Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mencermati Pernyataan Cak Nun, Elit Politiklah yang Kerap Menggunakan Politik Identitas

16 Oktober 2018   13:16 Diperbarui: 16 Oktober 2018   13:45 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagian dari kita tentu pernah mengenal nama Emha Ainun Najib.Sosok  yang akrab disapa Cak Nun ini lahir di Jombang pada 27 Mei 1953. Banyak gelar yang diberikan kepadanya antara lain seniman teater,pengarang ,pemikir intelektual dan juga budayawan. Bahwa ia salah satu tokoh yang berpengaruh di Republik ini antara lain terlihat menjelang kejatuhan Suharto ia termasuk salah seorang tokoh yang diundang Suharto ke Istana Merdeka untuk dimintai pendapatnya .

Riwayat pendidikannya menunjukkan Cak Nun pernah menjadi santri di Pondok Modern Darussalam Gontor.Tetapi pada tahun ketiga studinya kemudian ia " diusir " karena melakukan demo melawan pimpinan pondok pesantren.

Emha kemudian pindah ke Yogjakarta dan mengenyam pendidikan di Fakultas Ekonomi UGM .Tetapi pendidikan di universitas ternama ini hanya diikutinya selama satu semester. Di Kota Gudeg ini ,ia semakin menekuni bidang sastra dan sekaligus berguru kepada sastrawan terkenal Umbu Landu Paranggi.

Seiring perjalanan waktu Cak Nun juga sering menyelenggarakan kajian kajian Islami .Kajian kajian tersebut memberi pemahaman yang lebih mencerahkan untuk umat .
Kita tentu pernah mendengar aktivitasnya dengan komunitas Masyarakat Padhang Bulan.Begitu juga halnya kita juga pernah mengetahui tentang Gamelan Kiai Kanjeng. 

Dengan gamelan inilah Emha sering berkeliling menemui masyarakat dengan menggelar berbagai acara " pengajian".Pada umumnya pertemuan yang diselenggarakannya dengan masyarakat itu berkaitan dengan kesenian ,agama ,pendidikan politik ,sinergi ekonomi guna menumbuhkan potensi rakyat. Oleh karena pergumulannya yang kuat dengan masalah masalah kemasyarakatan maka layaklah kita mendengar pandangannya tentang masalah pluralisme di negeri ini.

Menurutnya rakyat menengah kebawah tidak ada masalah dengan pluralisme .Selanjutnya dikatakannya akar dari persoalan pluralisme justru berasal dari kalangan elit politik. Para elit Politiklah yang justru kerap menggunakan isu politik identitas demi kepentingan kekuasaan.

Pernyataan yang demikian diungkapkan Cak Nun saat berbincang dengan calon wakil presiden KH Ma'ruf Amin di kediamannya Bantul ,Yogjakarta ,Minggu ,14 Oktober 2018. Karenanyalah suami Novia Kolopaking ini terus berupaya mengantisipasi meluasnya dampak politik identitas yang kerap diproduksi elit politik untuk memperalat masyarakat.

Berkaitan dengan ucapan Emha yang menyebut rakyat menengah kebawah tidak ada masalah dengan pluralisme lalu saya membayangkan masyarakat dimana saya tumbuh ,hidup dan berkembang.

Salah satu wilayah yang paling majemuk penduduknya di negeri ini adalah Sumatera Utara.Dan di wilayah inilah saya hidup selama puluhan tahun. Saya teringat di kampung kelahiran saya Kotanopan ( sekarang masuk  Kabupaten Mandailing Natal ,Provinsi Sumatera Utara) untuk waktu yang lama berdiri disana sebuah gereja sedangkan mayoritas penduduk disana adalah Muslim.Hubungan masyarakat yang Muslim dan non Muslim berlangsung dengan baik dan harmonis.

Kemudian di Sipirok salah satu ibu kota kecamatan di Tapanuli Selatan ,Provinsi Sumatera Utara ,hubungan antar pemeluk agama juga berlangsung dengan baik.Malahan di wilayah Sipirok dan sekitarnya acara kemasyarakatan dilaksanakan bersama sama oleh penduduk yang berbeda agama.

Begitu juga halnya ketika sudah berumah tangga dan tinggal di Medan ,tetangga kami adalah pemeluk agama Kristen.Hubungan kemasyarakatan kami berjalan dengan baik. Pada Hari Raya Idulfitri atau juga pada Tahun Baru kami saling mengunjungi.Dalam hubungan kemasyarakatan yang demikian tidak menonjol dan tidak ditonjolkan perbedaan agama yang kami peluk.

Begitu juga yang saya saksikan hubungan antar pemeluk agama pada rakyat menengah kebawah tidak ada permasalahan yang serius.Mereka bergaul dengan baik,bersenda gurau dan saling tolong menolong, Selanjutnya perbedaan suku dan perbedaan bahasa lokal tidak membuat masyarakat Sumut menjadi terkotak-kotak.Hubungan pribadi berjalan dengan baik dan terlihat tumbuhnya rasa kekeluargaan yang lumayan baik.

Tetapi akhir akhir ini harus diakui jujur mulai terasa adanya pembeda diantara kami .Tidak dapat dinafikan rasa perbedaan itu terasa mulai mengental ketika mulai masuknya isu agama pada kehidupan politik di negeri ini.

Dengan masuknya agama dalam jargon politik maka lambat laun terasa ada perbedaan ditengah masyarakat . Perlahan terasa muncul perasaan antara " kami " dengan " kamu" .Bahkan tidak hanya untuk yang berbeda agama malahan di kalangan umat Islam sendiri kadang kadang muncul juga sikap " kita bukan bahagian dari mereka".
Kalaulah sikap yang demikian terus ditumbuh kembangkan maka lambat laun saya meyakini sendi sendi kebangsaan kita akan goyah. 

Saya pikir sebagian besar dari kita tidak menginginkan hal itu. Karenanya merujuk kepada pernyataan Cak Nun itu sewajarnya lah para elit politik tidak menggunakan politik identitas untuk meraih segenggam kekuasaan.

Salam Demokrasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun