Indonesia Lawyers Club ( ILC ) yang tayang melalui TV One ,Selasa ,22 Januari 2019 membahas tentang Debat Pertama Pilpres 2019 .
Komandan ILC ,Karni Ilyas menghadirkan beberapa narasumber yang berasal dari kubu capres 01 dan capres 02 serta beberapa orang pengamat.
Dari capres 01 terlihat hadir antara lain Budiman Sudjatmiko ,Lukman Edy .Sedangkan dari kubu capres 02 diwakili antara lain oleh Fadli Zon .
Wakil Ketua DPR ,Fahri Hamzah serta Ali Muchtar Ngabalin juga terlihat cukup aktif debat tersebut .
Sedangkan para pengamat yang hadir antara lain Efendi Ghazali,Salim Said,Ahli Hukum Tata Negara yang juga salah satu panelis debat Pilpres ,Margarito Khamis .
Mengingat pokok bahasan pada diskusi itu berkaitan dengan evaluasi debat maka sangat wajarlah masing - masing nara sumber memuji jagoannya.
Dari berbagai materi diskusi yang digelar pada ILC itu ,menarik untuk mencermati pembicaraan tentang ,seperti apa sebenarnya debat Pilpres yang ideal itu .
Sepanjang yang saya tangkap ,Fadli Zon mengungkapkan ,pada debat Pilpres ,kandidat menguraikan dengan tuntas visi ,misi dan program kerja yang akan dilaksanakannya .Dengan pemaparan yang demikianlah para pemilih menilai para calon yang akan mereka pilih .
Terhadap pendapat ini ,Budiman Sudjatmiko memberi komentar .Menurut politisi PDI- P itu ,kemampuan retorika seorang kandidat tidak dapat dijadikan sebagai ukuran utama untuk menilai kepemimpinan seseorang .Budiman memberi contoh ,beberapa kepala negara dibeberapa negara ,tidak punya kemampuan retorika yang baik tetapi justru dapat membawa negaranya menuju kemajuan yang sangat berarti.Mantan aktivis PRD itu menyebut nama pemimpin RRC dan Korea Selatan untuk mendukung pendapatnya itu .
Budiman juga menyatakan ,Jokowi juga tidak terlalu bagus dalam retorika tetapi Presiden petahana itu punya keinginan yang kuat untuk memajukan negaranya .
Terhadap perbincangan yang demikian ,saya sependapat dengan Budiman ,bahwa kemampuan berorasi tidak berbanding lurus dengan kemampuan memimpin .Seorang tokoh yang jago berpidato bukan  memberi jaminan bahwa ia juga akan sukses memimpin .
Kemampuan retorika memang  penting ,tetapi hal itu bukan satu satunya faktor dominan untuk keberhasilan kepemimpinan .
Saya teringat juga Bung Hatta yang kemampuan  menulisnya jauh lebih hebat dari kemampusn retorika nya .
Walaupun tidak terlalu cemerlang dalam berorasi,tetapi siapa bilang bahwa Hatta bukan pemimpin yang hebat .
Bung Hatta mampu melahirkan tulisan tulisan bermutu yang berguna untuk bangsa ini .Proklamator itu dikagumi bukan karena retorikanya tetapi karena integritas yang dimilkinya serta konsistensi sikap untuk memerdekakan dan memajukan bangsa ini .
Kemudian ketika memperbincangkan seperti apa debat Pilpres yang ideal itu ,Salim Said menguraikan pendapatnya .
Penyandang gelar doktor dari Ohio State University ,Colombus ,Amerika Serikat itu menyatakan faktor budaya mempengaruhi seseorang dalam berdebat .Pengaruh tersebut antara lain terlihat dari pilihan katanya ,sikapnya serta cara nya menyampaikan argumentasi .
Menurutnya ,biarpun Prabowo dan Jokowi sama sama berdarah Jawa tetapi keduanya dibesarkan dalam kultur yang berbeda .
Seperti Prabowo ,masa remajanya banyak dijalani di luar negeri ,kemudian meniti karir dibidang militer .Sementara Jokowi dibesarkan dalam kultur budaya Jawa di Solo. Perjalanan hidup masing masing yang demikian akan memberi pengaruh pada caranya berdebat maupun dalam menyampaikan gagasan .
Karenanya Salim Said mengingatkan bahwa di Indonesia tidak mungkin atau tidak boleh terjadi seperti debat Pilpres di Amerika Serikat karena kultur kita dengan kultur Amerika berbeda .
Penulis buku ,Militer Indonesia dan Politik : Dulu ,Kini dan Kelak itu bercerita ,ia pernah menyaksikan debat Pilpres di AS antara Jimmy Carter dengan Ronald Reagan .Pada debat tersebut ,Ronald Reagan menunjuk- nunjuk muka Carter bahkan telunjuknya sudah sangat dekat dengan wajah Carter .
Walaupun hal seperti itu biasa di negara Paman Sam itu ,tetapi hal yang demikian tentu tidak boleh terjadi di Indonesia karena hal tersebut tidak sesuai budaya kita .
Berkaitan dengan contoh yang disampaikan Salim Said itu ,saya jadi teringat ucapan seorang tokoh atau pengamat politik yang sedang naik daun namanya sekarang ini .Pengamat itu mengumpamakan debat Pilpres itu seperti ring tinju .Diatas ring itu para kandidat harus bertarung habis habisan dan harus ada yang terkapar diatas ring .
Terhadap pernyataan yang demikian ,saya bertanya dalam hati ,apakah memang demokrasi yang seperti itu yang akan dibangun di negeri ini .
Walaupun negara kita ,AS maupun India sama sama negara demokrasi ,tetapi budaya bangsa itu pasti akan memengaruhi kultur dan praktek demokrasi di masing masing negara.
Selanjutnya Salim Said juga mengingatkan bahwa demokrasi di negeri ini masih sedang mencari bentuknya .
Mantan Dubes RI untuk Republik Ceko itu mengingatkan bahwa umur demokrasi di negeri ini masih relatif muda dan nama yang digunakan juga masih berobah - obah .
Dimasa Bung Karno disebut Demokrasi Pancasila ,dimasa Suharto disebut Demokrasi Pancasila dan  sekarang demokrasi apa namanya tanya Salim .
Berkaitan dengan berbagai perbincangan yang mengemuka di ILC itu ,saya juga melihat kita masih sedang mencari format yang tepat ,seperti apa debat Pilpres yang ideal itu .Merupakan catatan bagi kita bahwa kebiasaan debat Pilpres itu pun baru dimulai sejak 2004 .
Karenanya wajar apabila kita sedang berada dalam proses untuk menemukan format terbaik .
Salam Pilpres!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H