Selama 25 tahun diatur oleh UU itu sangat dirasakan Pemerintah Daerah seolah olah dikekang kebebasannya dalam mengembangkan daerahnya. Bahkan yang akan dipilih oleh DPRD untuk menduduki Kepala Daerah sudah dipersiapkan oleh Jakarta. Karenanya peran DPRD hanya sebatas memilih sesuatu yang sudah digariskan oleh Jakarta.
Sebagai anti thesa terhadap UU Nomor 5 Tahun 1974 itu lahirlah UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian disusul oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 dan juga UU Nomor 23 Tahun 2014.
Sikap politik yang ingin memberi keleluasaan pada daerah untuk mengembangkan berbagai potensi yang ada di daerahnya kemudian juga diikuti dengan lahirnya berbagai Undang Undang yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat-daerah.
Tetapi di berbagai daerah semangat untuk mengembangkan daerah itu sering juga dibarengi dengan sentimen kedaerahan yang berlebihan. Sikap tersebut juga dalam tarap tertentu seolah olah menimbulkan "pengkotak - kotakan" antar daerah. Berbagai daerah melihat segala sesuatunya dari sisi kepentingan daerahnya saja dan kurang mengaitkan dengan kepentingan lainnya yang lebih luas.
Di beberapa tempat justru terlihat adanya "persaingan" antar daerah yang kadang kala kurang sehat. Sedangkan yang diharapkan ialah terjadinya sinerjitas atau kerja sama antar daerah untuk mengoptimalkan kemajuan pada masing masing daerah.
Sejak masa Orba sudah disadari perlunya kerja sama antar daerah sehingga lahirlah kerja sama kawasan yang kita kenal dengan singkatan Jabotabek atau Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Sekarang ini pada kerja sama kawasan itu diikutsertakan Depok sehingga menjadi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek ).
Kerja sama yang demikian juga ada di Sumatera Utara yang pada awalnya disebut Mebidang yaitu daerah Medan, Binjai dan Deli Serdang. Sesuai dengan kebutuhan kerja sama antara daerah maka Kabupaten Karo masuk dalam kerja sama kawasan ini sehingga namanya berubah dari Mebidang menjadi Mebidangro.
Kerja sama antar daerah dimaksudkan agar potensi masing masing daerah bisa saling melengkapi dan kerja sama yang demikian juga diharapkan untuk bisa saling membantu mengatasi permasalahan yang dijumpai di masing masing daerah.
Dalam konteks yang demikianlah kita melihat perlunya kerja sama antara Pemprov DKI bekerja sama dengan Pemkot Bekasi terutama di bidang pengelolaan persampahan.
Pada masa sekarang ini tentu tidak mungkin Pemprov DKI dapat menyediakan lahan yang cukup luas untuk pembuangan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Ibu Kota. Karenanya DKI butuh kerja sama dengan Pemkot Bekasi.
Tentulah Pemkot Bekasi butuh dana kompensasi oleh karena dengan digunakannya lahan di Bantargebang sebagai tempat pembuangan sampah akan menimbulkan berbagai "kerugian" untuk masyarakat dan lingkungan pada kota yang berbatasan dengan Ibu Kota negara kita.