Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pedang Tanpa Gagang: Belajar untuk Hidup yang Bermakna

10 Desember 2024   20:04 Diperbarui: 10 Desember 2024   20:04 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar dari generative AI by Maran

Pengetahuan sering kali dianggap sebagai kekuatan utama dalam kehidupan manusia. Ia diibaratkan pedang yang tajam, mampu menaklukkan tantangan dan memecahkan persoalan. Namun, tanpa kebijaksanaan, pengetahuan hanyalah alat kosong---seperti pedang tanpa gagang, berpotensi melukai pemiliknya sendiri. Kebijaksanaan adalah elemen yang memberi arah, memastikan bahwa pengetahuan digunakan untuk kebaikan, bukan kehancuran.

Artikel ini mengajak pembaca untuk merenungkan pentingnya belajar sebagai proses membangun kebijaksanaan. Mengacu pada filosofi Yunani klasik, terutama pandangan Plato dan Socrates, artikel ini menekankan bahwa pengetahuan dan kebijaksanaan harus berjalan seiring. Hanya dengan demikian, hidup dapat menjadi bermakna dan bermanfaat bagi sesama.

Kebijaksanaan: Cermin Karakter yang Baik

Kebijaksanaan, menurut Plato, adalah salah satu dari empat kebajikan utama, bersama keberanian, pengendalian diri, dan keadilan (Plato, trans. 2004). Plato percaya bahwa kebijaksanaan bukan hanya soal memiliki pengetahuan, tetapi juga tentang kemampuan menggunakannya untuk mencapai keadilan dan kebaikan. Dalam The Republic, Plato menggambarkan kebijaksanaan sebagai kualitas yang dimiliki oleh pemimpin ideal, seseorang yang memahami "kebaikan tertinggi" dan mampu menerapkannya dalam tindakan.

Socrates, guru Plato, memiliki pandangan yang serupa namun lebih personal. Ia mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati dimulai dengan pengakuan atas ketidaktahuan. "Saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa," adalah salah satu pernyataan paling terkenal dari Socrates, yang menggambarkan pentingnya rendah hati dalam proses belajar (Plato, trans. 2004). Bagi Socrates, kebijaksanaan adalah perjalanan tanpa akhir menuju pemahaman yang lebih baik, bukan pencapaian akhir.

Filosofi ini sejalan dengan pepatah "ilmu padi," yang mengatakan bahwa semakin banyak kita tahu, semakin kita merunduk. Orang yang benar-benar bijaksana tidak pernah berhenti belajar, tidak pernah berhenti merenungkan, dan tidak pernah berhenti berbagi pengetahuannya untuk kebaikan bersama.

Pengetahuan Tanpa Kebijaksanaan: Bahaya yang Mengintai

Di era modern, akses terhadap pengetahuan tidak pernah semudah ini. Internet menyediakan lautan informasi yang dapat diakses dalam hitungan detik. Namun, tanpa kebijaksanaan, informasi ini dapat menjadi bumerang. Informasi yang salah atau digunakan secara tidak bijaksana dapat menyebabkan konflik, kebencian, dan disinformation.

Socrates pernah memperingatkan tentang bahaya "pengetahuan tanpa kebajikan." Ia percaya bahwa pengetahuan yang tidak disertai dengan kebijaksanaan dapat menjerumuskan manusia ke dalam kejahatan (Plato, trans. 2004). Dalam konteks modern, hal ini terlihat dalam berbagai isu global seperti perubahan iklim, di mana pengetahuan tentang kerusakan lingkungan sering kali tidak diiringi dengan tindakan bijaksana untuk mencegahnya.

Belajar: Proses yang Tak Pernah Usai

Belajar adalah inti dari kebijaksanaan. Seperti yang diajarkan oleh Socrates, belajar bukan hanya tentang mengumpulkan fakta, tetapi juga tentang merenungkan makna dari fakta-fakta tersebut. Plato, dalam Meno, menyatakan bahwa belajar adalah proses mengingat (anamnesis)---yaitu mengungkap kembali kebenaran yang sudah ada dalam jiwa manusia sejak lahir (Plato, trans. 2004).

Pandangan ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki potensi untuk menjadi bijaksana, tetapi potensi ini hanya dapat diwujudkan melalui proses belajar yang aktif dan berkesinambungan. Dalam konteks ini, belajar bukan sekadar aktivitas intelektual, tetapi juga perjalanan spiritual dan moral.

Hidup yang bermakna tidak hanya diukur dari seberapa banyak yang kita ketahui, tetapi juga dari seberapa besar dampak positif yang kita ciptakan bagi orang lain. Dalam Nicomachean Ethics, Aristoteles, murid Plato, menekankan bahwa kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai melalui kebajikan dan tindakan yang baik (Aristotle, trans. 2009).

Pembelajaran adalah salah satu cara untuk mencapai kebajikan ini. Ketika kita belajar, kita tidak hanya memperkaya pikiran kita, tetapi juga membentuk karakter kita. Belajar membuat kita lebih empati, lebih pengertian, dan lebih berkomitmen untuk membantu orang lain.

Salah satu contoh nyata dari filosofi ini adalah konsep "servant leadership" atau kepemimpinan yang melayani. Seorang pemimpin yang bijaksana menggunakan pengetahuannya untuk melayani, bukan untuk mendominasi. Mereka memahami bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk memberikan dampak positif bagi komunitas mereka.

Kebijaksanaan tidak hanya relevan dalam konteks besar seperti kepemimpinan atau kebijakan publik, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Kebijaksanaan adalah tentang membuat keputusan yang baik, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Contohnya, dalam dunia pendidikan, seorang guru yang bijaksana tidak hanya mengajarkan kurikulum, tetapi juga membantu siswa memahami nilai-nilai yang lebih dalam, seperti kerja sama, keadilan, dan rasa hormat. Guru ini tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, tetapi juga teladan kebijaksanaan.

Hal ini juga berlaku dalam hubungan personal. Kebijaksanaan membantu kita memahami perasaan dan kebutuhan orang lain, memungkinkan kita untuk membangun hubungan yang lebih sehat dan harmonis.

Pandangan Modern tentang Kebijaksanaan dan Pembelajaran

Dalam era digital ini, filsuf modern seperti Jrgen Habermas menekankan pentingnya dialog dalam mencapai kebijaksanaan. Menurut Habermas, kebijaksanaan bukanlah sesuatu yang dimiliki secara individu, tetapi sesuatu yang muncul melalui interaksi dan diskusi dengan orang lain (Habermas, 1984).

Hal ini menggarisbawahi pentingnya pembelajaran kolaboratif. Ketika kita belajar bersama, kita tidak hanya memperluas wawasan kita sendiri, tetapi juga membantu orang lain untuk tumbuh. Ini adalah esensi dari pendidikan yang bermakna---membangun komunitas pembelajar yang saling mendukung dan saling menginspirasi.

Hidup untuk Terus Belajar

Sepanjang hidup, biarlah pembelajaran menjadi kompas yang membimbing langkah kita. Seperti pedang tanpa gagang yang tak berguna, pengetahuan tanpa kebijaksanaan tidak akan membawa kebaikan.

Jangan pernah berhenti belajar, baik dari buku, pengalaman, maupun dari orang-orang di sekitar kita. Seperti yang diajarkan oleh Plato dan Socrates, belajar adalah perjalanan yang tak pernah usai. Dengan terus belajar, kita tidak hanya membuat hidup kita lebih bermakna, tetapi juga meninggalkan jejak positif bagi dunia ini.

Hidup yang bermakna adalah hidup yang digunakan untuk kebaikan, dan kebaikan hanya dapat tercapai melalui kebijaksanaan. Maka, belajarlah untuk menjadi bijaksana, dan jadikan hidup Anda sebagai berkah bagi sesama.

Referensi

  • Aristotle. (2009). Nicomachean Ethics (W. D. Ross, Trans.). Oxford University Press.

  • Habermas, J. (1984). The Theory of Communicative Action: Reason and the Rationalization of Society (T. McCarthy, Trans.). Beacon Press.

  • Plato. (2004). The Republic (C. D. C. Reeve, Trans.). Hackett Publishing Company.

  • Plato. (2004). Meno (G. M. A. Grube, Trans.). Hackett Publishing Company.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun