Mohon tunggu...
Mara Nur Asifa
Mara Nur Asifa Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Padjadjaran

Mahasiswa aktif semester 4 Sastra Indonesia di Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Film

Mengupas Film Adaptasi "Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas" dari Novel Karya Eka Kurniawan

29 Juni 2024   16:00 Diperbarui: 29 Juni 2024   16:29 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Seorang pemuda berusia 19 tahun dengan Honda Prima hitamnya siap untuk memenangkan botol bir kosong yang ada di tengah jalan aspal dan ia siap mengalahkan lawannya demi menjadi seorang jawara, ia diteriaki kumpulan pemuda sebayanya yang berjejer di pinggir jalan dengan harapan jagoannya dapat memenangkan balapan motor pada hari itu. 

Pemuda 19 tahun itu bernama Ajo Kawir. 

Dengan itulah film adaptasi dari salah satu novel karya Eka Kurniawan bermula: Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas menceritakan kisah yang belum pernah saya temui pada film manapun karena tema yang diangkatnya begitu sensitif dan unik.

Pengadaptasian novel populer menjadi sebuah film merupakan salah satu upaya pengembangan industri kreatif di bidang film yang tentu saja akan berpengaruh besar pada aktivitas ekonomi kreatif. 

Meskipun film terlahir dari sebuah pengadaptasian novel, tetap saja dalam pembuatannya memerlukan ide dan inovasi baru sehingga mampu menarik selera pasar yang akan menjadi salah satu sumber ekonomi.

Ketika saya menonton film dan membaca novel tersebut terdapat banyak perbedaan di dalamnya, dalam novel aslinya seluruh kejadian diceritakan secara gamblang dan detail sehingga pembaca tidak kebingungan dalam memahami alur ceritanya. 

Sedangkan ketika diadaptasi menjadi sebuah film banyak menghilangkan adegan-adegan dewasa (seks) yang diceritakan detail dalam novel. Penghapusan bagian tersebut dapat dimengerti, menimbang bahwa masyarakat Indonesia sendiri masih menganggap tabu jika adegan dewasa yang berlebihan ditayangkan di bioskop. 

Terdapat juga sedikit pengubahan cerita ketika diadaptasi ke dalam film, hal ini juga merupakan upaya Edwin sebagai sutradara untuk menyiasati penerimaan pasar dan bagi saya selagi tidak mengubah makna asli novelnya hal itu sah dilakukan.

Judul filmnya juga tidak diubah sedikitpun dari judul asli novelnya, tanpa berpikir panjang saya langsung menonton film ini tanpa dibekali pengetahuan dasar apa pun karena dirasa tidak tahan lagi membendung rasa penasaran mengenai alur ceritanya. 

Dari awal menonton film ini saya tidak menaruh curiga apa pun, jujur saya sedikit kaget dengan adengan dewasa yang disuguhkan dan hal itu membuat saya kurang suka menontonnya karena tidak terbiasa dengan tontonan dewasa. Namun, untungnya suasana lawas tahun 1989 dalam film ini begitu terasa nyata sehingga ada alasan lain untuk menikmatinya, padahal film ini baru saja dirilis pada tahun 2021. 

Bukan hanya itu, film ini juga menambah pengetahuan saya mengenai kebiasaan berpakaian dan berdialog pada tahun '80-an, hal ini didukung dengan dialog antar-tokoh yang terkesan baku dan cukup kaku. 

Ada hal yang lebih menarik yang jarang ditemukan dalam film lain yaitu pada adegan berkelahi tidak mengalami pemotongan atau pengakalan shoot camera sama sekali, para tokoh benar-benar melakukan baku hantam dan saling membanting meskipun dengan tokoh perempuan.

Bagi masyarakat awam yang tidak mengkaji dan mendalami karya sastra, ketika menonton film ini akan merasa kebingungan dan menilainya sebagai film yang tidak layak untuk ditonton karena dirasa tidak memahami isi yang disampaikannya. 

Hal ini juga dirasakan oleh saya sendiri, ada beberapa scene yang dianggap terlalu absurd sehingga mengharuskan saya membaca novel dan membaca review orang lain. 

Sampai saat ini saya juga masih bertanya-tanya mengenai penerimaan penonton terutama bagi masyarakat Indonesia yang kurang memahami sastra dengan tema yang bisa dibilang tabu.

Dalam dunia perfilman Indonesia akan terasa tidak lengkap jika tidak menyelipkan unsur horor ke dalamnya. 

Dalam film adaptasi ini juga ada satu tokoh yang digambarkan penuh misterius, ia datang tak diundang dan pulang tak diantar, kebanyakan orang menamai hal tersebut dengan "jelangkung" dan saya sepakat akan nama itu meskipun ini hanya interpretasi saya terhadap tokoh tersebut. 

Unsur mistis dan horor inilah yang tak pernah surut penonton karena dirasa sangat memberikan tantangan tersendiri, hal inilah yang menjadi salah satu sumbu industri kreatif film Indonesia akan melambung.

Genre horor di Indonesia sudah menjadi ciri khas yang mendarah daging, meskipun begitu tidak menjadikan genre ini terlepas dari berbagai kritikan negatif. 

Menurut pengamatan saya sendiri sedikit banyak judul yang digunakan terkesan "cabul" dan sering diselipi adegan "seks" di dalamnya atau bisa dibilang bahwa film horor ini tidak sepenuhnya mengisahkan "hantu", hal ini tentunya mampu merusak moral para penonton. 

Mengenai hal ini dikembalikan lagi kepada penerimaan dan pandangan masing-masing penonton, hal positif lainnya mengenai film adaptasi dan film-film Indonesia lainnya juga tidak bisa diabaikan begitu saja selagi mampu mendukung kemajuan industri kreatif dan aktivitas ekonomi di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun