Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengkritisi Usulan Hidayat Nur Wahid agar 22 Ramadan Dinyatakan Hari Jadi Jakarta

27 Mei 2018   08:58 Diperbarui: 27 Mei 2018   10:10 942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: nasional.kompas.com

Negara ini dalam prakteknya sehari hari menggunakan kalender Masehi. Semua surat menyurat ,penyebutan hari hari besar nasional ,percakapan sehari hari ketika berkaitan dengan tanggal ,selalu menggunakan penanggalan Masehi.

Ummat Islam mengkaitkan dengan tahun hijriah apabila momen itu berhubungan dengan hari hari besar Islam. Ummat Islam akan menyebut Idul Fitri, 1 Syawal, Maulid Nabi,12 Rabiul Awal, turunnya Al Qur' an 17 Ramadhan, Hari Raya Haji ,10 Dzulhijjah, Isra' Mi'raj 27 Rajab. Pertanyaan yang muncul apakah perlu peringatan hari hari besar yang tidak berkaitan dengan Islam juga harus mengacu kepada Tahun Hijriah.

Dalam pandangan saya kalau hal yang demikian yang dilakukan tentu akan mempengaruhi rasa kesatuan kebangsaan kita. Kalau berbagai peristiwa heroik yang terjadi ditilik dari penanggalan hijriah maka hal yang demikian akan dapat menimbulkan friksi friksi dalam tubuh bangsa kita. Sebagai contoh misalnya bagaimana kalau nanti ada ummat Islam yang memperingati hari kemerdekaan kita pada 9 Ramadhan. Atau ada daerah daerah yang memperingati hari bersejarahnya dengan menggunakan penanggalan hijriah.

Hal yang demikian akan memunculkan sikap atau tindakan yang bisa memecah belah bangsa. Menyikapi hal yang demikianlah ,rasanya usulan Hidayat itu kurang tepat.

Apabila usulan yang sejenis itu terus berkembang dan melibatkan emosi keagamaan warga bangsa maka bukan tidak mungkin  hal yang demikian akan menantik persoalan baru dalam kehidupan kebangsaan kita. Perlu juga menjadi catatan kita, ada peristiwa nasional yang erat kaitannya dengan semangat keislaman justru tetap menggunakan penanggalan yang berlaku secara nasional.

Sebutlah misalnya Hari Santri Nasional yang diperingati pada 22 Oktober. Hari Santri Nasional ini mengacu kepada fatwa jihad melawan penjajahan Belanda yang diterbitkan oleh Hadratus Syeikh KH Hasyim Asy'ari, ulama karismatik, pendiri Nahdlatul Ulama.

Fatwa itu sendiri dikemukakan pada 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad itu sepanjang yang saya ketahui tanggal terbitnya tidak pernah dikaitkan dengan penanggalan hijriah. Begitu juga halnya hari lahir partai politik yang berbasis Islam di negeri ini secara umum masih mendasarkannya bukan pada penanggalan hijriah.
Berkaitan dengan hal hal yang diungkapkan tersebut maka kurang tepatlah usulan yang disampaikan  HNW itu.

Kita sangat berharap agar tokoh tokoh bangsa ini ikut memberi kontribusi besar dalam memperkokoh semangat kebangsaan kita.

Salam Persatuan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun