Polemik tentang besaran gaji Dewan Pengarah dan anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sampai sekarang ini masih terus berlanjut.
Sebagaimana diketahui Dewan Pengarah BPIP itu dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 dengan susunan sebagai berikut:Â
Ketua: Megawati Soekarnoputri, anggota: 1) Try Sutrisno, 2) Ahmad Syafii Ma'arif, 3) KH Ma'ruf Amin, 4) KH Said Aqil Siroj, Â 5) Muhammad Mahfud Md, 6) Sudhamek, 7) Andreas Anangguru Yewangoe dan 8) Wisnu Bawa Tenaya. Sedangkan Ketua Badan ini adalah Yudi Latief. Kalau dicermati Ketua dan Anggota Dewan Pengarah ini jugalah yang duduk menjadi Dewan Pengarah ketika BPIP masih setingkat Unit Kerja yaitu Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila ( UKP-PIP) yang dibentuk Presiden Jokowi pada tahun 2017.
Sepanjang yang saya ketahui ketika UKP - PIP dibentuk tidak muncul reaksi penolakan yang kuat dari masyarakat. Malahan sebahagian komentar yang muncul menyatakan Unit Kerja Presiden ini dibutuhkan mengingat mulai terasa menurunnya penghayatan dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Memang pada masa itu terdengar juga komentar agar Unit Kerja itu tidak menjadi semacam BP7 dimasa Orde Baru.
Kita mengetahui BP7 dimasa Orde Baru merupakan lembaga yang memberi semacam indoktrinasi tentang Pancasila terhadap masyarakat. BP 7 Â juga dianggap sebagai instrumen untuk mempertahankan kekuasaan Suharto. Badan ini juga dianggap sebagai penafsir tunggal tentang Pancasila. Setelah terbentuknya UKP-PIP, Presiden merasa perlu untuk meningkatkan statusnya dari unit menjadi badan dan badan tersebut dinyatakan setingkat kementerian.
Berkaitan dengan peningkatan status nya yang demikianlah, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 seperti yang telah dikemukakannya sebelumnya. Tetapi kemudian peningkatan status ini menjadi heboh dan menimbulkan beragam reaksi dimasyarakat ketika diterbitkan Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2018 yang mengatur besaran gaji atau penerimaan Ketua dan Anggota Dewan Pengarah.
Di dalam Perpres itu dinyatakan penghasilan ketua Rp 112.548.000/bulan dan masing masing anggota Rp.100.118.000/bulan. Muncullah berbagai komentar mulai dari anggota DPR, tokoh masyarakat bahkan media maupun media sosial yang menyindir, mencemooh besaran gaji atau penghasilan yang demikian. Terdengarlah ucapan, kerjanya hanya ongkang ongkang  tetapi digaji seratus juta lebih. Mengemuka juga ungkapan dalam situasi sekarang ini sungguh tidak layak para tokoh itu digaji sedemikian besar.
Menanggapi berbagai kritik dan komentar negatif itu membuat Mahfud Md menanggapinya cukup keras juga. Mahfud antara lain menyebut sebuah parpol telah melahirkan dua koruptor besar sehubungan dengan adanya aktivis parpol itu yang membuat meme" Saya Pancasila, Saya Seratus Juta." Mahfud juga menyindir beberapa tokoh parpol dengan kalimat, Bapak ini dan Bapak itu juga tidak pernah mengembalikan uang yang diterimanya dari negara.
Sekarang ini yang saya lihat tidak hanya besaran gaji/penghasilan BPIP yang dipersoalkan tetapi sudah menyasar kepada kehadiran BPIP yang tidak diperlukan. Terhadap komentar dan pendapat yang demikianlah saya mencoba memberi pandangan. Bahwa penerimaan ketua dan anggota yang pada kisaran seratus juta lebih perbulan itu merupakan angka yang cukup besar.Â
Dana tersebut berasal dari APBN. Seratus juta lebih tentu jumlah yang sangat besar. Tetapi kalau kita mau fair melakukan kritik yang demikian selayaknya kritik juga lah mereka mereka yang juga menerima penghasilan dan sejumlah fasilitas dari dana negara. Sebutlah misalnya penerimaan yang diperoleh seorang anggota parlemen.
Mengutip data tahun 2014 berdasarkan pemberitaan palembang.tribunnews.com/ 4 oktober 2014 ,pada tahun 2014 gaji yang dibawa pulang ( take home pay ) seorang anggota DPR RI per bulan sudah berada pada angka Rp.58.693 juta / perbulan.Â
Angka ini adalah angka pada tahun 2014 ,sekarang saya tidak tahu persis berapa take home pay seorang anggota DPR RI. Tetapi sekedar gambaran untuk seorang anggota DPRD pada daerah daerah yang punya Penghasilan Asli Daerah yang cukup besar maka take home pay untuk seorang anggota DPRD sudah mencapai angka Rp.70 juta/perbulan. Logika sederhana menyatakan tentulah penghasilan per bulan seorang anggota DPR RI tentu diatas angka itu atau sekurang kurangnya sama.
Kembali kepada yang dinyatakan sebelumnya ,penghasilan per bulan ketua dan anggota dewan pengarah cukup besar dan karenanya dikritik tetapi besaran penerimaan anggota DPR RI maupun anggota DPRD tidak dikritik. Kalau mau fair tentu penghasilan yang demikian harus dikritik juga. Mungkin akan ada yang menyebut anggota legislatif itu kan cukup lelah memperjuangkan nasib rakyat karenanya mereka wajar diberi penghasilan yang besar.Â
Sedangkan ketua dan anggota BPIP kerjanya hanya " ongkang ongkang " saja. Tetapi muncul pertanyaan berikutnya ,benarkah anggota parlemen sudah sedemikian hebatnya memperjuangkan kepentingan rakyat sehingga mereka layak diberi penghasilan besar? Tentu masing masing kita lah yang dapat menjawab pertanyaan ini.
Kemudian terhadap pendapat yang menyatakan BPIP tidak diperlukan tentu hak setiap orang lah untuk berpendapat. Tetapi kalau saya melihat kehadiran badan ini perlu karena sudah lama kita merasakan semakin lunturnya nilai nilai Pancasila sekarang ini.
Dengan berbagai pendapat yang demikian saya jadi berpikir, apakah kritikan tentang besaran penghasilan BPIP itu murni karena besaran penghasilan mereka atau karena menganggap BPIP tidak diperlukan atau karena alasan lain.
Saya berpendapat ada kritik yang dimunculkan berkaitan dengan politik yang mulai memanas. Kita tahu bahwa yang duduk di Dewan Pengarah BPIP itu adalah tokoh tokoh yang juga punya pengaruh di masyarakat .Karenanya muncul kehawatiran tokoh tokoh ini sudah " digalang " Jokowi untuk meningkatkan elektabilitasnya pada pilpres.
Kalau benar ada kehawatiran yang demikian maka BPIP dan Dewan Pengarahnya diserang agar tokoh tokoh yang ada itu kehilangan kredibilitasnya di masyarakat.
Hal yang demikian dalam pandangan saya bisa saja terjadi.
Salam Pancasila!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H