Sungguh kaya tradisi bangsa kita yang terdiri dari ratusan suku bangsa ini .Setiap masyarakat adat punya tradisi yang punya makna yang dalam.
Salah satu momen penting pada setiap acara adat itu ialah acara adat perkawinan. Mandailing sebagai salah satu suku di Indonesia tercinta ini juga punya serangkaian acara adat perkawinan.
Artikel ini akan membicarakan salah satu rangkaian adat perkawinan itu yaitu yang berkaitan dengan "Panaekkon Gondang". Secara harfiah panaekkon berarti menaikkan sedangkan gondang berarti gendang.
Namun kalau kedua kata itu digandeng ,artinya menjadi, acara mulai ditabuhnya gendang adat. Gendang adat yang dimaksud itu ialah " Gordang Sambilan" yang artinya sembilan gendang yang punya diameter yang lebar.
Saya pernah mendengar  penjelasan seorang ahli etnomusikologi yang menyatakan, gendang Mandailing ini merupakan alat musik perkusi terbesar kedua diameternya diseluruh dunia. Menurutnya alat perkusi terbesar ada di Afrika.
Gordang Sambilan terdiri dari sembilan gendang besar ,dua gong besar dua gong kecil dua gendang ukuran menengah serta alat musik tiup ,seruling atau serunai.
Sebagai bahagian dari perangkat adat Gordang Sambilan  ini tidak setiap waktu boleh dibunyikan. Ada waktu tertentu ,pada saat mana musik tradisional ini boleh ditabuh. Gordang itu boleh ditabuh pada acara adat perkawinan .Perangkat adat itu dapat ditabuh pada perkawinan adat anak laki- laki maupun pada perkawinan adat anak perempuan.
Perkawinan anak laki laki disebut "Horja Haroan Boru" (pesta adat kedatangan menantu perempuan) dan perkawinan adat anak perempuan disebut "Horja Pabuat Boru" (pesta adat melepas putri menuju rumah mertuanya).
Tetapi perlu dicatat Gordang boleh ditabuh apabila pada acara adat  itu yang dipotong adalah kerbau. Dalam bahasa adat Mandailing ,kerbau disebut sebagai "Manuk Na langka - langka Indalu".
Untuk itu ,apabila yang punya hajat sudah menyiapkan "Manuk na langka-langka Indalu" sebagai hewan sembelihan lah baru Gordang Sambilan diperkenankan untuk dibunyikan. Kerbau biasanya disembelih pada hari H pesta adat.
Walaupun kerbau sudah disiapkan untuk disembelih ,tetapi untuk mulai menabuh Gordang Sambilan juga harus melalui serangkaian acara adat. Biasanya, Gordang mulai ditabuh pada H-1 atau H-2 sebelum acara puncak adat.
Acara menabuh Gordang itu diawali dengan adanya sidang para pengetua adat. Sidang pengetua adat itu dipimpin oleh salah seorang pengetua adat yang hadir. Ketika diberi kepercayaan untuk memimpin sidang adat itu maka pengetua adat tersebut disebut sebagai "Raja Panusunan" yang mempunyai dua peran yaitu,1). memimpin sidang adat dan 2). menyimpulkan hasil keputusan para pengetua adat .
Sidang pengetua adat itu dilaksanakan diatas pentas yang telah disiapkan untuk itu .Para pengetua adat duduk diatas tikar adat yang disebut "Amak Lampisan" atau tikar berlapis. Tikar yang tertinggi status nya pada adat Mandailing adalah "Amak Lampisan" tujuh lapis.
Sidang adat diawali dengan makan pulut beserta inti yang terbuat dari kelapa dan ditaburi gula aren. "Mangan Sipulut" atau makan pulut dimaknai agar semua yang dibicarakan pada sidang itu menjadi lekat mengikat untuk semua yang hadir.
Selesai makan pulut, acara dilanjutkan dengan menyuguhkan sirih kepada para pengetua adat.
Sirih beserta tembakau, soda kapur dan Pinang diletakkan diatas "partaganan" tempat sirih yang terkembang yang terbuat dari anyaman batang pandan. Setelah sirih disuguhkan dan dinyatakan telah diterima oleh para pengetua adat ,maka yang empunya kerja atau yang disebut " suhut" mulai mengutarakan isi hatinya .Inti dari yang diucapkannya ialah memohon persetujuan para pengetua adat agar "uning- uning-an ni ompunta na jumolo  sundut I" (alat musik yang diwariskan dari leluhur) dapat ditabuh atau dibunyikan mulai hari itu.
" Suhut " juga sangat paham ,salah satu syarat agar Gordang dapat ditabuh maka pada hari itu sudah disembelih kambing yang dalam bahasa adat disebut "orbo janggut namarsisio  I taruma". Arti harfiah dari istilah ini ialah " kerbau berjanggut yang bertempat tinggal di kolong rumah " .
Tentu kita tahu tidak ada kerbau yang berjanggut tetapi demikianlah bahasa adat Mandailing menggambarkan hewan kambing.
Hasrat Suhut ini kemudian diperkuat oleh kerabat keluarga yang lain. Kemudian para pengetua adat yang hadir memberi tanggapan terhadap permintaan yang empunya acara adat itu.
Sesudah masing masing pengetua adat memberi tanggapan berupa persetujuan maka pengetua adat yang memimpin sidang adat itu (Raja Panusunan) menyatakan persetujuannya.
Dengan persetujuan itu diletakkanlah dua buah gendang kecil dan dua buah gong di depan Raja Panusunan yang didampingi " Datu Pargondang". Datu Pargondang adalah seorang ahli gendang atau juga pemimpin grup Gordang Sambilan.
Raja Panusunan dan Datu Pargondang mengoleskan soda kapur ke kedua  buah gong itu.
Kemudian Raja Panusunan dan Datu Pargondang menabuh dengan tangan gendang yang ada dihadapan mereka .Sesudah dua buah gendang kecil itu ditabuh maka para penabuh Gordang Sambilan  langsung menabuh sembilan gendang besar ,diikuti oleh peniup sarunai.
Ketika Gordang itu ditabuh, sungguh terasa suasana magis yang muncul .Suara gendang yang keras itu ,tmerangsang yang hadir untuk segera menari adat yang disebut dengan " manortor".
Setiap menyaksikan acara yang demikian ,saya selalu menggugam dalam hati ,sungguh kaya budaya etnik yang ada di Nusantara ini .Untuk menabuh gendang saja pun dibutuhkan serangkaian acara .Kesemua rangkaian acara itu menunjukkan penghargaan kita yang tinggi terhadap tradisi budaya yang diwariskan para leluhur kita.
Horas!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H