Pada masa sekitar tahun 60-an ada sebuah kegiatan besar yang bernama Pemberantasan Buta Huruf (PBH).Â
Karena Artikel ini hanya mengandalkan ingatan jadi saya tidak punya data berapa persen jumlah penduduk yang buta huruf pada masa itu.
Kenangan ini terjadi di Kota Padangsidimpuan Propinsi Sumatera Utara yang pada masa tersebut menjadi Ibu Kota Kabupaten Tapanuli Selatan.
Ibu bekerja di "Djawatan Pendidikan Masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan" dan jawatan ini berada dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Jawatan inilah yang ditugaskan untuk melaksanakan PBH.
Dari cerita Ibu saya tahu bahwa PBH merupakan kegiatan yang diperintahkan oleh Presiden Sukarno dengan satu tujuan mulia membuat orang bisa membaca dan mengenal angka yang sederhana.Â
PBH dilaksanakan melalui kursus kursus yang disebut Kursus Pemberantasan Buta Huruf tanpa dikutip bayaran alias gratis.Â
Walaupun gratis tapi banyak juga orang yang tidak mau ikut tetutama para pria yang sudah berumah tangga karena mungkin malu. Bagaimana perasaan ikut lagi kursus PBH sementara putra putrinya sudah duduk di bangku SD atau SMP tentu ada rasa malu.
Tapi Pemerintah sungguh sungguh ingin warga negaranya melek huruf. Untuk itu sering diadakan semacam razia pada penumpang angkot.Petugas menghentikan angkot dan menanyai seta mentest penumpang apakah bisa membaca atau tidak.Â
Kadang-kadang menggelikan ada penumpang angkot yang buta huruf dan sudah bersiap menghadapi razia lalu ia membeli surat kabar dan ketika petugas naik ke angkot dia seolah olah membaca surat kabar tapi sayangnya ia "membaca" terbalik karena ia tidak mengenal huruf.Â
Mungkin dia bermaksud akan terlihat membaca dengan posisi surat kabar yang tepat kalau ada foto pada halaman surat kabar yang dibacanya tapi ketika tidak ada foto maka ia kehilangan pedoman tentang posisi surat kabar yang benar.
Kursus PBH dilaksanakan di kelurahan umumnya di balai kelurahan atau di rumah lurah dan ke tempat seperti inilah saya sering menemani Ibu.Â
Di dinding diletakkan persisnya digantungkan papan tulis warna hitam dan disediakan kapur tulis berwarna putih.
Pada masa tersebut di SD sampai SMA papan tulis warna hitam dan kapur tulis warna putih lah yang digunakan karena masa itu belum dikenal yang namanya "white board" maupun spidol.
Ibu berdiri di depan peserta kursus yang kebanyakan ibu ibu dan kesan saya para ibu sangat serius mengikuti kursus dan tentunya diselang selingi tawa canda khas ibu ibu yang ada di kampung kampung.
Ibu mulai memperkenalkan huruf dan diawali dengan huruf A. Agar setiap huruf mudah diingat maka ketika menuliskannya diiringi dengan semacam nyanyi.
Misalnya ketika menulis huruf A kecil seperti " a" maka nyanyinya (dalam bahasa daerah tentunya) dilantunkan lagu "a ,besar perutnya" dan mungkin dengan cara seperti itulah para peserta menjadi mudah mengingatnya dan terbukti saya pun masih mengingat nyanyian tersebut padahal kejadiannya sudah lama berlalu.
Setiap huruf ada nyanyian untuk itu itu tapi saya tidak lagi mengingatnya.Kepada peserta yang sudah mulai pandai membaca dibagikan buku bacaan secara gratis sehingga mereka semakin rajin berlatih membaca.
Untuk menuju tempat kursus yang dekat dari rumah ,Ibu dan saya berjalan kaki tapi untuk tempat yang agak jauh kami naik sado atau yang disebut juga delman di Jawa.
Sekarang masa itu sudah lama berlalu dan hanya merupakan kenangan tapi saya menjadi sadar bahwa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa termasuk memberantas buta huruf banyak ditemui tantangan termasuk peralatan yang sangat sederhana.
Menurut ukuran sekarang ini tapi kenangan masa lalu itu memberi pesan kalau kita mau banyak hal yang bisa dilakukan asalkan kita punya modal besar dan modal besar itu adalah:semangat untuk maju.
Ayo kita cerdaskan bangsa kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H