Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Membangun Masa Depan Tanpa Kuliah? Sebuah Refleksi Transformasi Pendidikan di Tingkat SMA

2 Juni 2024   22:36 Diperbarui: 2 Juni 2024   22:44 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar pixabay.com

Pendidikan formal selama ini dianggap sebagai satu-satunya gerbang menuju kesuksesan. Pandangan ini didasari oleh anggapan bahwa ijazah sarjana merupakan prasyarat utama untuk mendapatkan pekerjaan bergengsi dan gaji tinggi. Namun, realitanya tidak sesederhana itu. Biaya kuliah yang terus meningkat dan minimnya jaminan pekerjaan bagi lulusan sarjana, memaksa kita untuk mempertanyakan kembali paradigma ini.

Pertanyaannya, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki akses atau terkendala biaya untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi? Apakah mereka ditakdirkan untuk tertinggal? Di sinilah letak urgensi transformasi pendidikan di tingkat SMA.

Transformasi Pendidikan di SMA: Sekolah untuk Hidup

Pepatah Latin mengatakan "Non scholae sed vitae discimus" yang berarti "kita belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup." Prinsip ini seharusnya menjadi dasar dari sistem pendidikan kita, terutama di tingkat SMA. Program bimbingan karir di SMA harus lebih dari sekadar membantu peserta didik memilih mata pelajaran sesuai minat atau jurusan kuliah yang akan diambil. Program ini harus fokus pada latihan keterampilan yang menjadi fondasi bagi kehidupan peserta didik setelah lulus.

Alih-alih terpaku pada ijazah sarjana, perlu digaris bawahi bahwa pendidikan SMA harus berfokus pada pengembangan keterampilan hidup (life skills) yang membekali peserta didik dengan kemampuan yang dibutuhkan di dunia kerja. Hal ini sejalan dengan pendapat Ivan Illich dalam bukunya "Deschooling Society" yang mengkritik sistem pendidikan formal yang kaku dan tidak relevan dengan kebutuhan masyarakat. Illich menekankan pentingnya pembelajaran mandiri dan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan.

Lebih jauh Ivan Illich berpandangan bahwa pendidikan formal menghambat pembelajaran sejati dan merugikan individu serta masyarakat. Illich berpendapat bahwa pendidikan seharusnya tidak terbatas pada institusi formal, melainkan menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Ia menyarankan adanya desentralisasi pendidikan dan mendorong pembelajaran mandiri serta partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan.

Jika kita mengambil pandangan Illich, maka transformasi pendidikan di tingkat SMA harus mengarah pada model yang lebih fleksibel dan berorientasi pada keterampilan hidup. Ini berarti siswa harus dilibatkan dalam kegiatan yang langsung berhubungan dengan kehidupan nyata, seperti magang, proyek komunitas, dan pelatihan keterampilan praktis.

Urgensi Belajar Pendampingan Karir di SMA, Jika Tidak Kuliah

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Agustus 2021 mencapai 6,49%. Banyak di antaranya adalah lulusan SMA yang tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan di pasar kerja. Ditambah lagi, biaya kuliah yang terus meningkat menjadi penghalang utama bagi banyak siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Penelitian Bank Dunia menunjukkan bahwa hanya sekitar 30% lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang bekerja di bidang yang sesuai dengan jurusan mereka. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara pendidikan formal dan kebutuhan pasar kerja. Oleh karena itu, transformasi pendidikan SMA menjadi krusial untuk mempersiapkan generasi muda dengan keterampilan yang adaptif dan fleksibel agar mampu bersaing di era disrupsi ini.

Dengan membekali peserta didik SMA dengan keterampilan hidup, mereka tidak hanya siap untuk memasuki dunia kerja, tetapi juga memiliki kemampuan untuk terus belajar dan beradaptasi dengan perubahan. Hal ini sejalan dengan gagasan Yuval Noah Harari dalam bukunya "21 Lessons for the 21st Century" yang menekankan pentingnya keterampilan seperti berpikir kritis, kreativitas, dan kemampuan belajar sepanjang hayat di abad 21.

Transformasi pendidikan SMA bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga membutuhkan komitmen dari berbagai pihak, termasuk sekolah, guru, industri, dan masyarakat. Dengan sinergi dan kolaborasi, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar mempersiapkan generasi muda untuk masa depan yang lebih cerah.

Implementasi Program Bimbingan Karir Berbasis Keterampilan di SMA

Program bimbingan karir di SMA harus dirancang ulang untuk memasukkan komponen-komponen berikut:

  1. Pelatihan Keterampilan Praktis: peserta didik harus diberikan pelatihan dalam keterampilan praktis seperti teknologi informasi, kerajinan tangan, dan keterampilan teknis lainnya yang dapat langsung digunakan dalam dunia kerja.

  2. Magang dan Proyek Komunitas: peserta didik harus didorong untuk mengikuti program magang di perusahaan atau terlibat dalam proyek komunitas. Ini akan memberikan mereka pengalaman langsung tentang bagaimana keterampilan yang mereka pelajari dapat diterapkan dalam situasi nyata.

  3. Pembelajaran Mandiri dan Lifelong Learning: peserta didik harus diajarkan untuk menjadi pembelajar mandiri yang aktif mencari informasi dan keterampilan baru sepanjang hidup mereka. Ini bisa dilakukan melalui akses ke sumber daya pendidikan online dan program pengembangan diri.

  4. Pendekatan Interdisipliner: Pendidikan di SMA harus lebih terintegrasi dengan berbagai disiplin ilmu. Misalnya, peserta didik yang belajar bisnis juga harus memahami dasar-dasar teknologi informasi dan pemasaran digital.

Tantangan dan Kesiapan Satuan Pendidikan

Transformasi ini tentu saja tidak mudah dan membutuhkan kesiapan dari berbagai pihak. Satuan pendidikan harus siap beradaptasi dengan perubahan ini dengan menyediakan sumber daya yang memadai, pelatihan bagi guru, dan kerjasama dengan industri serta komunitas.

a. Kesiapan Sumber Daya: Sekolah harus memiliki fasilitas yang memadai untuk mendukung pelatihan keterampilan praktis. Ini termasuk laboratorium komputer, bengkel kerja, dan akses ke teknologi terbaru.

b. Pelatihan Guru: Guru harus diberikan pelatihan yang memadai untuk mengajar keterampilan praktis dan mengelola program bimbingan karir berbasis keterampilan. Mereka juga harus dilatih untuk mengadopsi pendekatan pembelajaran yang lebih fleksibel dan berpusat pada peserta didik.

c. Kerjasama dengan Industri dan Komunitas: Sekolah harus menjalin kerjasama dengan industri dan komunitas lokal untuk menyediakan program magang dan proyek komunitas bagi peserta didik. Ini akan memastikan bahwa keterampilan yang diajarkan relevan dengan kebutuhan pasar kerja.

Catatan Akhir

Dengan mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel dan berorientasi pada keterampilan hidup di tingkat SMA, kita dapat mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi tantangan dunia kerja tanpa harus mengandalkan pendidikan formal di perguruan tinggi. Transformasi ini memerlukan komitmen dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, satuan pendidikan, guru, industri, dan komunitas. Dengan demikian, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar mendidik peserta didik untuk hidup, bukan hanya untuk sekolah.

Implementasi program bimbingan karir berbasis keterampilan di SMA tidak hanya akan mengurangi angka pengangguran tetapi juga menciptakan generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan dengan keterampilan yang relevan dan adaptif. Inilah saatnya bagi kita untuk melakukan transformasi pendidikan yang sesungguhnya demi masa depan yang lebih baik. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun