, dengan telaten menarik segumpal gula berwarna merah tanpa henti, ditemani teriknya matahari yang semakin terasa tak berjarak.
Jadi, gulali jadoel ini seni atau jajanan? Melihat proses pembuatannya yang unik saja sudah dapat memberikan jawaban mutlak bahwa gulali menjual kearifan masa lalu tanpa sedikitpun mengubah tahapan dari prosesnya yang melekat. Dengan proses pembuatan yang hanya bermodal tenaga serta kreativitas, terlebih diolah langsung dengan tangan kosong di hadapan pelanggan, yakin tidak tertarik dengan jajanan bernilai seni yang satu ini? (chz).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H