Pertama sekali kepala daerah dan wakilnya dipilih secara langsung oleh rakyat ialah tahun 2005. Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan produk reformasi. Sebelumnya sepanjang sejarah republik ini kepala daerah atau wakilnya dipilih oleh DPRD atau lembaga perwakilan rakyat daerah dengan nama lain.
Seingat saya pemilihan kepala daerah oleh DPRD pada era reformasi pernah dilakukan satu kali pada setiap daerah. Catatan apa yang muncul ketika pemilihan itu dilakukan oleh DPRD?
Kuat dugaan pada beberapa daerah terjadinya proses suap dalam pemilihan itu.Tidak jarang terdengar berita, entah hoax atau benar yang menyatakan seorang anggota dewan menerima x juta rupiah karena telah memberiksn suaranya kepada seorang calon. Malahan muncul cerita cerita yang menyebut ada anggota dewan yang " kaki  tiga ".Maksudnya anggota dewan itu menerima sejumlah uang dari masing masing 3 calon kepala daerah.
Menyebar juga cerita ada calon kepala daerah yang kalah dalam pemilihan, meminta kembali uang yang telah diberikannya kepada anggota dewan.
Terbetik juga kabar di beberapa daerah anggota dewan yang telah tergalang oleh calon kepala daerah tertentu pada malam pemilihan dikumpulkan atau juga disebut "di pool kan" atau juga "di kerangkeng" di satu tempat .Pagi hari pada hari pemilihan, anggota dewan yang telah "di pool kan" itu berangkat bersama sama menuju gedung dewan untuk melaksanakan rapat paripurna pemilihan kepala daerah.
Alasan utama untuk mengumpulkan anggota dewan yang telah tergalang itu di satu tempat dengan maksud agar tidak " masuk angin" agar ia tidak digarap atau digalang oleh calon kepala daerah yang lain.
Pada saat pemilihan pada rapat paripurna dewan, masing masing anggota dewan dipanggil satu persatu memasuki bilik suara yang telah disiapkan dan didalam bilik itulah anggota dewan mencoblos pilihannya.
Ketika menentukan pilihan itulah muncul pertanyaan. Anggota dewan menentukan pilihannya itu atas dasar apa. Apakah karena garis partai atau karena menangkap aspirasi masyarakat atau karena sejumlah uang yang telah diterimanya.
Dari beberapa informasi yang muncul diperoleh kabar banyak anggota dewan yang menjatuhkan pilihannya kepada satu calon karena ia telah menerima sejumlah uang. Bisa juga pilihannya itu karena garis partai tetapi tetap dibarengi uang.
Terungkapnya berbagai kasus yang demikian memunculkan rasa muak masyarakat kepada anggota dewan sehingga mulai muncullah aspirasi agar kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Disisi lain terjadi pula amandemen terhadap UUD 45 yang menyatakan presiden dan wakil presiden dipilih langsung oleh rakyat. Sebelumnya presiden dan wakil presiden itu dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat( MPR).
Pertama kali kita melaksanakan pilpres secara langsung ialah tahun 2004. Dengan dillaksanakannya  pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung maka semakin kuatlah keinginan agar kepala daerah dan wakilnya juga dipilih secara langsung.
Keinginan terselenggaranya pemilihan secara langsung itu didorong oleh keinginan luhur untuk menempatkan suara rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan.
Dinyatakan pada waktu itu, sedangkan pilpres saja pun sudah dilaksanakan secara langsung, konon lagi pemilihan kepala daerah. Dengan argumentasi argumentasi yang demikianlah maka tahun 2005 diadakanlah pemilihan secara langsung kepala daerah dan wakilnya di sejumlah daerah.Setelah beberapa kali pilkada  langsung dilaksanakan ,mulai juga terlihat kelemahan kelemahannya.
Dalam memberikan suara sering para pemilih diiming imingi,dijanjikan bahkan sudah diberi uang atau sembako. Perilaku seperti ini tentu merusak mental masyarakat. Bisa terjadi rakyat memilih pasangan calon bukan lagi karena ketokohan atau karena visi misi dan program kerja yang ditawarkan tetapi lebih dititik beratkan berapa uang yang akan diterimanya.
