Dari berbagai sumber diperoleh informasi,ketika Sudiro menjabat sebagai Walikota Jakarta maka muncullah keinginannya untuk menetapkan kapan hari jadi Jakarta.
Sudiro yakin bahwa penaklukan Sunda Kelapa oleh Fatahillah yang kala itu dikuasai oleh Portugis terjadi pada tahun 1527. Dengan penaklukan itu Sunda Kelapa diobah namanya menjadi Jayakarta. Walaupun Sudiro meyakini tahunnya tetapi ia butuh tanggal dan bulan yang tepat. Untuk itu ia mengundang beberapa sejarawan untuk membahas tentang tanggal dan bulan penaklukan itu.
Setelah mendapat masukan dari para sejarawan maka oleh Sudiro pada tahun 1965 ,ditetapkanlah Hari Jadi Jakarta pada 22 Juni 1527. Sejak saat itu lah hingga sekarang tanggal 22Juni diperingati sebagai Hari Jadi Jakarta.Â
Setahu saya hari jadi Jakarta diperingati secara meriah dengan menggelar berbagai acara besar di lapangan dilakukan sejak masa Gubernur Ali Sadikin.Â
Saat itu warga Jakarta tumpah ruah ke lapangan ditempat acara peringatan hari jadi itu dilaksanakan. Warga kota juga selalu menunggu nunggu untuk tibanya momen itu dan yang ditunggu itu adalah 22 Juni. Sampai sekarang Pemprov DKI juga masih menggelar berbagai acara peringatan hari jadi kotanya dan acara itu tetap digelar pada 22 Juni.
Dibenak warga kota dan dihati sebahagian warga di republik ini sangat paham bahwa hari jadi ibu kota negaranya adalah 22 Juni. Ditengah pemahaman yang demikian menjadi menarik untuk mengkritisi usulan Hidayat Nur Wahid ( HNW) tentang hari jadi Jakarta.Â
Kompas.com,26/5/2018, memberitakan adanya usul dari HNW agar Pemprov DKI menetapkan 22 Ramadhan sebagai hari kemerdekaan Jakarta. Hal itu diungkapkan HNW saat berceramah dalam tarawih akbar di Masjid Istiqlal pada Sabtu,26/5/2018.Â
Hidayat mengatakan, peringatan hari jadi Jakarta 22 Juni bagus saja dan itu sudah merupakan tradisi. Tapi kalau kemudian ummat Islam memperingati  karena ini dikaitkan dengan Al Qur'an diperingati juga tahun hijriahnya wajar atau tidak ? tanya Hidayat.
"Setuju kan Jakarta memperingati hari kelahirannya di tanggal 22 Ramadhan ?" tanya Hidayat kepada jamaah. Wakil Ketua Majelis Syuro PKS itu sebelumnya menceritakan makna Ramadhan bagi Indonesia.
Ia menyebut hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 jatuh pada 9 Ramadhan 1364 Hijriah. Kemudian hari lahir  akarta 22Juni 1527 juga jatuh pada bulan Ramadhan yakni 22Ramadhan 933 Hijriah. Kiranya ada beberapa hal yang perlu dikritisi berkaitan dengan usul HNW tentang Hari Jadi Jakarta.
Dilihat dari perspektif Islam tentu yang dikemukakannya  itu baik. Tetapi kalau hal itu diletakkan dalam konteks kebangsaan rasanya usulannya itu menjadi kurang tepat.
Negara ini dalam prakteknya sehari hari menggunakan kalender Masehi. Semua surat menyurat ,penyebutan hari hari besar nasional ,percakapan sehari hari ketika berkaitan dengan tanggal ,selalu menggunakan penanggalan Masehi.
Ummat Islam mengkaitkan dengan tahun hijriah apabila momen itu berhubungan dengan hari hari besar Islam. Ummat Islam akan menyebut Idul Fitri, 1 Syawal, Maulid Nabi,12 Rabiul Awal, turunnya Al Qur' an 17 Ramadhan, Hari Raya Haji ,10 Dzulhijjah, Isra' Mi'raj 27 Rajab. Pertanyaan yang muncul apakah perlu peringatan hari hari besar yang tidak berkaitan dengan Islam juga harus mengacu kepada Tahun Hijriah.
Dalam pandangan saya kalau hal yang demikian yang dilakukan tentu akan mempengaruhi rasa kesatuan kebangsaan kita. Kalau berbagai peristiwa heroik yang terjadi ditilik dari penanggalan hijriah maka hal yang demikian akan dapat menimbulkan friksi friksi dalam tubuh bangsa kita. Sebagai contoh misalnya bagaimana kalau nanti ada ummat Islam yang memperingati hari kemerdekaan kita pada 9 Ramadhan. Atau ada daerah daerah yang memperingati hari bersejarahnya dengan menggunakan penanggalan hijriah.
Hal yang demikian akan memunculkan sikap atau tindakan yang bisa memecah belah bangsa. Menyikapi hal yang demikianlah ,rasanya usulan Hidayat itu kurang tepat.
Apabila usulan yang sejenis itu terus berkembang dan melibatkan emosi keagamaan warga bangsa maka bukan tidak mungkin  hal yang demikian akan menantik persoalan baru dalam kehidupan kebangsaan kita. Perlu juga menjadi catatan kita, ada peristiwa nasional yang erat kaitannya dengan semangat keislaman justru tetap menggunakan penanggalan yang berlaku secara nasional.
Sebutlah misalnya Hari Santri Nasional yang diperingati pada 22 Oktober. Hari Santri Nasional ini mengacu kepada fatwa jihad melawan penjajahan Belanda yang diterbitkan oleh Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari, ulama karismatik, pendiri Nahdlatul Ulama.
Fatwa itu sendiri dikemukakan pada 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad itu sepanjang yang saya ketahui tanggal terbitnya tidak pernah dikaitkan dengan penanggalan hijriah. Begitu juga halnya hari lahir partai politik yang berbasis Islam di negeri ini secara umum masih mendasarkannya bukan pada penanggalan hijriah.
Berkaitan dengan hal hal yang diungkapkan tersebut maka kurang tepatlah usulan yang disampaikan  HNW itu.
Kita sangat berharap agar tokoh tokoh bangsa ini ikut memberi kontribusi besar dalam memperkokoh semangat kebangsaan kita.
Salam Persatuan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H