Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Tidak Pilih Jokowi "Monggo", tapi Bukan Karena Ia Anti Islam

30 Desember 2018   09:33 Diperbarui: 30 Desember 2018   10:06 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Hubungan antara doktrin Islam dengan memilih pemimpin sangat terasa menjelang Pilpres 2019 ini, kalau dicermati hal yang demikian tidak muncul pada Pilpres 2004 dan juga pada Pilpres 2009.

Pada Pilpres 2004 ketika pertama kali dalam sejarah negeri ini rakyat langsung memilih pimpinannya, maka ada 5 pasangan calon yang bertarung yakni Susilo Bambang Yudhoyono / Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri/ KH Hasyim Muzadi, Amien Rais / Siswono Yudhohusodo,  Wiranto / KH Sholahuddin Wahid dan Hamzah Haz/ Agum Gumelar .

Semua pasangan yang bertarung pada kontestasi demokrasi itu beragama Islam bahkan dua diantaranya yakni KH Hasyim Muzadi dan KH Sholahuddin Wahid merupakan ulama terkemuka . Pada putaran pertama Pilpres, muncul dua pasangan dengan raihan suara tertinggi ,yaitu Susilo Bambang Yudhoyono / Jusuf Kalla memperoleh 33,57 persen dan Megawati Soekarnoputri/ KH Hasyim Muzadi meraup 26,61 persen.

Pada masa kampanye Pilpres tersebut tidak terdengar munculnya narasi kampanye  yang mengeksploitasi simbol simbol Islam, tidak ada muncul ungkapan misalnya yang mengatakan pasangan Megawati Soekarnoputri lebih Islami dari yang lainnya karena disana ulama karismatis KH Hasyim Muzadi. 

Begitu juga halnya dengan Wiranto tidak disebut sebagai representasi kekuatan Ummat Islam karena disana ada KH Sholahuddin Wahid, ulama, pengasuh pondok pesantren Tebu Ireng dan adik kandung Gus Dur. Demikian juga dengan Amien Rais / Siswono Yudhohusodo juga tidak diberi label representasi kekuatan politik Islam Modern.

Semua pasangan hanya menjual visi, misi, dan ketokohan para calon. Seperti diketahui pada Pilpres tersebut terjadi dua putaran pemilihan dan pada putaran kedua Susilo Bambang Yudhoyono / Jusuf Kalla berhadapan dengan Megawati Soekarnoputri / KH Hasyim Muzadi. 

Pada putaran kedua ini, ketika hanya dua pasangan yang bertarung tidak juga terlihat munculnya sentimen keislaman pada pertarungan demokrasi itu. Kemudian pada Pilpres 2009 muncul 3 pasangan calon yakni, Susilo Bambang Yudhoyono / Budiono, Megawati Soekarnoputri / Prabowo Subianto dan Jusuf Kalla/ Wiranto .

Pilpres yang berlangsung satu putaran itu dimenangkan secara telak oleh SBY/ Budiono dengan  meraih 60,80 persen suara. Pemenangan pasangan ini bukan karena menjadikan sentimen keislaman sebagai thema besar kampanyenya tetapi karena ketokohan SBY dan juga prestasinya yang telah memimpin negeri ini selama 5 tahun.

Para pemilih masih menginginkan Republik ini dipimpin oleh jenderal kelahiran Pacitan itu, maka semboyan kampanye yang muncul adalah " Lanjutkan ", sebuah kata yang menggambarkan keinginan agar SBY memimpin lagi 5 tahun berikutnya.

Perlu juga dicermati  posisi Prabowo sebagai cawapres Megawati pada Pilpres 2009 itu, pada masa itu tidak terdengar narasi yang mengatakan mantan Pangkostrad itu merupakan representasi kekuatan Islam di negeri ini. 

Masyarakat lebih banyak melihat cawapresnya Megawati itu sebagai seorang nasionalis dan memang Gerindra parpol yang didirikan dan dipimpinnya itu adalah sebuah partai yang berbasiskan kebangsaan. Pada kampanye Pilpres 2004 dan 2009 itu yang muncul adalah adu ketokohan ,adu program dan dengan thema yang demikianlah para pemilih menentukan pilihannya.

Simbol simbol keislaman mulai terasa menguat dimunculkan pada dunia politik ketika proses Pilpres 2014, dimunculkan lah isu bahwa Joko Widodo keturunan Tionghoa, orang tuanya tidak jelas identitasnya.

