Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Mulak Tu Huta" Mudik, dalam Perspektif Kultur dan Psikologis

25 Juni 2017   08:56 Diperbarui: 25 Juni 2017   18:55 1392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mudik lebaran. Kompas Otomotif

Banyak hal yang menarik untuk diperhatikan berkaitan dengan mudik terutama yang berada di Pulau Jawa. Selalu muncul sequel kemanusiaan, keterharuan bahkan semacam drama perjuangan untuk bisa pulang ke kampung halaman.

Banyak alasan orang untuk mudik dan karena sejemput alasan itulah mereka seperti rela berdesak desakan, rela mengikuti antrian panjang apakah di stasiun kereta api, naik atau turun di kapal, di penyeberangan ferry di Bakahuni, macet di jalan tol dan berbagai hal lainnya yang kesemuanya itu tidak mengurangi tekadnya untuk satu tujuan: lebaran di kampung halaman.

Dari sisi manajemen transportasi juga menarik untuk mengamati bagaimana di negara yang berpenduduk sekitar 250 juta jiwa ini pada setiap lebaran sekitar 19 juta warganya bergerak menuju ke tujuan masing masing dan pergerakan itu hanya pada sekitar empat hari sebelum lebaran sewaktu dan sekitar tiga hari waktu pulang ke rumah masing masing.

Sembilan juta orang bukanlah jumlah yang sedikit karena jumlah itu hampir empat kali jumlah penduduk negara Singapura dan dua pertiga penduduk Malaysia. Karenanya sangat wajar muncul banyak keluhan berkaitan dengan manajemen transportasi mudik ini. Mudik dalam Bahasa Mandailing disebut Mulak Tu Huta atau terjemahan bebasnya pulang ke kampung. Orang-orang Mandailing yang ada di Medan dan juga di Jakarta mengenal dengan baik istilah ini dan kemudian juga menjadi tradisi pulang kampung untuk berlebaran disana.

Saya sering bertanya kepada mereka kenapa harus mudik pada lebaran sedangkan sebahagian dari mereka tinggal di kota Metropolitan Jakarta. Pertanyaan ini muncul karena dalam pikiran saya berlebaran di Jakarta atau Medan tentu tidak kurang asyiknya mengingat di kota itu banyak fasilitas yang bisa dinikmati sebutlah misalnya untuk Jakarta seperti Ancol, Kebun Binatang, Taman Mini Indonesia Indah .

Di Medan juga banyak tempat yang bisa dikunjungi untuk menikmati kemeriahan lebaran. Terhadap mereka yang saya tanya itu umumnya punya jawaban yang seragam: lebaran di kampung halaman punya kenikmatan tersendiri. Satu hari sebelum lebaran ,di Mandailing ada tradisi memasak lemang sehingga hari itu disebut " Sadari Mangalomang" (hari memasak lemang).

Pada hari itu pada setiap rumah atau beberapa keluarga kongsi untuk memasak lemang.Pulut dan santan dimasukkan ke dalam bambu kemudian bambu bambu itu dijejerkan di depan rumah pada tiang melintang yang telah disediakan. Api dinyalakan yang perlahan mulai memanaskan bambu bambu itu. Sambil mengobrol tidak terasa sekitar lima jam pulut bercampur santan itu telah masak dan kemudian disebut lemang. Lemang yang dimasak pada bambu terasa lebih harum dan cita rasanya pun terasa sangat lezat.

Begitu buka terakhir pada bulan Ramadan alangkah nikmatnya lemang itu dimakan bersama rendang. Sesudah buka puasa, berangkat ke masjid untuk kemudian malam itu bersama sama warga kampung mengumandangkan takbir. Pagi hari sebelum sholat subuh sebahagian besar pergi mandi ke sungai atau pancuran yang ada di kampung itu.Sambil mandi terjadi saling sapa, bercanda dan bersenda gurau dengan penduduk kampung yang umurnya mungkin sebaya, teman lama, teman bermain dulu.

Sebelum berangkat sholat Id ke masjid semua keluarga kumpul, ada sebuah acara sederhana berupa sambutan singkat yang isinya saling minta maaf terhadap berbagai kesalahan. Suasana terasa semakin syahdu dan asyik ketika ketemu warga kampung di masjid untuk menunaikan sholat Id. Masjid di kampung tidak terlalu besar mungkin hanya mampu menampung jemaah sekitar 500 orang karenanya interaksi komunikasi di masjid itu terasa sangat intim dan bersahabat.

Selesai sholat, secara berombongan singgah ber-hari raya ke tempat keluarga keluarga dekat dan disetiap rumah harus makan sehingga satu hari raya itu bisa enam sampai tujuh kali makan. Pada malam harinya di beberapa kampung diadakan acara "margondang" yaitu menabuh gendang tradisional dan acara seperti ini semakin menarik bagi mereka yang datang dari perantauan.Pagelaran kultural yang demikian tentu merupakan sajian kesenian khusus terutama bagi para remaja yang datang dari Jakarta atau dari kota kota besar lainnya.

Sesungguhnya bagi para "perantau" yang masih punya orang tua di kampung, pulang kampung atau "mulak tu huta" ini hampir merupakan kewajiban karena disamping para perantau rindu orang tuanya, para orang tua pun akan merasa sedih kalau anaknya tidak pulang kampung sementara anak orang lain berhari raya di kampung.

Dengan daya tarik yang demikianlah maka kampung tetap punya magnet untuk dikunjungi. Dengan datang ke kampung, para perantau merasa punya identitas diri dan dikampungnya ia merasa punya arti. Dalam perspektif yang demikian, pulang kampung juga merupakan sarana aktualisasi diri. Sering para perantau yang agak berduit ketika pulang kampung selalu membawa oleh oleh misalnya memberi satu kain pelekat untuk tiap keluarga dekat. Warga kampung yang diberi oleh-oleh itu merasa sangat senang dan menghargai pemberian itu.

Dengan berbagai alasan yang demikianlah para warga Mandailing yang ada di Jakarta sekurang kurangnya sekali dalam tiga tahun menggelar acara "mulak tu huta". Mereka patungan untuk menyewa bus. Mereka butuh waktu lebih dari empat puluh delapan jam naik bus untuk sampai di kampungnya di Mandailing, Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara.

Kalau dihitung dari jumlah uang untuk transport darat dan juga untuk oleh oleh yang akan dibawanya tentu membutuhkan dana sekitar tujuh jutaan per keluarga. Ketika ditanyakan kepada mereka apakah merasa letih di perjalanan apalagi mengeluarkan sejumlah uang, semuanya punya jawaban yang sama: tidak merasa lelah dan tidak merasa rugi dengan dana yang dikeluarkan. Kata mereka  ada kenikmatan tersendiri hari raya di kampung dan kenikmatan seperti itu berbeda dengan kenikmatan di Jakarta.

Selamat " Mulak Tu Huta"!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun