Pengertian
‘Patriarki’ pada awalnya merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut keluarga yang  segala otoritasnya dipegang oleh laki-laki. Sekarang patriarki secara general diartikan sebagai sistem yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang peran utama (mendominasi) dalam setiap aspek kehidupan di masyarakat.Â
Indonesia merupakan negara yang dapat dikatakan cukup lekat dengan praktik budaya patriarki. Budaya tersebut sudah secara turun temurun diwariskan yang tersiratkan melalui tradisi budaya yang mengandung nilai-nilai  dominasi laki-laki.Â
Seperti contohnya budaya Batak Toba yang menempatkan istri sebagai subordinasi di bawah suami. Dalam setiap acara kekeluargaan saudara perempuan seringkali ditempatkan di bagian dapur sebagai pelayan. Tidak hanya pada suku batak toba, masih banyak suku lain yang melakukan praktek patriarki seperti yang telah disebutkan.Â
Asal Mula
Munculnya budaya patriarki bisa kita temukan dalam pembelajaran sejarah di sekolah. Tepatnya di masa peperangan masih menjadi hal yang lazim. Dalam sejarah untuk mendapatkan kekuasaan, otoritas, dan kontrol, kekerasan seolah-olah diizinkan. Hingga pada saat itu laki-laki disimbolkan sebagai pahlawan atas keberhasilannya dalam menguasai  ini dan itu.Â
Masih dalam konteks sejarah, berbeda dengan masa sekarang pada masa zaman awal peradaban manusia pekerjaan fisik lebih mendominasi seperti berburu, membangun tempat tinggal, dan mengumpulkan makanan. Sehingga otomatis peran laki-laki akan lebih mendominasi karena secara biologis laki-laki memiliki kapabilitas secara fisik yang lebih kuat dibandingkan perempuan. Sedangkan perempuan ditempatkan untuk menjaga tempat tinggal dan mengurus anak. Budaya tersebut berkembang hingga menjadi sistem dan ideologi.Â
Masalah yang Timbul
Memang budaya dan praktek patriarki bila ditelaah dari pengertiannya bukanlah sesuatu yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat. Jadi, apakah perlu dientaskan? Jawabannya adalah YA. Budaya patriarki menjadi masalah karena merambat pada kekerasan dan domestikasi yang berbasis pada gender.Â
Kekerasan dan Pelecehan Seksual
Kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan berakar dari stigma bahwa laki-laki sebagai pihak dominan sementara perempuan hanya sebagai subordinasi dari laki-laki. Hal ini menyebabkan perempuan dianggap sebagai individu yang lemah dan ‘wajib’ patuh pada laki-laki.Â
Pada akhirnya laki-laki atas dasar emosional dan hawa nafsu menggunakan ‘otoritas’-nya untuk mengeksploitasi perempuan. Ditambah perempuan tidak memiliki kekuatan untuk melawan karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa secara biologis laki-laki memiliki kapasitas fisik yang lebih dibanding perempuan. Hal tersebut menambah kesempatan seorang laki-laki untuk melakukan tindak kekerasan tanpa perlawanan dari perempuan. Sangat kejam bukan?
Tidak berhenti sampai disitu perempuan sering menjadi korban pemaksaan kontrasepsi, sterilisasi, dan perkawinan oleh sebab fungsi reproduksi pada perempuan.Â
Pada era modern ini pelecehan seksual juga terformasi dari ujaran-ujaran dalam kolom komentar pada sosial media yang seringkali kita temukan. Coba saja teman-teman bandingkan isi kolom komentar influencer perempuan dan laki-laki. Berbeda?
Stereotip Gender
Sesaat setelah menikah seorang laki-laki disematkan pangkat kepala keluarga. Laki-laki diberikan tanggung jawab dan wewenang untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mengatur kehidupan rumah tangga.Â
Sementara seorang istri ditugaskan untuk melayani, mengasuh, dan merawat. Sehingga kedua gender tersebut sejak awal dituntut untuk dapat melakukan perannya masing-masing dan dianggap tabu bila keluar dari batas otoritasnya.
Hal ini tidak hanya merugikan perempuan secara sepihak melainkan juga bagi laki-laki. Seorang perempuan tidak diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan dan seorang istri dituntut untuk patuh terhadap suami.Â
Sementara pada laki-laki akan dianggap buruk apabila tidak dapat mengemban tanggung jawab yang disebutkan tadinya. Hal ini dapat menuntun pada masalah yang lebih besar seperti kasus bunuh diri dan transgender. Namun hal tersebut tidak akan dibahas lebih lanjut.
Usaha perlawanan
Kata ‘patriarki’ pasti lekat dengan kata ‘feminisme’. Feminisme merupakan gerakan yang memperjuangkan kesetaraan gender. Gerakan ini sudah banyak sekali aksi perwujudannya seperti pembangunan komunitas. Contohnya adalah Poetri Mardika, Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia, PWAG Indonesia, Jakarta Feminist, dan masih banyak lagi. Komunitas tersebut aktif dalam menyuarakan kesetaraan gender dan hak-hak sebagai perempuan.Â
Usaha dari feminisme masih berlanjut hingga saat ini melalui dunia digital seperti postingan pada media sosial youtube, twitter, instagram, dll. Perjuangan itu semua bukan hal yang sia-sia melainkan membuahkan hasil nyata berupa pengesahan UU no 12 tahun 2022 yang berisi tentang tindak pidana kekerasan seksual.Â
Namun sayangnya usaha feminisme tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Sebab pada era modern ini feminisme mulai menuju pada gerakan yang diarahkan untuk membenci dan merendahkan laki-laki. Hal ini menjadi masalah karena menyimpang dari tujuan awal feminisme yaitu kesetaraan gender dan emansipasi wanita.Â
Gerakan ini pada akhirnya menjadi ‘senjata makan tuan’ karena dengan adanya berbagai pihak yang menyuarakan kebencian pada kaum laki-laki dan berusaha playing victim membuat dukungan untuk gerakan feminisme berkurang.Â
Sebelumnya dari kedua pihak sudah mendukung gerakan ini, bahkan ada komunitas berisikan laki-laki yang mendukung gerakan feminisme yaitu ALB (Anak Laki-Laki Baru), namun karena aksi dari beberapa oknum ini membuat dukungan pada gerakan feminisme berkurang. Beberapa orang ada yang menjadi tidak mendukung dan sebagian besar menjadi setuju dengan feminisme tapi tidak dengan aksinya.Â
Kesimpulan
Patriarki merupakan ideologi berkembang di masyarakat yang harus dituntaskan karena berujung pada kekerasan, pelecehan seksual pada perempuan, dan stereotip gender. Beberapa pihak pun telah berusaha melakukan gerakan untuk mengentaskan praktek patriarki. Meskipun belum tercabut sampai akarnya, tetapi kita sudah dapat melihat peran perempuan dalam berbagai aspek di masyarakat. Tetapi kembali perlu diingat bahwa membutuhkan kedua pihak untuk melawan budaya patriarki. Jadi
it’s men and women vs patriarchy, not men vs women.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H