teknologi yang semakin advanced, semakin banyak teknologi bersih yang diimplementasikan di mana-mana.
Dewasa ini, seluruh negara di dunia berlomba-lomba untuk menjadi negara yang menghasilkan emisi karbon terkecil dari pembangkitan sumber tenaga listriknya. Ditambah dengan perkembanganHal ini tentunya mendapatkan input postif dari warga dunia dan pemerintahannya. Contohnya adalah pemerintahan Indonesia yang mendorong implementasi Energi Baru dan Terbarukan (EBT) dan telah menetapkan target bauran EBT tahun 2025 yaitu sebesar 23%. Implementasi tersebut bukan tidak berdasar, melainkan hasil dari analisis potensi energi terbarukan di Indonesia.
Indonesia kaya akan potensi sumber daya alam. Mulai dari lautan, daratan, hingga udara semua dapat dimanfaatkan demi keberlangsungan hidup rakyatnya. Potensi sumber daya alam Indonesia dapat dilihat dari sumber energi Indonesia yang beragam, yaitu berasal dari samudera, panas bumi, bioenergi, bayu (angin), hidro (air), dan juga matahari (solar).
Potensi sumber daya alam Indonesia memiliki total daya sebesar 417,8 GW (Giga Watt), yang mana terdiri atas potensi samudera (arus laut) sebesar 17,9 GW, panas bumi sebesar 23,9 GW, bioenergi sebesar 32,6 GW, bayu (angin) sebesar 60,6 GW, hidro (air) sebesar 75 GW, dan yang terbesar adalah matahari sebesar 207,8 GW atau sebesar 49,73% dari keseluruhan potensi energi baru terbarukan.
Keunggulan ini diharapkan dapat membantu pembangkitan tenaga listrik Indonesia dari energi konvensional hingga menjadi energi bersih. Selain itu, apabila potensi sumber daya tersebut dapat diimplementasikan secara maksimal juga diharapkan dapat membantu dalam menurunkan tarif listrik nasional. Ketika penurunan tarif listrik nasional dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali rakyat di pelosok, maka dapat tercapailah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Melihat potensi matahari yang begitu besar, penerapan pembangkat listrik dari potensi matahari juga harus dimarakkan. Dengan maraknya penerapan Pembangkit Listrik Tenaga Surya, diperlukan juga pengetahuan yang cukup bagi masyarakat awam mengenai keunggulan PLTS.
Sistem PLTS merupakan sistem tenaga listrik yang dapat membangkitkan energi listrik dari cahaya matahari (dari cahaya yang nampak, sinar ultraviolet, dan sinar infrared) dengan memanfaatkan teknologi sel photovoltaic.Â
Jadi, satu modul panel surya tersusun atas puluhan atau ratusan sel surya yang tersusun secara seri untuk menaikkan tegangan luarannya. Arus yang dihasilkan oleh panel surya adalah arus searah (direct current) sehingga apabila ingin dimanfaatkan dalam perumahaan, diperlukan inverter untuk mengubah arus searah menjadi arus bolak-balik (alternating current) terlebih dahulu sebelum digunakan.
Dengan perkembangan teknologi yang pesat dan desain modul yang compact, PLTS dapat diterapkan di manapun, bisa di darat, di laut/waduk, hingga di atap bangunan (rooftop).
Sistem PLTS atap adalah sistem PLTS yang dipasang di atap bangunan seperti rumah, kantor, hingga lapangan terbuka yang ada di atap. Biasanya, sistem PLTS atap terhubung langsung ke jaringan PLN melalui inverter. Jadi, saat daya dari PLTS melebihan load atau beban, kelebihan daya akan dikirim ke jaringan PLN, namun jika kurang maka kekurangan daya akan disuplai dari PLN. Listrik yang dihasilkan PLTS atap dapat "dijual" ke PLN dengan sistem Net Metering yang artinya menyimpan kelebihan energi sebagai deposit untuk bulan berikutnya.
PLTS atap ada beberapa tipe berdasarkan pemasangannya, yaitu sistem PLTS atap miring, atap datar, sistem PLTS terintegrasi dengan atap langsung, sistem PLTS yang tampak pada bagian depan bangunan, dan juga sistem PLTS pada lapangan/area terbuka.Â
Selain itu, ada beberapa klasifikasi PLTS atap berdasarkan arah pemasangannya, yaitu flat roof yang menghadap satu arah saja atau menghadap timur dan barat, serta tilted roof yang menghadap segala arah dan juga ada yang mengikuti bentuk atap (atap dengan bahan zinc). Pemilihan tipe PLTS atap ini menyesuaikan dengan kebutuhan daya dari konsumen dan juga kondisi bangunannya itu sendiri.
Ada beberapa persyaratan mendasar dalam membangun sistem PLTS atap, yaitu sistem tersebut harus menghadap khatulistwa kurang lebih sekitar 30 derajat, namun untuk daerah tropis tergantung pada bulan yang paling cerah, sistem tersebut memiliki koreksi sudut kurang lebih 10 derajat, sebisa mungkin minim akan shading (bayangan akibat hal eksternal yang akan mengurangi output panel surya), mampu menahan tiupan angin, mempunyai proteksi terhadap petir, mempunyai ventilasi untuk perpindahan panas yang baik, serta memiliki struktur tahan karat.
Menurut saya, sistem PLTS atap adalah pilihan tepat bagi kita sebagai masyarakat umum Indonesia yang sadar akan perubahan iklim dan ingin mengurangi emisi karbon dalam pembangkitan tenaga listriknya.Â
Awareness akan sistem PLTS atap perlu ditingkatkan pada masyarakat melalui sosialisasi di media sosial, media cetak, maupun secara langsung. Pemerintah juga perlu memberikan insentif untuk masyarakat yang ingin menerapkan sistem PLTS atap sehingga penyerapan potensi sumber energi matahari menjadi lebih optimal.
Tahun lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan Peraturan Menteri ESDM no. 26 Tahun 2021 mengenai PLTS atap. Output yang diharapkan dari Permen ESDM tersebut adalah pemanfaatan energi surya ramah lingkungan untuk pembangkitan listrik mandiri serta penghematan tagihan listrik pelanggan PLTS atap.Â
Semoga ke depannya akan diterbitkan Permen ESDM baru yang dapat menjadi insentif lebih kepada masyarakat agar ingin menerapkan sistem PLTS atap dalam rangka mengusung Indonesia ber-energi bersih di masa depan.
Referensi:
[2] Deutsche GIZ GmbH & Kementerian ESDM (2020), Buku Pegangan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H