Kursus PBH dilaksanakan di kelurahan umumnya di balai kelurahan atau di rumah lurah dan ke tempat seperti inilah saya sering menemani Ibu.Â
Di dinding diletakkan persisnya digantungkan papan tulis warna hitam dan disediakan kapur tulis berwarna putih.
Pada masa tersebut di SD sampai SMA papan tulis warna hitam dan kapur tulis warna putih lah yang digunakan karena masa itu belum dikenal yang namanya "white board" maupun spidol.
Ibu berdiri di depan peserta kursus yang kebanyakan ibu ibu dan kesan saya para ibu sangat serius mengikuti kursus dan tentunya diselang selingi tawa canda khas ibu ibu yang ada di kampung kampung.
Ibu mulai memperkenalkan huruf dan diawali dengan huruf A. Agar setiap huruf mudah diingat maka ketika menuliskannya diiringi dengan semacam nyanyi.
Misalnya ketika menulis huruf A kecil seperti " a" maka nyanyinya (dalam bahasa daerah tentunya) dilantunkan lagu "a ,besar perutnya" dan mungkin dengan cara seperti itulah para peserta menjadi mudah mengingatnya dan terbukti saya pun masih mengingat nyanyian tersebut padahal kejadiannya sudah lama berlalu.
Setiap huruf ada nyanyian untuk itu itu tapi saya tidak lagi mengingatnya.Kepada peserta yang sudah mulai pandai membaca dibagikan buku bacaan secara gratis sehingga mereka semakin rajin berlatih membaca.
Untuk menuju tempat kursus yang dekat dari rumah ,Ibu dan saya berjalan kaki tapi untuk tempat yang agak jauh kami naik sado atau yang disebut juga delman di Jawa.
Sekarang masa itu sudah lama berlalu dan hanya merupakan kenangan tapi saya menjadi sadar bahwa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa termasuk memberantas buta huruf banyak ditemui tantangan termasuk peralatan yang sangat sederhana.
Menurut ukuran sekarang ini tapi kenangan masa lalu itu memberi pesan kalau kita mau banyak hal yang bisa dilakukan asalkan kita punya modal besar dan modal besar itu adalah:semangat untuk maju.
Ayo kita cerdaskan bangsa kita.