Mohon tunggu...
Bernardus Marcello Agieus
Bernardus Marcello Agieus Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia

Ingin menyampaikan isi kepala saya dalam bentuk tulisan agar dapat menjadi bahan diskusi bersama manusia lainnya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketidakberdayaan Perempuan Bukan (dan Tidak Pernah) Karena Perempuan Itu Sendiri!

31 Maret 2024   20:12 Diperbarui: 8 April 2024   01:31 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mari kita mulai tulisan ini dengan satu pertanyaan: siapa yang ingin menjadi tidak berdaya akan ketidakadilan? 

Siapa yang ingin dibatasi ruang gerak kehidupannya untuk sekadar berekspresi dengan panci, wajan, dan sebuah mesin vacuum cleaner? 

Siapa yang ingin dipertanyakan setiap keputusan dalam hidupnya hanya karena sebuah perbedaan alat reproduksi?

Tidak ada.

Sayangnya, ini adalah pil pahit yang harus ditelan paksa oleh setiap Perempuan yang dengan penuh kesabaran menerima pengalaman-pengalaman menyakitkan tersebut, sejak lahir dan mungkin hingga seumur hidupnya. 

Ya, saya katakan setiap Perempuan karena nyatanya kesetaraan gender di berbagai bidang memang belum ada yang terwujud, kesenjangan antara laki-laki dan Perempuan masih terjadi. Silakan membuktikan sendiri hal ini melalui statistik apapun yang tersedia di internet. 

Sehingga, akan menjadi sangat naif rasanya ketika seseorang atau suatu kelompok mengatakan bahwa Perempuan sudah memperoleh hak yang setara (atau lebih buruknya lagi, hak yang sesuai) hanya karena adanya 'peningkatan' perlindungan hak dan pemberdayaan Perempuan dari masa ke masa. 

Terlebih lagi, justru laki-laki lah yang seringkali menjelma sebagai subjek untuk menjadi juri, hakim, dan wasit atas 'peningkatan' dan 'kesetaraan' tersebut.

Ketika berada di tengah masyarakat, bukan lah sebuah hal yang tabu ketika menjadikan Perempuan sebagai sebuah objek untuk dieksploitasi dan dikapitalisasi, menjadi bukti bahwa tubuh Perempuan tidak pernah dimiliki oleh dirinya sendiri, di ruang privat atau di ruang publik atau bahkan di dalam kepalanya sendiri.

Melalui sejarah, kita telah melihat berbagai macam bentuk ketidakadilan kepada Perempuan dengan berbagai pembenarannya.

Mulai dari perjodohan Dyah Pitaloka, kisah Roro Jonggrang, hingga R.A Kartini, semua menunjukkan bahwa Perempuan hanya pelengkap, kelompok masyarakat level dua, dan sebuah objek untuk meningkatkan nilai sang subjek---laki-laki. 

Sejarah telah membuktikan bahwa perihal Perempuan adalah perihal penaklukan teritorial tubuh dan pikiran, seakan-akan ada bahaya yang tumbuh dalam pemberdayaan Perempuan atau kerap disebut dengan femme fatale. 

Berbicara tentang femme fatale, saya juga selalu menyukai cerita dua mitologi Yunani: Helene of Troy dan Medusa. 

Tentang Helene of Troy, anak dari Zeus dan Leda, yang dituding sebagai penyebab terjadinya Perang Troya karena kecantikannya, padahal sesungguhnya ia adalah korban penculikan dan pemerkosaan. 

Medusa juga mengalami hal yang sama, dianggap sebagai monster dan kutukan, meski sejatinya Medusa adalah simbol perlawanan atas kekerasan terhadap Perempuan. 

Rambut ularnya yang mampu mengubah siapapun menjadi batu itu adalah sebuah mekanisme pertahanan Medusa setelah berulang kali diperkosa karena kecantikannya. 

Melalui berbagai cerita sejarah dan mitologi, kita bisa menyimpulkan bahwa Perempuan selalu dipandang buruk, bahkan ketika melindungi harga Perempuan itu sendiri.