Bahkan dikatakan lagi agamanya juga tidak tentu ada yang mengatakan ia punya nama baptis "Herbertus". Bahkan isu yang lebih kejam lagi dimunculkan Jokowi adalah PKI.

Semua isu yang dituduhkan ke Jokowi itu tidak pernah ada ketika ia bertarung di Solo demikian juga halnya ketika ia berjuang untuk jadi Gubernur DKI. Padahal kalau dicermati, isu Jokowi turunan PKI seharusnya muncul dan mengeras ketika berkontestasi di Solo karena masyarakat di kota itulah yang paling mengetahui rekam jejak calon walikotanya .

Demikian juga halnya ketika mengikuti Pilkada DKI tahun 2012 pada saat mana pasangan Joko Widodo / Basuki Tjahaja Purnama diusung oleh PDI-P dan Gerindra. Mungkinkah kedua partai itu mengusung calon yang terindikasi PKI? 

Pada Pilkada DKI delapan tahun yang lalu itu juga tidak terdengar isu yang mengatakan Jokowi tidak jelas agamanya, tidak terdengar juga ucapan yang menyebutnya turunan PKI. Nyatanya semua tuduhan negatip serta fitnah ke Jokowi itu baru mengemuka pada Pilpres 2014.

Sekarang sudah sangat jelas darimana asal muasal fitnah itu, ketua Partai Persatuan Pembangunan Romahurmuzij telah mengungkapkan fitnah yang menyebut Jokowi PKI itu berasal dari tabloid "Obor Rakyat" yang sengaja diterbitkan oleh pihak tertentu dengan maksud untuk membunuh karakter Jokowi pada Pilpres 2014.

Kemudian keterangan La Nyalla Mattaliti  yang menurutnya berjuang untuk Prabowo pada Pilpres 2014 semakin menguatkan informasi bahwa isu Jokowi PKI dan agamanya yang tidak tentu itu memang sengaja diciptakan. Walaupun informasi tentang fitnah buatan itu sudah terang benderang dari mana asalnya tetapi sangat disayangkan masih banyak kalangan yang percaya tentang hal yang demikian .

Tetapi hal yang demikian tidak dapat sepenuhnya disalahkan pada para pemilih, Sampai sekarang ini masih banyak tokoh yang tidak senang kepada Jokowi yang terus menerus meniupkan isu yang demikian. Masih ada tokoh yang menggambarkan Pilpres 2019 sebagai perarungan antara kekuatan yang anti PKI dan kekuatan yang menginginkan PKI bangkit lagi .

Tidak hanya sebatas isu PKI, tetapi dikembangkan lagi isu ,Jokowi anti Islam. Terhadap isu yang demikian sungguh aneh dari sisi mana mereka menyebut mantan Walikota Solo itu anti Islam. Dan yang lebih aneh lagi dibentuk persepsi bahwa Prabowo/ Sandiaga Uno lah yang merupakan representasi kekuatan politik Islam negeri ini.

Oleh karena adanya framing yang demikian maka bahagian pertarungan demokrasi itu menjadi bergeser kepada pertanyaan, siapakah yang lebih Islami antara Jokowi dan Prabowo.

Berbagai informasi yang beredar membuat publik menjadi punya lebih banyak bahan  untuk menjawab pertanyaan itu. Selanjutnya perlu juga diingat bahwa Islam melarang seseorang memfitnah orang lain .Ayat suci mengatakan, " Fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan ". 

Kalau Islam melarang fitnah maka sungguh ironis kalau ada yang katanya tokoh Islam atau yang katanya ulama justru terus menerus menebarkan fitnah dan menyatakan keislaman Jokowi diragukan. Sepanjang yang dicermati ,masih banyak Ummat Islam yang terpengaruh dengan fitnah yang sengaja dilontarkan secara sistimatis itu.

Untuk itulah selayaknyalah diungkapkan kalimat, kalau Anda tidak memilih Jokowi karena menganggap ia tidak berbuat untuk rakyat maka hal itu adalah hak Anda.

Tetapi kalau Anda mengatakan tidak pilih Jokowi, karena ia turunan PKI atau karena ia membenci Islam maka itu artinya Anda telah masuk pada perangkap  fitnah yang keji sedangkan memfitnah itu sangat sangat dilarang oleh Islam.

Salam Demokrasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun