Rapat Paripurna DPR RI pada 12 Pebruari 2018 telah mengesahkan Undang Undang Tentang MPR,DPR ,DPD,DPRD yang dikenal sebagai UU MD3. Sejatinya UU yang baru disahkan ini merupakan revisi UU MD3 yaitu UU Nomor 17 Tahun 2014, Seperti diketahui sejalan dengan konstitusi kita ,pembahasan dan pengesahan Undang Undang selalu menyangkut dua pihak yaitu Pemerintah ( Ekseskutif) dan DPR RI ( Legislatif).
Sejak pembahasannya sampai kepada pengesahannya ,UU MD3 sangat banyak mendapat reaksi dari masyarakat. Kalau ditelisik semua komentar itu bermuatan kepada satu hal: beberapa pasal pada undang undang itu dirasakan kurang pantas dan kurang layak karena tidak sesuai dengan semangat demokrasi.
Pasal pasal yang dikritik itu antara lain:
1).Pasal 122 huruf k yang berbunyi Majelis Kehormatan Dewan ( MKD) bertugas mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap orang perseorangan ,kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Terhadap pasal ini muncul reaksi publik karena dengan dalih " merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR"maka setiap kritikan kepada Senayan dan anggotanya akan selalu dibayang bayangi tuduhan merendahkan dewan dan anggotanya.
Keadaan ini akan memunculkan suasana " tumpul kritik" terhadap lembaga dan anggota yang seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat. Sangat tipis beda antara kritik dan anggapan bahwa kritik itu merendahkan kehormatan dewan. Dengan dicantumkannya pasal ini akan mempertegas sikap Senayan yang tidak akan mau dikritik oleh masyarakat.
2).Pasal 73
Dalam klausul pasal ini ,ditambahkan frase " wajib" bagi polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR namun enggan datang.
Frase" wajib" ini ditambahkan pada pasal 73 yang sudah tercantum dalam UU Nomor 17 Tahun 2014.
Berkaitan dengan hal ini kita masih ingat ketika Pimpinan KPK tidak berkenan datang memenuhi panggilan Pansus Hak Angket KPK.Untuk kedepan hal seperti ini tidak akan terjadi lagi karena polisi sudah " wajib" untuk memanggil paksa.
3).Pasal 245
Pasal ini berisi ketentuan bahwa pemeriksaan anggota DPR harus dipertimbangkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) terlebih dahulu sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian ijin bagi aparat penegak hukum. (Disarikan dari Kompas.com ,13/2/2018)
Seperti diketahui pada Rapat Paripurna DPR RI tentang pengesahan UU MD 3 itu ,8 fraksi menyatakan setuju sedangkan 2 fraksi walk out atau meninggalkan sidang.
8 fraksi yang setuju itu ialah : 1).PDI Perjuangan,2).Partai Golkar,3).Partai Demokrat,4).Partai Hanura,5).Partai Gerindra,6).Partai Keadilan Sejahtera,7).Partai Amanat Nasional dan 8).Partai Kebangkitan Bangsa. Sedangkan fraksi yang walk out adalah,1).Partai Nasdem dan 2).Partai Persatuan Pembangunan.
Dari sisi konfigurasi kekuatan politik di DPR terlihat bahwa Gerindra,PKS dan PAN yang kerap dianggap berseberangan dengan kebijakan partai pendukung pemerintah juga menyatakan persetujuannya terhadap undang undang ini.Malahan justru Nasdem dan PPP yang dianggap partai pendukung pemerintah lah yang meninggalkan sidang ( walk out).
Dari sisi konfigurasi politik maka UU MD3 mendapat dukungan politik yang cukup kuat di DPR RI. Selanjutnya seperti yang ditangkap dari pemberitaan media,juga tidak terlihat adanya perbedaan yang krusial antara pemerintah dan dewan ketika membahas pasal demi pasal revisi UU Nomor 17 Tahun 2014 ini. Namun sesudah DPR menyetujui UU tersebut muncul perkembangan baru berkaitan dengan sikap Pemerintah.
Dikabarkan Presiden Jokowi tidak akan menanda tangani UU dimaksud. Walaupun Presiden tidak menandatanganinya tetapi sesuai ketentuan ,sesudah 30 hari pengesahan oleh DPR maka otomatis MD3 akan menjadi Undang Undang.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan ,kemungkinan Presiden tidak akan menandatangani UU tersebut karena tidak setuju dengan beberapa pasal yang banyak dikritik publik seperti immunitas anggota DPR. Yasonna Laoly juga menyatakan bahwa selama ini ia belum melaporkan dinamika yang terjadi di DPR berkaitan dengan pembahasan RUU MD3. Yasonna baru melaporkan hal tersebut kepada Presiden pada tanggal 20 Pebruari 2018 .Hal itu berarti Presiden mendapat laporan sesudah 8 hari UU MD3 disahkan DPR.
Kalau demikian halnya mengemuka pertanyaan selanjutnya. Bagaimana sebenarnya tata cara pengambilan keputusan pada Kabinet Kerja Jokowi.Apakah ada rincian wewenang hal hal apa saja yang harus dimintakan persetujuan Presiden dan hal hal apa saja yang tingkat pengambilan keputusannya cukup pada level menteri. Apakah beberapa materi UU MD3 yang banyak menuai kritik itu tidak perlu dilaporkan kepada Presiden?
Dari penjelasan Yasonna muncul kesan bahwa sikap pemerintah yang menerima dan menyetujui UU MD3 adalah keputusan pada level menteri dan bukan keputusan kepala pemerintahan. Kemudian muncul lagi pertanyaan berikutnya.Walaupun ketika Yasonna belum melaporkan kepada Presiden tentang dinamika pembahasan UU MD 3 ,apakah Presiden tidak punya saluran resmi lainnya untuk mengikuti perkembangan yang terjadi.
Rasanya tidak mungkin presiden tidak punya saluran lain untuk memantau dan memperoleh informasi yang berkembang. Jika demikian halnya apakah Jokowi " segan" memberi arahan kepada Yasonna berkaitan dengan materi krusial yang ada pada RUU MD 3 mengingat hal hal tersebut datang atau sudah disetujui partai besar pendukung Jokowi seperti PDIP dan Golkar.
Berkaitan dengan proses selanjutnya tentang UU MD3 itu,Yasonna mengatakan Presiden tidak akan menerbitkan Perppu untuk mengobah beberapa pasal yang dikritik masyarakat tersebut .Presiden juga tidak akan melakukan pertemuan dengan pimpinan dewan untuk membicarakan revisi terbatas terhadap beberapa pasal UU MD3.
Malahan Yasonna mendorong masyarakat yang tidak setuju terhadap undang undang tersebut untuk melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.
Dengan hal yang demikian tentulah menyisakan tanda tanya mengapa terkesan pemerintah bersikap mendua terhadap UU MD3.
Salam Demokrasi!