pendidikan di Indonesia mengalami perubahan paradigma. Pendekatan baru yang lebih berpusat pada pembelajaran siswa mulai diterapkan, dengan harapan menciptakan suasana pendidikan yang lebih relevan dan bermakna bagi peserta didik. Namun, kebijakan ini kini menghadapi tantangan besar dengan adanya wacana untuk mengembalikan UN pada tahun 2026.
Sejak penghapusan Ujian Nasional (UN) pada tahun 2021,Berita rencana pengembalian UN oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) kembali memicu perdebatan hangat di masyarakat. Banyak pihak mempertanyakan urgensi dan relevansi kebijakan tersebut, mengingat dampak psikologis dan sosial yang selama ini ditimbulkan oleh UN. Polemik ini semakin rumit ketika format UN yang baru belum disampaikan secara jelas kepada publik.
Sayangnya, diskusi mengenai keberadaan UN sering kali mengabaikan pertanyaan fundamental: Apa sebenarnya tujuan pendidikan? Apakah pendidikan hanya untuk mengejar nilai atau untuk hidup itu sendiri? Pertanyaan ini seharusnya menjadi pusat perhatian dalam merumuskan kebijakan pendidikan, agar pendidikan tetap berjalan sesuai dengan hakikatnya sebagai jalan untuk membangun kehidupan yang bermakna.
Pendidikan: Untuk Hidup, Bukan Sekadar Nilai
Pepatah Latin Non scholae sed vitae discimus---bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup kita belajar---mengandung pesan yang begitu mendalam. Pendidikan sejatinya tidak hanya dipahami sebagai persiapan untuk menghadapi kehidupan, tetapi merupakan bagian integral dari hidup itu sendiri. Filosofi ini mengingatkan kita bahwa belajar seharusnya menjadi sarana untuk meraih kebahagiaan, menemukan makna hidup, dan mengembangkan keterampilan yang relevan dengan dunia nyata.
Namun, praktik pendidikan sering kali menyimpang dari esensi ini, terutama ketika berhadapan dengan Ujian Nasional (UN). UN sering menempatkan pendidikan pada jalur yang berbeda, jauh dari tujuan mulia tersebut. Dalam tekanan menghadapi ujian, siswa lebih diarahkan untuk menghafal pola jawaban demi mendapatkan nilai tinggi.
Di sisi lain, sekolah pun berlomba-lomba melakukan berbagai strategi drilling soal demi memastikan kelulusan siswanya dengan nilai terbaik. Dalam proses ini, guru sering kali terjebak pada fokus capaian nilai semata, mengorbankan kualitas pemahaman siswa terhadap materi yang diajarkan. Pendidikan menjadi serangkaian rutinitas mekanis yang kehilangan semangat pembelajaran sejati.
Akibatnya, pendidikan berubah menjadi kompetisi tanpa akhir, di mana siswa, guru, dan sekolah berlomba-lomba mencapai hasil terbaik dalam format yang sempit. Filosofi pendidikan sebagai perjalanan hidup pun memudar, digantikan oleh tujuan jangka pendek yang tidak relevan dengan kebutuhan hidup siswa di dunia nyata.
UN dan Ilusi Keberhasilan
Dalam format sebelumnya, Ujian Nasional (UN) sering kali diposisikan sebagai tujuan akhir pendidikan formal di Indonesia. Sekolah, guru, dan siswa mengalokasikan sebagian besar waktu, tenaga, dan sumber daya untuk mempersiapkan ujian ini. Nilai UN tidak hanya dianggap sebagai tolok ukur keberhasilan siswa, tetapi juga sebagai indikator kualitas sekolah dan bahkan prestasi suatu daerah. Namun, hal ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah nilai tinggi pada UN benar-benar mencerminkan kualitas pendidikan atau kemampuan siswa menghadapi kehidupan nyata?
Kenyataannya, UN sering kali menciptakan tekanan yang tidak sehat bagi semua pihak yang terlibat, khususnya siswa. Mereka merasa tertekan untuk mendapatkan nilai sempurna demi memenuhi harapan orang tua dan sekolah. Tekanan ini bukan hanya memengaruhi kesehatan mental siswa tetapi juga mengurangi rasa ingin tahu dan kegembiraan mereka dalam belajar.