Dalam bahasa Batak Toba ,Inang berarti ibu.Masih ingat kan lagu " Inang' yang dengan merdunya lebih dari dua warsa lalu dinyanyikan penyanyi kondang Emilia Contessa".
Secara harfiah maka " inang inang" berati ibu- ibu.Tapi dalam kenyataannya " inang inang " menjadi di konotasikan sebagai ibu ibu yang berjualan terutama disekitar Pusat Pasar Medan atau yang juga sering disebut "Pajak Sentral".
Perlu diketahui untuk menyebut pasar dalam bahasa Medan sering disebut pajak sedangkan pasar sering berarti  jalan.Kalau disebut si X tinggal di pasar enam itu adalah nama jalan dan bukan nama pasar seperti yang kita pahami dalam Bahasa Indonesia.
" Inang Inang " yang berjualan disekitar Pusat Pasar Medan itu berada di seputaran Jalan Sutomo-Jalan Bali-Jalan Bulan dan Jalan Haryono MT .
Kalau ada ibu ibu yang berjualan di dalam toko tidaklah disebut sebagai inang inang.
Secara umum "inang inang" itu berjualan hasil bumi ,sayur sayuran antara lain tomat,cabe,kol ,kacang panjang dan berbagai jenis sayuran lainnya.
Mereka berjualan dipinggir  jalan bahkan kadang kadang sering  berjualan mengambil bahagian badan jalan.Karenanya juga mereka sering jadi sasaran petugas Satpol Pamong Praja Medan.
Sebenarnya bukanlah semua pedagang yang demikian berasal dari etnik Toba .Tetapi dari etnik manapun ia berasal pada umumnya disebut " inang inang". Memang banyak juga pedagang kecil itu disapa " Nande" ,terutama yang berasal dari Tanah Karo.
Tanah Karo adalah salah satu kabupaten penghasil sayur terbesar di Sumatera Utara. Ibu Kota Kabupaten Tanah Karo adalah Kaban Jahe sekitar 80 km dari Medan.Di Tanah Karo jugalah berada Kota Turis Berastagi ,sebuah kota wisata yang sejuk dan dingin.
Sekitar tiga tahun yang lalu pusat penjualan sayuran di Medan berada disekitar Pusat Pasar ,tepatnya di sepanjang jalan Sutomo .Tetapi sekarang sebahagian besar sayuran itu terlebih dahulu ditampung di Pasar Induk ,Kecamatan Medan Tuntungan dekat pintu masuk kota apabila kita datang dari arah Tanah Karo.
Ketika pusat penjualan sayuran masih di Jalan Sutomo dan juga sampai sekarang  ,merupakan pemandangan yang biasa pada sekitar pukul 3 pagi para ibu ibu itu diterangi lampu Stromking ( lampu berbahan bakar minyak tanah) sudah berada di Jalan Sutomo.Mereka dengan lincah turun dari mobil pick up dan kemudian menggelar dagangannya di sepanjang Jalan itu.
Para penjual sayuran lapisan kedua membeli sayuran dari mereka dan kemudian berjualan di seputaran Pusat Pasar itu.
Para " Inang Inang" yang berpakaiaian bersahaja itu dengan setia menunggu langganan atau pembeli di lapaknya yang ukurannya sekitar 1x2 meter .
Mereka kadang kadang duduk di kursi darurat yang terbuat dari kayu.Pada sekitar pukul 11 siang ketika panas matahari mulai menyengat ,mereka memasang payung payung yang sangat sederhana.
Para " Inang Inang " itu masih banyak juga yang mengunyah sirih  sehingga bibirnya kelihatannya memerah. Secara umum usia mereka berada pada umur 50 tahun.Banyak diantara mereka yang wajahnya kelihatannya mulai keriput karena setiap hari disengat sinar matahari.
Umumnya mereka berjualan pada lapaknya itu sampai lewat tengah hari.
Lalu dengan pakaian sederhana dan kadang kala terlihat lusuh itu adakalanya mereka sesama pedagang kecil itu sering juga ngobrol.
Tentu sudah dapat diduga yang mereka obrolkan berkaitan dengan harga tomat,kacang panjang ,cabe dan juga kol.
Tetapi kalau diperhatikan ada hal yang menarik tentang materi yang mereka obrolkan itu.Ternyata mereka sering berbicara tentang anak anaknya yang sedang kuliah.Tidak jarang berhamburan dari kata kata mereka nama beberapa perguruan tinggi terkemuka di negeri ini.
Ketika mendengar pembicaraan yang demikian akan menyembul rasa bangga dan haru dalam hati kita.
Mereka yang mulai pagi yang dingin sampai siang hari yang terik berada di lapaknya rupanya didorong oleh sebuah motivasi yang luar biasa : menyekolahkan anak anak.
Bertahun berada di lapak itu membuatnya " betah" karena untuk menyekolahkan anak anak yang dibanggakannya.
Memang untuk masyarakat Batak,pendidikan untuk anak anak adalah sesuatu yang sangat penting.Para orang tua rela berjuang dan berkorban agar bisa menyekolahkan anak anaknya.
Sikap masyarakat Batak yang mengutamakan sekolah anak anaknya itu dengan bagus didendangkan oleh Nahum Situmorang salah seorang komponis atau pencipta lagu lagu Batak yang legendaris.
Dalam lagunya yang berjudul " Anak kon ki do hamora on di au" yang arti bebasnya ,anakkulah yang paling berharga untukku itu ia menyatakan walaupun ia tidak punya jam tangan ,tidak punya berlian tapi dia tidak risau asalkan anaknya " ikkon do sikola satimbo timbo na ,sittap na lobas gogokki". Dia tidak risau tidak punya jam tangan asalkan anaknya bisa sekolah setinggi tingginya.
Virus semangat untuk menyekolahkan anak anak yang demikian itu jugalah yang masuk ke tulang sumsum " inang inang " itu. Para " inang inang " itu ,diatas lapak yang didera matahari itu tidak akan menyerah ,terus berjuang untuk menyekolahkan anak anaknya.
Hari ini 21 April,pada Hari Kartini ini bangsa kita akan merayakannya dengan berbagai cara .Dapat dipastikan sebahagian perayaan itu dilaksanakan di ruang sejuk ber Ac.
Tapi hari ini ,para " inang inang " itu tetap berada di lapaknya ,dalam sengatan matahari. Mereka juga telah memberi arti dan mungkin juga bercerita kepada kita bahwa mereka adalah juga bahagian dari potret perempuan Indonesia yang tangguh.
Selamat memperingati Hari Kartini.
Salam Persatuan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H