Dampak UN juga dirasakan oleh orang tua yang sering kali dilanda kekhawatiran apabila anak-anak mereka tidak memperoleh nilai yang memadai. Kekhawatiran ini memicu mereka untuk mencari berbagai cara demi memastikan keberhasilan anak, mulai dari mengikuti les intensif hingga membeli buku bank soal. Sering kali, fokus ini lebih pada hasil akhir daripada proses belajar yang bermakna.
Parahnya, tekanan untuk mencapai hasil tertentu dalam UN tidak jarang memicu tindakan manipulasi, baik dalam bentuk pelanggaran etika maupun moral. Beberapa pihak bahkan menempuh jalan pintas seperti manipulasi nilai atau strategi tidak etis lainnya. Alih-alih menjadi tolok ukur keberhasilan pendidikan, UN malah menjadi simbol dari sistem yang mementingkan hasil dibandingkan proses.
Pendidikan Bukan Kompetisi
Sistem Ujian Nasional (UN) cenderung menciptakan budaya kompetisi yang tidak sehat dalam dunia pendidikan. Siswa sering diposisikan sebagai "peserta lomba," di mana keberhasilan mereka diukur berdasarkan nilai tertinggi yang diperoleh. Perspektif ini mengesampingkan esensi pendidikan sebagai proses kolaborasi, bukan kompetisi. Fritjof Capra, dalam bukunya The Web of Life, menjelaskan bahwa keberlanjutan dalam ekosistem, termasuk ekosistem pendidikan, hanya dapat dicapai melalui kolaborasi dan hubungan saling mendukung. Pendidikan yang berorientasi pada kolaborasi tidak hanya relevan, tetapi juga sangat penting untuk membekali siswa menghadapi tantangan dunia nyata.
Dalam pandangan Capra, sistem kehidupan dapat dianalogikan dengan jaring laba-laba, di mana setiap elemen saling terhubung dan berkontribusi untuk menjaga keseimbangan keseluruhan. Konsep ini sangat relevan dengan pendidikan masa kini. Di dunia yang semakin kompleks, kolaborasi menjadi kunci untuk mencapai tujuan bersama. Pendidikan harus mampu mengajarkan siswa cara bekerja sama, memahami peran mereka dalam jaringan sosial yang lebih besar, dan menemukan solusi kolektif terhadap masalah. Pendekatan seperti project-based learning (PBL) dan problem-based learning (PrBL) adalah contoh bagaimana siswa dapat belajar melalui kolaborasi, memecahkan masalah nyata, dan mengembangkan kecerdasan emosional serta sosial, yang jauh lebih bermakna dibandingkan sekadar drilling soal untuk UN.
Selain itu, momok yang melekat pada UN tidak bisa diabaikan, seperti kebocoran soal, manipulasi nilai, dan ketidakadilan dalam distribusi fasilitas pendidikan. Kebocoran soal mencerminkan lemahnya integritas sistem evaluasi, sementara ketidakmerataan kualitas pendidikan membuat siswa di daerah kurang maju memiliki peluang yang jauh lebih kecil untuk bersaing. Dengan semua kelemahan ini, UN sering kali lebih menjadi simbol ketidakseimbangan daripada alat evaluasi yang adil dan efektif. Transformasi pendidikan seharusnya memprioritaskan proses pembelajaran yang bermakna dan berorientasi pada pengembangan kolaborasi, bukan hanya mengejar hasil angka semata.
Dampak UN Terhadap Tujuan Pendidikan
Pertanyaan utama yang harus diajukan adalah: Apa dampak UN terhadap hidup siswa? Apakah UN membantu mereka memahami dunia, membangun empati, atau mempersiapkan mereka untuk tantangan hidup? Jawabannya, sayangnya, sering kali tidak.
Keberadaan UN lebih sering menjadi alat administratif untuk mengukur capaian pendidikan secara kuantitatif, bukan kualitatif. UN tidak cukup fleksibel untuk menangkap keragaman kemampuan siswa atau potensi mereka di luar akademik. Padahal, pendidikan yang ideal haruslah personal, memfasilitasi perkembangan unik setiap individu, dan mendorong mereka untuk mencapai kebahagiaan.
Daripada berdebat tentang perlu atau tidaknya UN, kita seharusnya fokus pada hal yang lebih esensial: memastikan tujuan pendidikan jelas dan nyata dalam setiap program. Pendidikan harus diarahkan untuk: