Sejarah telah membuktikan bahwa perihal Perempuan adalah perihal penaklukan teritorial tubuh dan pikiran, seakan-akan ada bahaya yang tumbuh dalam pemberdayaan Perempuan atau kerap disebut dengan femme fatale.Â
Berbicara tentang femme fatale, saya juga selalu menyukai cerita dua mitologi Yunani: Helene of Troy dan Medusa.Â
Tentang Helene of Troy, anak dari Zeus dan Leda, yang dituding sebagai penyebab terjadinya Perang Troya karena kecantikannya, padahal sesungguhnya ia adalah korban penculikan dan pemerkosaan.Â
Medusa juga mengalami hal yang sama, dianggap sebagai monster dan kutukan, meski sejatinya Medusa adalah simbol perlawanan atas kekerasan terhadap Perempuan.Â
Rambut ularnya yang mampu mengubah siapapun menjadi batu itu adalah sebuah mekanisme pertahanan Medusa setelah berulang kali diperkosa karena kecantikannya.Â
Melalui berbagai cerita sejarah dan mitologi, kita bisa menyimpulkan bahwa Perempuan selalu dipandang buruk, bahkan ketika melindungi harga Perempuan itu sendiri.
Di zaman sekarang, Perempuan masih dianggap sebagai kasta kedua. Konsep kesetaraan gender cenderung diglorifikasi dan langkah-langkah yang diambil oleh berbagai pihak cenderung hanya menjadi sebuah simbol tanpa aksi nyata terhadap pemenuhan hak Perempuan.Â
Berlindung di balik aspek tradisi dan budaya, sangat banyak kelompok laki-laki yang menganggap remeh kesetaraan gender. Ibarat sebuah martabak, alih-alih membaginya menjadi dua bagian, sekelompok laki-laki itu hanya memotong sebagian kecil martabak untuk diberikan kepada Perempuan dan telah menganggap diri mereka sebagai seorang yang 'ramah' terhadap Perempuan.Â
Perlu diakui, suka tidak suka, pemikiran semacam ini masih tumbuh subur di negara Indonesia. Konsep Akses, Partisipasi, Kontrol, dan Manfaat (APKM) belum diterapkan dengan baik.
Sulit rasanya membayangkan manfaat suatu kebijakan bagi Perempuan, terlebih kelompok Perempuan rentan, ketika mayoritas (atau seluruh) penyusun kebijakan adalah laki-laki.Â