Berlakulah yang disebut " NPWP", nomor pino wani piro". Sadar atau tidak dengan praktik demokrasi yang demikian mental masyarakat telah dirusak oleh para pemberi uang.
Akhirnya sering terjadi pemenang pilkada itu bukanlah putra terbaik tetapi mereka yang memberikan uang kepada pemilih. Hal ini lah yang sering disebut sebagai money politics. Kerusakan mental masyarakat akibat pilkada langsung merupakan kerugian besar yang dialami bangsa ini.
Di beberapa daerah terlihat partisipasi pemilih rendah dan setelah diselidiki salah satu penyebabnya karena tidak ada pasangan calon yang mengucurkan uang ke pemilih di daerah itu.
Hal lain yang terlihat sebagai ekses pilkada langsung ialah sering terjadi pembelahan yang tajam di masyarakat oleh karena perbedaan pilihan pada pilkada. Pembelahan terjadi semakin tajam apabila ditiup tiupkan dalam kampanye hal hal yang berkaitan dengan suku dan agama.
Salah satu contoh yang aktual ialah pilgub DKI 2017. Pilgub tersebut rasanya masih menyisakan sesuatu dalam kehidupan berbangsa di negeri ini.
Ekses lainnya yang muncul ialah adanya pembiayaan sangat besar dari masing masing calon yakni untuk biaya kampanye, biaya saksi, cetak spanduk,cetak baliho .Biaya masing masing calon itu harus ditambah lagi dengan uang pemberian kepada pemilih.
Berkaitan dengan hal tersebut dibutuhkan dana pada kisaran Rp.50 Miliar selama pertarungan demokrasi itu berlangsung. Tentulah biaya yang demikian cukup besar. Untuk mengembalikan "modal" selama pilkada maka dilakukanlah berbagai cara seperti menggerogoti APBD, memperdagangkan jabatan yang kesemuanya bermuara kesatu kata, korupsi. Dengan mencermati ekses yang timbul maka belakangan ini muncul lagi wacana agar pemilihan kepala daerah itu dikembalikan ke DPRD.
Ketika Bambang Susatyo ,Ketua DPR RI melempar ke publik tentang hal ini terlihat munculnya reaksi penolakan dari masyarakat.Mungkin karena ia seorang politisi maka muncul penolakan masyarakat.
Tetapi baru baru ini ,Mahfud Md,seorang ahli hukum tata negara ,mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ,seorang tokoh yang dikenal punya integritas tinggi ,juga mengemukakan agar  pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD.
CNN Indonesia,9/4/2018 memberitakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud Md setuju dengan mekanisme pemilihan kepala daerah dipilih oleh DPRD.Menurutnya mekanisme pemilihan langsung memiliki banyak kerugian.
Menurut Mahfud Md kerugian yang terjadi dalam mekanisme pilihan langsung antara lain,1).korupsi anggaran daerah, 2).penyuapan penyelenggara pemilu, 3).pemalsuan dokumen, 4).mobilisasi massa, 5).pemecatan aparatur yang tidak sejalan dengan kepala daerah terpilih. Mahfud menambahkan jika hal itu terus berlangsung ,ia khawatir akan semakin memberi dampak negatif terhadap situasi bangsa ke depan.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu juga mengungkapkan bahwa penolakan pemilihan kepala daerah oleh DPRD pada tahun 2014 diwarnai oleh kerasnya pertentangan antara Koalisi Merah Putih dengan Koalisi Indonesia Hebat yang menyebabkan Presiden SBY menerbitkan Perppu yang menyatakan pemilihan kepala daerah tetap dilaksanakan secara langsung.
Sekarang kata Mahfud,kita sudah jernih berpikir ,tidak ada lagi koalisi koalisian.
Tentu hal ini juga merupakan renungan untuk kita terutama untuk mencegah semakin rusaknya mental masyarakat sebagai ekses pilkada langsung.
Salam Demokrasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H