Mohon tunggu...
Yulius Maran
Yulius Maran Mohon Tunggu... Lainnya - Educational Coach

- Gutta Cavat Lapidem Non Vi Sed Saepe Cadendo -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kuliah: Sebuah Keharusan atau Pilihan?

18 Mei 2024   22:30 Diperbarui: 18 Mei 2024   22:33 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar https://pixabay.com/

Perdebatan tentang urgensi kuliah setelah SMA selalu menjadi topik hangat. Di satu sisi, banyak yang beranggapan bahwa ijazah sarjana adalah kunci utama untuk membuka gerbang karir yang sukses. Ijazah ini sering dianggap sebagai bukti kompetensi dan dedikasi yang dapat meningkatkan peluang kerja serta menjamin pendapatan yang lebih tinggi. Di era persaingan global, memiliki pendidikan tinggi sering kali menjadi pembeda utama dalam proses rekrutmen.

Di sisi lain, tak sedikit yang mempertanyakan relevansi pendidikan tinggi di era modern, di mana banyak lulusan SMA yang mampu meraih karir gemilang tanpa perlu gelar sarjana. Fenomena ini diperkuat oleh perkembangan teknologi dan akses informasi yang memungkinkan siapa saja untuk belajar secara mandiri dan mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan industri. Banyak tokoh sukses dalam teknologi dan bisnis yang menunjukkan bahwa pengalaman dan keterampilan praktis bisa lebih berharga daripada ijazah formal.

Fenomena kesenjangan sosial juga turut mempengaruhi perdebatan ini. Biaya kuliah yang mahal membuka dikotomi semakin lebar antara yang kaya dan miskin. Akses kuliah bagi yang miskin sangat sulit, seringkali mereka harus bekerja sambil kuliah atau mengambil pinjaman yang membebani keuangan mereka di masa depan. Sementara itu, mereka yang berasal dari keluarga kaya bisa bebas memilih kuliah di mana saja, karena uang bisa membuat akses ini lancar tanpa harus khawatir tentang biaya.

Data menunjukkan bahwa di Indonesia, rata-rata biaya kuliah di universitas negeri berkisar antara 3 juta hingga 7 juta rupiah per semester, sementara di universitas swasta bisa mencapai 10 juta hingga 30 juta rupiah per semester. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), hanya sekitar 40% lulusan SMA yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, dan sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah ke atas. Hal ini mencerminkan kesenjangan sosial yang signifikan dalam akses pendidikan tinggi, yang semakin mempertegas perlunya kebijakan yang lebih inklusif dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.

Data Pengangguran: Fakta yang Perlu Dipertimbangkan

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022, tingkat pengangguran di Indonesia mencapai 5,9%. Data yang lebih detail menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terendah terdapat pada kelompok usia 15-19 tahun (13,6%) dan 20-24 tahun (16,9%). Kelompok usia ini didominasi oleh para lulusan SMA yang baru memasuki dunia kerja. 

Di sisi lain, tingkat pengangguran pada kelompok usia 25-29 tahun (10,3%) dan 30-34 tahun (7,8%) menunjukkan tren penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa pendidikan tinggi memang berkontribusi dalam menurunkan tingkat pengangguran seiring bertambahnya usia dan pengalaman kerja. Namun, penting untuk dicatat bahwa data ini tidak menunjukkan hubungan sebab akibat yang mutlak. Faktor lain seperti demografi, jenis kelamin, dan latar belakang ekonomi juga dapat mempengaruhi tingkat pengangguran.

Banyak contoh nyata di mana lulusan SMA berhasil membangun karir yang sukses tanpa perlu gelar sarjana. Contohnya, Putu Gede Andika: Pendiri Cokelat Monggo, sebuah perusahaan cokelat terkenal di Bali, yang memulai usahanya dari nol tanpa ijazah sarjana. Atau Nadya Karina, Pendiri Naura Kitchen, sebuah usaha kuliner rumahan yang berkembang pesat dan telah meraih berbagai penghargaan, meskipun ia hanya lulusan SMA. Selain itu ada Ayudia Bing Slamet: Aktris dan influencer terkenal di Indonesia yang memulai karirnya sejak usia muda dan tidak memiliki ijazah sarjana. 

Skema Pendampingan Karir: Membangun Fondasi Sejak Dini

Program pendampingan karir yang efektif sejatinya sudah dimulai sejak usia dini. Kolaborasi solid antara pendidik di level TK, SD, SMP, dan SMA sangatlah penting untuk membantu peserta didik memahami minat, bakat, dan potensi mereka. 

Kurikulum Merdeka, dengan fleksibilitasnya, membuka ruang bagi peserta didik untuk mengeksplorasi diri dan memilih jalur pendidikan yang sesuai dengan aspirasi mereka. Program pendampingan karir di tingkat SMA dapat memanfaatkan momentum ini untuk membantu siswa dalam memilih mata pelajaran yang tepat, mengembangkan keterampilan karir, dan mempersiapkan diri untuk dunia kerja. 

Filsuf pendidikan Ivan Illich dalam karyanya "Deschooling Society" (1971) menantang paradigma tradisional tentang sekolah dan pendidikan tinggi. Ia berargumen bahwa model pembelajaran yang berfokus pada nilai dan ijazah tidak selalu mengantarkan pada kesuksesan dalam kehidupan nyata. Illich menekankan pentingnya pembelajaran mandiri dan pengalaman hidup dalam mengembangkan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menghadapi dunia yang kompleks.

Di sisi lain, para filsuf pendidikan seperti John Dewey dan Paulo Freire menekankan nilai pendidikan tinggi dalam mengembangkan pemikiran kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan keterampilan komunikasi yang esensial untuk kehidupan dan karir. Mereka berargumen bahwa pendidikan tinggi bukan hanya tentang memperoleh gelar, tetapi juga tentang proses transformasi diri dan pengembangan intelektual.

Meskipun demikian, apakah kuliah adalah sebuah keharusan, pilihan, tren, atau hanya opsional, sangat bergantung pada konteks individu dan kondisi sosial-ekonomi. Bagi sebagian orang, kuliah merupakan keharusan untuk mencapai cita-cita dan memasuki karir tertentu yang memerlukan kualifikasi akademis khusus. Namun, bagi yang lain, kuliah bisa jadi hanya pilihan atau bahkan tren yang diikuti tanpa pertimbangan matang. Pada kenyataannya, pendidikan tinggi tidak selalu menjadi jalan satu-satunya menuju sukses. Banyak alternatif pendidikan dan pelatihan yang bisa memberikan keterampilan yang relevan dan dibutuhkan di pasar kerja.

Untuk lulusan SMA yang tidak melanjutkan kuliah, penting untuk mempersiapkan diri dengan keterampilan praktis yang dapat langsung diterapkan dalam dunia kerja. Keterampilan seperti keahlian teknis (misalnya, pemrograman komputer, desain grafis, mekanik, atau akuntansi), kemampuan berkomunikasi, manajemen waktu, serta keterampilan berpikir kritis dan kreatif sangat dihargai oleh banyak pemberi kerja. Pelatihan vokasional, kursus singkat, sertifikasi profesional, dan pengalaman magang dapat menjadi alternatif yang efektif untuk mempersiapkan lulusan SMA agar siap menghadapi tantangan dan peluang dalam kehidupan dan karir mereka. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun