Tidak usah punya label politisi hebat pun, setiap orang tahu untuk memenangkan sebuah kontestasi politik maka harus dirangkul sebanyak banyaknya anggota masyarakat atau kelompok.
Merangkul sebanyak banyaknya orang tentu dimaksudkan untuk menggalang suara ,meraih simpati yang pada akhirnya diharapkan memberikan suaranya pada sebuah pertarungan demokrasi.
Pada pemilihan kepala desa saja pun hal yang demikian sering terlihat.Begitu juga halnya pada pemilihan anggota legislatif untuk tingkat kabupaten / kota, provinsi bahkan untuk ke Senayan pun para caleg itu terus berusaha untuk merangkul masyarakat.
Karenanya jangan heran para calon legislatif ( caleg) itu, tiba tiba jadi ramah ,mudah mengumbar senyum dan seolah olah selalu menunjukkan empati kepada anggota masyarakat yang ditemuinya.
Untuk menunjukkan empati itu, para caleg itu semakin rajin mendatangi komunitas masyarakat .Bahkan sebahagian diantara mereka yang tidak pernah berkunjung ke pasar pun kemudian menjadi rajin bertutur sapa, menyapa dan beramah tamah dengan para pedagang dan masyarakat yang berbelanja di pasar  pasar yang dikunjungi.
Bertitik tolak kepada contoh tersebut maka menjadi tanda tanya ,mengapa sekelas Ahmad Muzani ,Sekjend Partai Gerindra menyampaikan kritik terbuka kepada Susilo Bambang Yudhoyono ,Ketua Umum Partai Demokrat.
Seperti yang kita baca melalui media ,inti kritik yang disampaikan Muzani itu berkisar pada belum aktifnya SBY mengkampanyekan pasangan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno.
Oleh karena belum aktip nya SBY itulah ,Sekjend Gerindra itu secara terbuka mengkritik SBY .Bahkan dinyatakannya juga SBY/ Demokrat belum memenuhi janjinya yang akan mengkampanyekan pasangan 02 itu.
Terhadap kritikan Ahmad Muzani ini, Demokrat juga meresponsnya dengan keras bahkan SBY juga mengomentarinya sekaligus memberi kritik terhadap pasangan yang diusung partainya itu.
Berkaitan dengan hal tersebut lah menjadi menarik mencermati kritikan yang disampaikan oleh Ahmad Muzani ,Sekjend sebuah partai besar yang menempati peringkat ketiga pada pemilu 2014.
Pertanyaan yang muncul ialah,apakah Gerindra dalam hal ini Sekjendnya melakukan blunder politik atau memang dengan sengaja melakukannya .
Setelah menimbang nimbang dalam hati, saya hampir sampai pada sebuah kesimpulan, bahwa kritik Muzani itu bukan merupakan blunder politik tetapi memang dengan sengaja dilakukan.
Kalau demikian halnya, apakah Gerindra atau pasangan Prabowo - Sandiaga tidak butuh dukungan elektoral dari simpatisan atau anggota partai yang dipimpin SBY itu?.
Dugaan saya, setelah mengamati berbagai hal , Gerindra berkesimpulan ,Demokrat tidak akan memberi dukungan penuh pada pasangan bernomor 02 itu.
Indikasi terhadap hal itu terlihat antara lain dari pernyataan pernyataan petinggi Demokrat yang memberi petunjuk yang kuat bahwa partainya tidak akan all out untuk bertarung pada Pilpres .Hal yang demikian terlihat dari pidato SBY saat memberi pembekalan pada caleg Partai Demokrat.
Inti dari sambutan SBY pada pembekalan itu ialah partainya lebih mengutamakan kemenangan partai pada pemilu legislatif ketimbang memenangkan pasangan yang diusung partainya pada Pilpres 2019.
Mengapa Gerindra "memutuskan " hubungan dengan Demokrat ?
Dugaan saya hal ini berkaitan dengan kritik yang sebelumnya disampaikan oleh Eggi Sujana tentang sikap SBY.
Eggi Sujana ,seorang aktivis organisasi Islam yang kini menjadi calon anggota legislatif dari PAN Â itu beberapa hari yang lalu menyampaikan kritik terhadap SBY berkaitan dengan penggunaan politik identitas.
Dalam sambutannya pada pembukaan pembekalan calon anggota legislatif ( caleg) Partai Demokrat di Hotel Sultan ,Senayan Jakarta,Sabtu ,10 November 2018 ,SBY antara lain menyatakan ,sejak berlangsungnya Pilkada Jakarta 2017 bahwa politik kita telah berubah.Yang berubah adalah makin mengemuka nya politik identitas atau politik SARA dan politik yang sangat dipengaruhi oleh ideologi dan paham.
Presiden RI dua priode itu selanjutnya mengatakan ,identitas dan ideologi tak mungkin dipisahkan dari politik.Namun ia menilai hal itu tidak baik jika sudah ekstrem pengaruhnya.
Selanjutnya Ketua Umum Demokrat itu berharap politik identitas dan SARA tidak ekstrim pengaruhnya dalam Pemilu 2019.( Kompas.com,10/11/2018).
Pidato  yang demikian tentu menegaskan sikap SBY dan Demokrat yang tidak akan menggunakan politik identitas pada pemilu 2019.
Terhadap pidato SBY yang demikianlah, Eggi  Sujana sosok yang dekat dengan Habib Rizieq itu
melontarkan kritiknya.
"Saya tidak sependapat dengan SBY.Kalau ngikutin pendapat SBY ,jadi banci " ,ujar Eggi .
Selanjutnya ia menyatakan ,nggak jelas ya .Netral itu setan bisu dalam perspektif Tauhid .
"Dia setan ,tapi bisu ,tapi kan tetap setan.Saya nggak bilang dia setan .Ini kan soal sikap ,jangan dipelintir .Kalau politik banci benar " ,kata Eggi di D Hotel ,Jalan Sultan Agung ,Jakarta Pusat,Minggu ,11 November 2018 ( detiknews,11/11/2018).
Tentulah dengan mengucapkan kata " banci" serta mengaitkannya dengan " dalam perspektif Tauhid" ,merupakan pandangan Eggi dan teman temannya tentang sikap SBY yang tidak akan menggunakan politik identitas atau politik SARA pada pemilu nanti.
Berkaitan dengan sikap Demokrat yang demikian bukan tidak mungkin ,ada kelompok dalam kubu pasangan 02 yang tidak nyaman atau yang tidak setuju dengan sikap Presiden ke - 6 RI itu.
Kalau asumsi ini benar maka Gerindra bisa dihadapkan kepada pilihan ,tetap merangkul SBY tetapi mengakibatkan berkurangnya dukungan dari kelompok yang akan menggunakan politik identitas pada pemilu atau lebih baik hubungan " diputuskan " dengan Demokrat dan sebagai kompensasinya akan diperoleh dukungan penuh dari kelompok tersebut.
Dalam takaran politik yang sederhana tentu Gerindra sadar ,dengan sikap Demokrat selama ini toh tidak didapatkan dukungan politik yang maksimal.
Sedangkan dukungan riil lebih nyata kalau merangkul kelompok yang akan
menggunakan politik identitas pada pilpres nanti.
Berangkat dari hal hal yang demikian tidak salah kalau dibuat kesimpulan ,bahwa kritik Ahmad Muzani terhadap SBY bukanlah sebuah blunder politik tetapi sebuah pernyataan politik yang didasarkan pada sebuah kalkulasi politik yang matang .
Namun ini hanya lah sebatas dugaan dari seorang pemerhati politik amatir.
Salam Demokrasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H