Di zaman sekarang, Perempuan masih dianggap sebagai kasta kedua. Konsep kesetaraan gender cenderung diglorifikasi dan langkah-langkah yang diambil oleh berbagai pihak cenderung hanya menjadi sebuah simbol tanpa aksi nyata terhadap pemenuhan hak Perempuan. 

Berlindung di balik aspek tradisi dan budaya, sangat banyak kelompok laki-laki yang menganggap remeh kesetaraan gender. Ibarat sebuah martabak, alih-alih membaginya menjadi dua bagian, sekelompok laki-laki itu hanya memotong sebagian kecil martabak untuk diberikan kepada Perempuan dan telah menganggap diri mereka sebagai seorang yang 'ramah' terhadap Perempuan. 

Medusa oleh Antonio Canova, dari The Metropolitan Museum of Art New York
Medusa oleh Antonio Canova, dari The Metropolitan Museum of Art New York

Perlu diakui, suka tidak suka, pemikiran semacam ini masih tumbuh subur di negara Indonesia. Konsep Akses, Partisipasi, Kontrol, dan Manfaat (APKM) belum diterapkan dengan baik.

Sulit rasanya membayangkan manfaat suatu kebijakan bagi Perempuan, terlebih kelompok Perempuan rentan, ketika mayoritas (atau seluruh) penyusun kebijakan adalah laki-laki. 

Perempuan belum memiliki kontrol yang cukup atas berbagai kebijakan karena minimnya jumlah Perempuan di posisi manajerial atau pengambil kebijakan, baik di dunia swasta maupun pemerintahan. 

Hal ini tentu sangat mudah ditebak karena angka partisipasi Angkatan kerja Perempuan selalu lebih rendah dari laki-laki, dengan berbagai latar belakang seperti: rekrutmen, pendidikan, dan diskriminasi gender. 

Ketika sekolah, jika ingat, kita cenderung mengarahkan Perempuan untuk menjadi sekretaris atau bendahara, dan hal ini juga terus berlanjut di dunia kerja. 

Stigma ini telah melekat kepada Perempuan, menghalangi mereka untuk mengambil pilihan profesi yang lebih luas. Diskriminasi ini juga menjadi dampak sekaligus penyebab dari akses Perempuan ke dunia Pendidikan. 

Pendidikan di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, & Mathematics), contohnya, didominasi oleh laki-laki. Apakah sudah terlihat keterkaitannya? 

Diskriminasi kepada Perempuan menyebabkan semakin sempitnya pilihan Pendidikan bagi Perempuan. Sempitnya akses kepada Pendidikan menyebabkan sedikitnya SDM Perempuan yang berkualitas (khususnya di bidang STEM) yang pada akhirnya semakin mengerucut ketika memasuki dunia kerja. 

Ketika dunia pekerjaan hanya memiliki jumlah SDM Perempuan yang sedikit, ini akan berakibat pada tidak adanya kontrol kepada kebijakan yang responsif gender atau ramah kepada Perempuan dan pada akhirnya Perempuan hanya menerima sedikit manfaat dari kebijakan tersebut. 

Rentetan butterfly effects ini terjadi karena diskriminasi gender kepada Perempuan seumur hidupnya, yang mayoritas dilakukan oleh laki-laki baik secara sengaja atau tidak disengaja.

Di ujung tulisan ini, dengan harapan bahwa mayoritas pembaca berjenis kelamin laki-laki, semoga kita semakin sadar dan berhati-hati dalam bertindak serta berucap, agar segala keputusan yang kita ambil setidaknya tidak membuat perjuangan menuju kesetaraan gender mundur satu langkah. 

Mari bertindak agar tidak ada lagi Medusa-medusa lainnya di dunia ini. Anda, sebagai laki-laki, sebagai gender yang selalu diandalkan dalam problematika masyarakat, memiliki peranan penting dalam mewujudkan kesetaraan gender.

Perjuangan masih panjang.

Perempuan berdaya, Indonesia maju.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun