Kita semua tentu sepakat bahwa warga bangsa ini bukanlah orang orang bodoh tetapi bahkan banyak diantaranya yang jenius dan punya pemikiran cemerlang. Karenanya yang sering menjadi masalah bagi kita adalah bagaimana menemukan "mutiara mutiara" itu,kemudian bagaimana mengoptimalkan potensi yang dimilikinya.
Menemukan " mutiara mutiara" itu tentu bukanlah hal yang mudah. Adakalanya mereka berada di desa desa ,di kampung kampung terpencil dan karena keterasingan nya itu potensi intelektualnya menjadi mandeg bahkan ada yang tidak diketahui sama sekali.
Kita teringat Prof Andi Hakim Nasution yang pernah menjabat sebagai Rektor Institut Pertanian Bogor ( IPB).
Puluhan tahun yang lalu Andi Hakim menyadari kalau dengan testing penerimaan biasa untuk masuk ke IPB maka akan  banyak " mutiara mutiara " yang tidak akan terjaring. Para mutiara itu akan kalah bersaing dengan lulusan SLTA yang berada di kota kota besar.
Mereka kalah bersaing bukan karena mereka lebih bodoh tetapi karena keterbatasan aksesnya terhadap,ilmu pengetahuan.
Sebutlah misalnya ketersediaan buku buku pada masa itu. Dapat dipastikan lebih banyak akses siswa di perkotaan kepada bahan bacaan bermutu dibandingkan dengan mereka yang tinggal di kota kota kecil.
Dengan pemahaman yang demikian maka Andi Hakim mengenalkan konsep penjaringan untuk masuk ke IPB yang dikenal dengan program pemanduan bakat .
Dan ternyata memang dengan program ini banyak sekali anak bangsa yang diterima di IPB. Hasilnya memuaskan ,karena ketika sama sama sudah berada di Bogor, "anak anak desa" itu mampu bersaing secara akademik dengan tamatan SLTA perkotaan. Berikutnya tentang hal yang kedua bagaimana kita mampu merawat bahkan mengoptimalkan potensi para mutiara itu.
Berkaitan dengan hal tersebut layaklah kita mencermati perjalanan seorang remaja bangsa ,Chistopher Farrel Milkenio Kesuma yang berasal dari Yogjakarta.
Saya tidak tahu apakah Anda pernah mendengar atau mengetahui tentang nama ini.Kalau saya jujur saya akui baru sekarang inilah, anak remaja usia 17 tahun ini saya dengar namanya. Saya tertarik mengikuti perjalanan hidupnya ketika Kompas.com ,23/11/2017 memberitakannya.
Kompas.com menuturkan bahwa remaja ini ,penelitiannya pernah 11 kali ditolak di negerinya sendiri tetapi kemudian ia diundang Google. Mendengar kata "diundang Google" aja sudah menumbuhkan rasa bangga karena siapakah sekarang ini diantara kita yang tidak mengenal kata bertuah " Google". Farrel diminta oleh Google untuk memaparkan hasil penelitiannya.
Ide penelitian yang mengantarkannya ke Google ini berawal dari hal sepele.Farrel ingin mengunduh sebuah game namun kuota data yang dimilikinya terbatas. Waktu itu Farrel masih duduk dibangku kelas satu SMA.
Karena keterbatasan data yang dimilikinya lalu dia berpikir bagaimana caranya mengecilkan game itu hingga dia bisa bermain dengan sepuas puasnya.
Setelah satu setengah tahun ,remaja kelahiran Jogyakarta 1 Januari 2000 ini berhasil menciptakan penelitian yang diberi judul " Data Compression Using EG and Neural Network Algorithm for Losses Data".
Saya tidak ahli dibidang yang diteliti oleh Farrel ini tetapi saya berkesimpulan bahwa ia dapat mengecilkan atau memampatkan game sehingga kuota internet yang dibutuhkan menjadi lebih kecil.
Hasil penelitiannya itu lalu diajukan ke ajang kompetisi di Indonesia baik regional maupun nasional. Tapi upayanya itu tidak membuahkan hasil .Diajukan sejak tahun 2016, proposal penelitian Farrel selalu ditolak." Ya kalau dihitung sampai 11 kali tidak diterima " ujarnya.
Belasan kali gagal tidak membuat siswa SMA Negeri 8 Yogjakarta ini menyerah. Malahan anak dari pasangan Monovan Sakti Jaya Kusuma dan Hening Budi Prabawati ini terus memompa semangat dirinya. "Thomas Alva Edison 1.000 kali gagal ,mosok saya baru 11 kali gagal udah menyerah", ujarnya.
Pada suatu hari Farrel melihat sebuah pengumuman dari Google di media on line. Lalu ia mengajukan proposal ke perusahaan teknologi tingkat dunia itu. Dengan berbagai liku liku perjuangan maka pada 15-20 Pebruari 2017 ia mengikuti wawancara di kantor Google Mountain View, California Amerika Serikat.
Bisa berada di kantor Google dan kemudian mengikuti interview atau wawancara tentulah sebuah prestasi dan kebanggaan.
Kita yakini di negeri ini banyak remaja bangsa seperti Farrel tetapi mereka tidak kita temukan dan juga mereka tidak punya akses untuk ditemukan.
Mungkin perusahaan BUMN melalui Coorporate Social Responsibility (CSR) nya perlu diwajibkan untuk menemukan remaja remaja yang punya bakat luar biasa seperti Farrel.Dengan menjadikannya sebagai kewajiban diharapkan mutiara mutiara lainnya semakin banyak ditemukan yang kesemuanya bermuara untuk memajukan negeri ini.
Salam Persatuan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H