Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Belajar dari Pengadangan Truk Sampah DKI, Ternyata Kerja Sama Itu Tidak Mudah

20 Oktober 2018   13:50 Diperbarui: 22 Oktober 2018   15:05 2713
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: www.tribunnews.com

Beberapa hari yang lalu Dinas Perhubungan Kota Bekasi melarang bahkan menahan sekitar 61 truk sampah Pemprov DKI yang melintas di Kota Bekasi menuju Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang.

Tempat Pembuangan Sampah yang punya luas 110,3 Ha ini terletak di Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Cikiwul dan Kelurahan Sumur Batu Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi.

Pada Bantargebang inilah setiap harinya truk truk sampah Pemprov DKI membuang sampah warga Jakarta. Menurut keterangan Ade Palguna, Sekretaris Jenderal Pengelolaan Limbah, Sampah dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup, Provinsi DKI Jakarta menghasilkan sampah mencapai 70 ribu ton setiap harinya. Sebanyak 60 persen dari keseluruhan sampah yang ada merupakan sampah domestik atau rumah tangga (Tempo.co).

Dengan produksi sampah yang sedemikian besar tidak mungkinlah Pemprov DKI menyediakan lahan di DKI Jakarta untuk tempat pembuangan sampah. Berkaitan dengan kesulitan itulah maka Pemprov DKI harus menyediakan areal di luar wilayah DKI dan itulah di Bantargebang Bekasi.

Karenanya sudah dapat dibayangkan problema yang dihadapi Pemprov DKI ketika Pemerintah Kota Bekasi melalui Dinas Perhubungan melarang truk sampah melintas di Kota Bekasi menuju Bantargebang.

Akar masalah pelarangan truk sampah itu melalui Kota Bekasi mulai mengemuka ke publik serangkaian dengan keterangan Wali Kota Bekasi. Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi sebagaimana diberitakan Kompas.com (19/10/2018) mengancam setop kerja sama jika DKI tak cairkan dana hibah. Menurutnya kewajiban Pempov DKI sebagaimana tertuang pada perjanjian kerja sama adalah memberikan dana kompensasi tentang pengelolaan TPST Bantargebang kepada Pemkot Bekasi.

Selanjutnya Wali Kota menjelaskan dana kompensasi itu nantinya akan digunakan untuk penanggulangan kerusakan lingkungan, pemulihan lingkungan, biaya kesehatan dan pengobatan dan kompensasi dalam bentuk lain berupa bantuan langsung tunai. Menurut Rahmat Effendi, Pemprov DKI baru memberikan dana kompensasi Rp 194 Miliar dan diberikan tahun 2017.

Wali Kota yang akrab disapa Pepen itu menyatakan pihaknya sudah beberapa kali mengingatkan Pemprov DKI tentang hak dan kewajiban sebagaimana tertulis pada Perjanjian kerja sama.

Artikel ini tidak akan membahas tentang layak tidaknya besaran hibah yang dimintakan Pemkot Bekasi untuk dipenuhi Pemprov DKI Jakarta tetapi ingin melihat ternyata kerja sama antar daerah itu sering tidak mudah dilaksanakan.

Seperti kita ketahui sejak reformasi salah satu tuntutan yang muncul ialah agar daerah diberi kewenangan yang lebih besar dalam mengelola berbagai sumber daya yang ada di daerahnya.

Sikap yang demikian juga sekaligus merupakan anti thesa terhadap suasana di zaman Orba yang terkesan segala sesuatunya diatur oleh Jakarta. Hal yang demikian sangat terasa ketika Pemerintah Daerah diatur oleh Undang Undang Nomor 5 Tahun 1974.

Selama 25 tahun diatur oleh UU itu sangat dirasakan Pemerintah Daerah seolah olah dikekang kebebasannya dalam mengembangkan daerahnya. Bahkan yang akan dipilih oleh DPRD untuk menduduki Kepala Daerah sudah dipersiapkan oleh Jakarta. Karenanya peran DPRD hanya sebatas memilih sesuatu yang sudah digariskan oleh Jakarta.

Sebagai anti thesa terhadap UU Nomor 5 Tahun 1974 itu lahirlah UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian disusul oleh UU Nomor 32 Tahun 2004 dan juga UU Nomor 23 Tahun 2014.

Sikap politik yang ingin memberi keleluasaan pada daerah untuk mengembangkan berbagai potensi yang ada di daerahnya kemudian juga diikuti dengan lahirnya berbagai Undang Undang yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat-daerah.

Tetapi di berbagai daerah semangat untuk mengembangkan daerah itu sering juga dibarengi dengan sentimen kedaerahan yang berlebihan. Sikap tersebut juga dalam tarap tertentu seolah olah menimbulkan "pengkotak - kotakan" antar daerah. Berbagai daerah melihat segala sesuatunya dari sisi kepentingan daerahnya saja dan kurang mengaitkan dengan kepentingan lainnya yang lebih luas.

Di beberapa tempat justru terlihat adanya "persaingan" antar daerah yang kadang kala kurang sehat. Sedangkan yang diharapkan ialah terjadinya sinerjitas atau kerja sama antar daerah untuk mengoptimalkan kemajuan pada masing masing daerah.

Sejak masa Orba sudah disadari perlunya kerja sama antar daerah sehingga lahirlah kerja sama kawasan yang kita kenal dengan singkatan Jabotabek atau Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Sekarang ini pada kerja sama kawasan itu diikutsertakan Depok sehingga menjadi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek ).

Kerja sama yang demikian juga ada di Sumatera Utara yang pada awalnya disebut Mebidang yaitu daerah Medan, Binjai dan Deli Serdang. Sesuai dengan kebutuhan kerja sama antara daerah maka Kabupaten Karo masuk dalam kerja sama kawasan ini sehingga namanya berubah dari Mebidang menjadi Mebidangro.

Kerja sama antar daerah dimaksudkan agar potensi masing masing daerah bisa saling melengkapi dan kerja sama yang demikian juga diharapkan untuk bisa saling membantu mengatasi permasalahan yang dijumpai di masing masing daerah.

Dalam konteks yang demikianlah kita melihat perlunya kerja sama antara Pemprov DKI bekerja sama dengan Pemkot Bekasi terutama di bidang pengelolaan persampahan.

Pada masa sekarang ini tentu tidak mungkin Pemprov DKI dapat menyediakan lahan yang cukup luas untuk pembuangan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Ibu Kota. Karenanya DKI butuh kerja sama dengan Pemkot Bekasi.

Tentulah Pemkot Bekasi butuh dana kompensasi oleh karena dengan digunakannya lahan di Bantargebang sebagai tempat pembuangan sampah akan menimbulkan berbagai "kerugian" untuk masyarakat dan lingkungan pada kota yang berbatasan dengan Ibu Kota negara kita.

Karenanya lah kita berharap semangat  otonomi harus ditempatkan dalam spektrum penguatan potensi daerah dalam bingkai kepentingan bersama untuk mempercepat pembangunan nasional.

Salam Demokrasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun