Perdagangan yang semakin terbuka di Indonesia sebagai bagian dari kesepakatan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) memperbesar peluang masuknya produk pangan dari luar negeri. Untuk menghadapi hal ini, teknologi pengolahan dalam negeri harus mampu bekerja dengan baik dan memiliki daya saing yang tinggi untuk menguasai pasar domestik.Â
Nanoteknologi membuka peluang pengembangan produk baru. Penggunaan nanoteknologi dalam pertanian dan pangan diharapkan dapat meningkatkan kuantitas dan kualitas produk pertanian dan pangan. Hal tersebut sekaligus mendukung pertanian presisi (precision farming) di mana penggunaan input pertanian disesuaikan dengan kebutuhan untuk mengurangi biaya produksi. Langkah ini juga sejalan dengan upaya mencapai swasembada pangan dan mendorong pengembangan produk lokal yang kompetitif.
      Teknologi pascapanen dan pengolahan pangan terus ditingkatkan untuk menghasilkan produk yang lebih kompetitif. Nanoteknologi dapat digunakan untuk memberikan sifat baru atau memperbaiki karakteristik fisik, kimia, dan keamanan pangan, seperti tekstur, rasa, warna, kelarutan, stabilitas, umur simpan, kandungan gizi (fortifikasi mikronutrien), serta penyerapan dan ketersediaan biologis (bioavailabilitas) zat gizi atau senyawa bioaktif (Hoerudin & Harimurti, 2014).
      Nanoteknologi juga banyak digunakan untuk meningkatkan kualitas pangan fungsional. Sebagian besar senyawa bioaktif bersifat lipofilik, artinya larut dalam lemak, tetapi memiliki kelarutan rendah dalam air. Kelarutan yang rendah ini menyebabkan penyerapan dalam sistem pencernaan menjadi terbatas, sehingga ketersediaannya dalam tubuh juga rendah (Joye, et al., 2014). Nanoteknologi dapat mengatasi masalah ini dengan melakukan enkapsulasi senyawa bioaktif menggunakan bahan yang larut dalam air dan mengatur pelepasannya dalam sistem pencernaan (Silva, et al., 2012).
      Riset dan pengembangan aplikasi nanoteknologi di bidang pertanian dan pangan semakin berkembang, terutama di negara-negara maju dan berkembang. Di Indonesia, nanoteknologi masih dalam tahap pengembangan, dan aplikasinya masih belum banyak dilakukan. Indonesia memiliki potensi kekayaan alam pertanian dan pangan yang melimpah. Meskipun demikian belum banyak nilai tambah sehingga belum dapat menjadi penentu daya saing bangsa. Namun nanoteknologi dapat menjadi jawaban untuk meningkatkan nilai pada produk dari Indonesia.
Metode Teknologi Nano
      Metode teknologi nano dalam produk pangan dapat dipersiapkan melalui dua metode berbeda, yaitu metode energi tinggi dan metode energi rendah. Metode energi tinggi melibatkan penggunaan perangkat mekanis seperti homogenisasi tekanan tinggi, microfluidizer, dan sonikator, yang dapat menghasilkan energi untuk menghancurkan molekul komponen pangan menjadi material nano (Kentish, et al., 2008; Sekhon, 2010).Â
Metode energi tinggi biasanya digunakan untuk membuat material nano dalam bentuk emulsi (nanoemulsi) yang dapat diterapkan pada pangan untuk meningkatkan sifat emulsi konvensional. Sementara itu, metode energi rendah didasarkan pada pembentukan partikel nano secara spontan. Dalam sistem emulsi yang melibatkan air dan minyak di bawah kondisi lingkungan tertentu, menggunakan metode seperti emulsifikasi spontan (Yang, et al., 2012).
      Dalam industri pangan, nanoemulsi umumnya dibuat dengan metode energi tinggi seperti microfluidization, homogenisasi tekanan tinggi, dan sonikasi. Metode ini menghasilkan gaya mekanis yang menyebabkan fase minyak terpisah menjadi droplet-droplet kecil yang terdispersi dalam fase air (Kentish, et al., 2008).Â
Microfluidizer bekerja dengan membagi aliran emulsi menjadi dua jalur . Kemudian dialirkan melalui saluran-saluran halus yang terpisah sebelum kedua aliran ini dihadapkan satu sama lain dalam ruang interaksi, menghasilkan nanoemulsi.
      Metode energi rendah mungkin memiliki keunggulan dibandingkan pendekatan energi tinggi untuk aplikasi tertentu dalam industri makanan dan minuman. Hal tersebut terjadi karena lebih efektif dalam memproduksi droplet yang sangat halus. Produksi hanya membutuhkan peralatan yang lebih sederhana dan biaya energi lebih rendah, serta lebih mudah untuk diterapkan. Di sisi lain, metode energi rendah memiliki kelemahan. Salah satu keterbatasan pada jenis minyak dan pengemulsi yang dapat digunakan untuk membentuk nanoemulsi yang stabil.