Keinginan terselenggaranya pemilihan secara langsung itu didorong oleh keinginan luhur untuk menempatkan suara rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan.
Dinyatakan pada waktu itu, sedangkan pilpres saja pun sudah dilaksanakan secara langsung, konon lagi pemilihan kepala daerah. Dengan argumentasi argumentasi yang demikianlah maka tahun 2005 diadakanlah pemilihan secara langsung kepala daerah dan wakilnya di sejumlah daerah.Setelah beberapa kali pilkada  langsung dilaksanakan ,mulai juga terlihat kelemahan kelemahannya.
Dalam memberikan suara sering para pemilih diiming imingi,dijanjikan bahkan sudah diberi uang atau sembako. Perilaku seperti ini tentu merusak mental masyarakat. Bisa terjadi rakyat memilih pasangan calon bukan lagi karena ketokohan atau karena visi misi dan program kerja yang ditawarkan tetapi lebih dititik beratkan berapa uang yang akan diterimanya.
Berlakulah yang disebut " NPWP", nomor pino wani piro". Sadar atau tidak dengan praktik demokrasi yang demikian mental masyarakat telah dirusak oleh para pemberi uang.
Akhirnya sering terjadi pemenang pilkada itu bukanlah putra terbaik tetapi mereka yang memberikan uang kepada pemilih. Hal ini lah yang sering disebut sebagai money politics. Kerusakan mental masyarakat akibat pilkada langsung merupakan kerugian besar yang dialami bangsa ini.
Di beberapa daerah terlihat partisipasi pemilih rendah dan setelah diselidiki salah satu penyebabnya karena tidak ada pasangan calon yang mengucurkan uang ke pemilih di daerah itu.
Hal lain yang terlihat sebagai ekses pilkada langsung ialah sering terjadi pembelahan yang tajam di masyarakat oleh karena perbedaan pilihan pada pilkada. Pembelahan terjadi semakin tajam apabila ditiup tiupkan dalam kampanye hal hal yang berkaitan dengan suku dan agama.
Salah satu contoh yang aktual ialah pilgub DKI 2017. Pilgub tersebut rasanya masih menyisakan sesuatu dalam kehidupan berbangsa di negeri ini.
Ekses lainnya yang muncul ialah adanya pembiayaan sangat besar dari masing masing calon yakni untuk biaya kampanye, biaya saksi, cetak spanduk,cetak baliho .Biaya masing masing calon itu harus ditambah lagi dengan uang pemberian kepada pemilih.
Berkaitan dengan hal tersebut dibutuhkan dana pada kisaran Rp.50 Miliar selama pertarungan demokrasi itu berlangsung. Tentulah biaya yang demikian cukup besar. Untuk mengembalikan "modal" selama pilkada maka dilakukanlah berbagai cara seperti menggerogoti APBD, memperdagangkan jabatan yang kesemuanya bermuara kesatu kata, korupsi. Dengan mencermati ekses yang timbul maka belakangan ini muncul lagi wacana agar pemilihan kepala daerah itu dikembalikan ke DPRD.
Ketika Bambang Susatyo ,Ketua DPR RI melempar ke publik tentang hal ini terlihat munculnya reaksi penolakan dari masyarakat.Mungkin karena ia seorang politisi maka muncul penolakan masyarakat.
Tetapi baru baru ini ,Mahfud Md,seorang ahli hukum tata negara ,mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ,seorang tokoh yang dikenal punya integritas tinggi ,juga mengemukakan agar  pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD.