Mengganti kurikulum bukanlah perkara mudah. Selain membutuhkan anggaran besar, pergantian kurikulum juga berdampak pada seluruh ekosistem pendidikan. Dari pelatihan guru hingga penyediaan buku ajar baru, setiap aspek membutuhkan waktu dan sumber daya yang signifikan.
Lebih dari itu, pergantian kurikulum yang terlalu sering justru menciptakan kebingungan di tingkat akar rumput. Guru, siswa, dan orang tua sering kali harus beradaptasi dengan kebijakan baru sebelum benar-benar memahami esensi kurikulum sebelumnya.
Esensi Deep Learning dan Kurikulum Merdeka
Jika dilihat secara prinsip, Deep Learning yang diusulkan Abdul Mu'ti sebenarnya memiliki banyak kesamaan dengan Kurikulum Merdeka. Keduanya menekankan pembelajaran yang mendalam, kolaboratif, dan relevan dengan kehidupan nyata.
Daripada mengganti kurikulum, langkah yang lebih bijak adalah memperkuat implementasi Kurikulum Merdeka. Pemerintah dapat fokus pada:
Peningkatan Kompetensi Guru: Memberikan pelatihan berkelanjutan kepada guru untuk mengadopsi metode pembelajaran berbasis Deep Learning.
Evaluasi dan Penyesuaian Bertahap: Mengidentifikasi kelemahan dalam Kurikulum Merdeka dan memperbaikinya secara bertahap.
Peningkatan Infrastruktur: Memastikan semua sekolah memiliki akses yang sama terhadap sumber daya pendidikan.
Refleksi dan Harapan
Seperti yang diajarkan Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah proses yang harus dilakukan dengan hati-hati dan bertahap. Pergantian kurikulum bukanlah solusi instan untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Sebaliknya, fokus pada konsistensi dan keberlanjutan program yang ada akan memberikan dampak yang lebih nyata.
Pendidikan bukan sekadar soal mengganti kebijakan, tetapi soal memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi setiap siswa. Kurikulum Merdeka, dengan segala tantangannya, masih memiliki potensi besar untuk menghasilkan generasi yang cerdas, tangguh, dan bermartabat.