Pemilukada tahun 2018 ini akan diselenggarakan di 171 daerah yang terdiri dari provinsi,kabupaten dan kota.
Merupakan hal yang lumrah pada masa kampanye yang sedang berlangsung ini masing masing pasangan calon ( paslon) dan tim kampanyenya akan meningkatkan sosialisasi ke masyarakat.
Masing masing paslon dan tim nya akan mengekspose keunggulan keunggulan jagoannya dan secara halus atau kasar adakalanya melukiskan lawannya sebagai sosok yang kurang dan bahkan tidak mampu untuk memimpin daerah yang diperebutkan.
Komisi Pemilihan Umum juga mengatur jadwal kampanye termasuk untuk beberapa daerah akan diselenggarakan debat antar  kandidat yang akan disiarkan langsung oleh beberapa stasiun televisi.
Media tv,surat kabar,radio maupun medsos juga akan memanfaatkan momentum kampanye ini untuk meningkatkan " rating  " calon yang diunggulkannya.
Malahan beberapa stasiun tv juga akan mengundang semua paslon untuk diwawancarai dengan tujuan agar masyarakat lebih mengenal sosok yang akan bertarung pada pilkada.Tetapi tidak jarang juga terjadi ada media termasuk tv yang sebenarnya juga punya misi khusus untuk memenangkan paslon tertentu.
Kalau yang diwawancarai, paslon yang akan dimenangkan oleh media tersebut maka akan digali potensi kelebihannya dan pertanyaan pewawancara tidak diarahkan kepada hal hal yang menyulitkan paslon untuk menjawabnya.Begitu juga sebaliknya ,apabila yang diwawancarai paslon yang tidak didukung media tv tersebut maka pertanyaan yang akan diajukan justru bisa " mematikan" karena tidak akan bisa dijawab oleh yang diwawancarai atau sekurang kurangnya paslon akan berada pada posisi tersudut.
Karenanya kepada seluruh paslon yang akan diwawancarai media terutama oleh media tv yang akan disiarkan secara langsung disarankan agar hati hati menghadapi pewawancara.
Sangat bijaksana bila dipelajari dulu preferensi politik tv atau pewawancara tersebut.Dengan memahami hal tersebut maka paslon akan lebih siap menjawab semua pertanyaan yang akan disampaikan.
Perlu diingat adakalanya pertanyaan yang dilontarkan seperti betul tetapi nyatanya tidak selalu benar.
Ketika menjelang pilgub DKI 2016 putaran pertama ,Agus Harimumurthi Yudoyono ( AHY) diundang sebagai pihak yang diwawancarai pada acara Mata Najwa.
Kita tentu sudah sangat paham bagaimana Najwa Shihab ,pewawancara yang cantik dan cerdas itu mampu melontarkan pertanyaan pertanyaan yang sering membuat yang diwawancarai tersudut.
Demikianlah dalam wawancara itu ,Mbak Nana panggilan akrab Najwa,melontarkan pertanyaan kepada AHY.
Inti pertanyaannya kira kira berbunyi,sewaktu aktip sebagai perwira TNI berapa banyakkah personil yang berada dalam pimpinan AHY.
AHY dengan cepat dapat membaca kemana arah pertanyaan Najwa.Lalu Agus mengatakan ,maksudnya  ingin membandingkan berapa banyak personil yang pernah saya pimpin dan dengan mengetahui hal tersebut ingin melihat apakah saya akan dapat memimpin DKI yang punya penduduk lebih dari 10 juta jiwa.
Memang pertanyaan Najwa ini sepertinya mengena ,karena Agus yang pangkat terakhirnya di TNI adalah Mayor ,paling banter pernah memimpin personil 1.000 orang.Jabatan terakhir nya adalah Komandan Batalion Aria Kemuning dan personil batalion tidak sampai seribu orang.
Pertanyaan yang diajukan ke AHY itu seolah olah ingin membuat perbandingan jumlah manusia yang pernah dipimpinnya dibandingkan dengan penduduk Jakarta yang akan dipimpinnya apabila AHY menang.Artinya jumlah  manusia yang pernah dipimpin AHY seperti tidak ada artinya jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Ibukota.
Tetapi membandingkan hal yang demikian tidak akan selalu benar.
Ambil contoh yang dapat dijadikan bandingan.
Andainya tahun 2012, ditanyakan kepada Jokowi berapa banyak penduduk yang dipimpinnya selaku Walikota Solo, lalu dibandingkan dengan jumlah penduduk DKI yang dipimpin Fauzi Bowo sebagai Gubernur pada masa itu,tentu penduduk Solo jauh lebih kecil dibandingkan penduduk DKI.
Sekedar gambaran ,sekarang ini penduduk Kota Solo berada pada kisaran 600 ribu.
Tetapi nyatanya besaran jumlah penduduk yang dipimpin Jokowi selaku Walikota itu tidak menjadi ganjalan bagi pemilih DKI untuk memilihnya karena Fauzi Bowo dikalahkan oleh duet Jokowi-Ahok.
Karenanya bukan tidak mungkin pada wawancara dengan media akan muncul pertanyaan yang sepertinya betul tetapi tidak selau benar.
Hal hal yang diutarakan diatas hanyalah sebagai bahan untuk anda yang akan maju pada pilkada.
Salam Demokrasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H